Rumah Singgah Sultan Siak
Rumah Singgah Sultan Siak adalah rumah milik Tuan Kadhi Kerajaan Siak, H. Zakaria yang berfungsi sebagai tempat persinggahan bagi Sultan Siak Sri Indrapura apabila beliau berkunjung ke Senapelan (Pekanbaru).[1] Sultan Siak beserta pengiringnya beristirahat sejenak terlebih dahulu di rumah ini sebelum melanjutkan perjalanan ke rumah Tuan Qodi lainnya di belakang Mesjid Raya Pekanbaru atau sekitar 1.000 kaki ke arah tenggara. Bangunan ini berada di bawah jembatan Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazzamsyah, sekarang bernama jembatan Siak III Kampung Bandar, Senapelan, Kota Pekanbaru, Riau.[2] Berlokasi di Jalan Panglima Undan, rumah singgah Sultan Siak berjarak 20 m dari pinggir Sungai Siak.[butuh rujukan] Model bangunan rumah dihiasi dengan warna yang khas yaitu krem, kuning keemasan, serta biru dan masih dipertahankan seperti aslinya. Rumah berbentuk panggung ini terbuat dari kayu, beratapkan asbes dan pondasinya terbuat dari tiang. Saat ini, rumah Singgah Sultan Siak yang dibangun pada tahun 1928 ini menjadi objek wisata yang lumayan ramai dikunjungi oleh wisatawan.[butuh rujukan] SejarahRumah singgah Sultan Siak tidak terlepas dari sejarah panjang perkembangan Kerajaan Siak Sri Indrapura. Saat itu Senapelan berada di wilayah yang cukup strategis dalam lalu lintas perdagangan dan ditunjang dengan kondisi Sungai Siak yang tenang. Selain itu wilayah Senapelan juga membuat perkampungannya memegang posisi silang baik dengan pedalaman Tapung, Minangkabau dan Kampar. Mempertimbangkan kondisi yang sangat mendukung itu, Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syahwilayah memindahkan pusat Kerajaan Siak dari Mempura ke Senapelan dan menjadi Ibu kota Kerajaan Siak Sri Indrapura sekitar tahun 1775.[butuh rujukan] Kini wilayah Senapelan menjelma menjadi sebuah kota metropolitan dengan nama populer, Pekanbaru. Deretan bangunan megah dan arsitektur modern menghiasi kota tersebut. Walaupun begitu, kota ini masih meninggalkan jejak-jejak sejarah masa lalu yang bersanding dengan tradisi budaya Melayu.[3] Hingga hari ini pun tradisi tersebut masih bertahan, salah satu buktinya adalah rumah singgah Sultan Siak yang masih dijaga dan dipertahankan keberadaannya. Sekitar tahun 1990-an, kepemilikan rumah tradisional Melayu ini sempat berganti dari Hj. Aziah (cucu H. Nurdin Putih) kepada Atan Gope (alm). Beliau adalah seorang pengusaha besi tua yang sukses di kawasan Senapelan era 1990-an saat itu hingga sekarang.[butuh rujukan] ArsitekturBangunanSecara umum, bangunan rumah singgah Sultan Siak berbentuk panggung dan berbahan jenis kayu, kecuali bagian tangga di sisi timur bangunan yang terbuat dari bata berspesi. Bangunan yang menghadap ke arah timur ini dibangun oleh H. Nurdin Putih (mertua Tuan Kadhi H. Zakaria) sekitar tahun 1895. Di bagian sisi timur dan barat terdapat jendela dengan lekuk-lekuk bangunan yang berbeda. Bentuk rumah terlihat memanjang dan besar jika dilihat dari samping.[butuh rujukan] TanggaTangga berada tepat di pintu masuk yang terbuat dari bata berspesi. Di sebelah kiri kepala tiang tangga tertera sebuah inskripsi “23:7” dan “1928” di kepala tangga sebelah kanan. Inskripsi tersbut merujuk pada tarikh pembangunan tangga batu rumah singgah ini yaitu “23:7 1928” atau “23 Juli 1928”.[4] RuanganTerdapat ruangan besar sebagai tempat berkumpul dengan lantai yang terbuat dari kayu. Di dinding ruangan terpajang beberapa foto lama tentang hiruk pikuk kegiatan masyarakat di Sungai Siak dan penyebrangan sebelum adanya Jembatan Siak. Selain itu, terdapat tiga kamar dan satu ruang loteng yang biasa digunakan untuk tempat penyimpanan barang. Ruangan di loteng atau bilik tersebut digunakan untuk memingit anak perempuan yang akan segera menikah.[butuh rujukan] Barang-Barang LainnyaDi depan pintu masuk terdapat sebuah bak batu berisi air yang berfungsi sebagai tempat mencuci kaki dan tangan para tamu termasuk sultan sebelum naik ke rumah. Terdapat beberapa dulang yang merupakan wadah makanan yang disajikan untuk para tamu yang datang ke rumah. Selain itu terdapat juga beberapa permainan tradisional seperti gansing. Gansing ini terbuat dari kayu, dengan tali dari bahan ijuk atau goni dan biasanya dimainkan dalam perayaan agama. Kemudian terdapat pula peralatan memasak seperti centong dari batok kelapa. Centong ini digunakan untuk memasak atau untuk mengambil makanan berkuah. Ada pula alat musik kompang yang bentuknya seperti kendang dan terbuat dari kayu sertakulit sapi. Alat musik ini digunakan untuk menyambut para tamu yang datang.[5] Lihat PulaReferensi
|