Rumah Kaca (novel)
Rumah Kaca merupakan novel keempat sekaligus penutup dari Tetralogi Buru yang ditulis oleh Pramoedya Anata Toer. Dibandingkan ketiga pendahulunya yaitu Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, dan Jejak Langkah, terdapat perbedaan yang cukup mencolok pada Rumah Kaca karena tidak mengambil Minke atau Tirto Adhi Soerjo sebagai tokoh utama. Masih dengan latar zaman pemerintahan kolonial Belanda, tokoh utama dalam buku ini adalah Jacques Pangemanann, seorang polisi kolonial Belanda yang ditugaskan untuk mengawasi Minke.[1] Dalam buku ini, diperlihatkan bagaimana usaha pemerintah kolonial Belanda dalam memukul aktivitas Minke yang merupakan salah satu tokoh pergerakan nasional, melalui operasi mata-mata, serta pengarsipan yang rapi dan sistematis.[2] Pramoedya mengistilahkan politik arsip ini sebagai kegiatan pe-rumahkaca-an.[3] AlurJacques Pangemanann yang merupakan seorang komisaris polisi Hindia Belanda berdarah Minahasa dalam memberantas kelompok Si Pitung membuatnya ditugaskan untuk memata-matai aktivitas Minke. Tugas inilah yang membuat Jacques Pangemanann menjadi sosok yang bertanggung jawab dibalik pembuangan Minke ke pulau terpencil di Maluku Utara.[2] Buku ini berisi detail dari aktivitas Pangemanann saat memata-matai Minke sebelum, saat, dan sesudah diasingkan ke Maluku Utara.[2] Dalam buku ini juga, dapat ditemukan detail sejarah yang terkait pembunuhan seorang wanita tuna susila kelas atas bernama Fientje de Fenicks atau Rientje de Roo pada masa itu.[2][4] Tokoh
PenerimaanSeperti edisi Tetralogi Buru lainnya, Rumah Kaca juga dilarang peredarannya di Indonesia pada masa pemerintahan Orde Baru karena dianggap menyebarkan ajaran "Marxis-Leninis". Rumah Kaca dilarang beredar pada 1988, hanya beberapa bulan setelah terbit.[5] Toko buku online Amazon menggambarkan Rumah Kaca sebagai novel yang berhasil membuat kesimpulan luar biasa dari tiga novel sebelumnya. Amazon juga menilai Rumah Kaca sebagai salah satu karya yang hebat dalam literatur modern.[6] Oleh John David Morley, kontributor New York Times, Rumah Kaca digambarkan sebagai ironi yang menimpa Pramoedya karena ia menulis novel ini di pengasingan (Pulau Buru).[1] Rujukan
|