Rumah adat AtakkaeRumah adat Atakkae adalah kawasan wisata rumah adat yang terletak di Kelurahan Atakkae, Kecamatan Tempe. Kabupaten Wajo. Rumah adat ini dibangun pada tahun 1995. Di dalam kawasan ini terdapat beberapa rumah-rumah adat tradisional yang berasal dari berbagai kecamatan di Kabupaten Wajo.[1] Atakkae adalah sebutan untuk rumah rumah adat yang ada di Sengkang. Rumah ini memiliki desain rumah panggung seperti umumnya rumah adat di suku Bugis. Rumah adat Atakkae dikenal juga dengan sebutan Rumah 101 tiang hal ini karena jumlah tiang penyangga rumah ini sebanyak 101 tiang dan juga menjadi salah satu keunikan dari rumah adat ini.[1] Di antara semua rumah - rumah adat di kawasan ini terdapat rumah yang paling besar dibanding yang lainnya yang merupakan rumah adat utama. Di depan rumah ini terdapat tulisan "Saoraja la Tenri Bali" yang menjadi sebutan untuk rumah ini. Saoraja La Tenri Bali adalah bahasa bugis dimana Saoraja sendiri berarti Istana raja dan La Tenri Bali adalah seorang raja atau oleh orang sengkang dipanggil Arung Matoa yang pernah berkuasa di Kerajaan Wajo. Jadi, Saoraja la Tenri Bali adalah Istana Raja la Tenri Bali.[2] Rumah Adat Saoraja La Tenri BaliDiantara sekian banyak rumah adat di Atakkae, rumah adat Saoraja La Tenri Bali adalah rumah adat berbentuk rumah panggung yang paling besar. Lokasinya berada di sebelah Danau Lampulung. Biasa juga disebut dengan sebutan rumah 101 tiang karena jumlah tiangnya sebanyak 101 tiang tidak seperti rumah panggung yang lainnya di daerah Sengkang yang memiliki tiang berjumlah antara tujuhbelas sampai duapuluh saja. Keunikan dari rumah adat ini adalah tiang penyangga yang berbentuk bulat bukan segi empat seperti rumah adat suku Bugis lainnya.[2] Berat 101 tiang penyanggah rumah adat ini adalah 2 ton memiliki diameter 1,45 meter dan garis tengah 0,45 meter. Tinggi dari tanah ke loteng adalah 8,10 meter. Panjang rumah adat ini adalah 42,20 meter, lebar 21 meter dan tinggi bubungan 15 meter. Rumah ini sepenuhnya berbahan Kayu. Kayu yang digunakan adalah kayu ulin yang sengaja didatangkan dari Kalimantan.[2] Pada pintu masuk rumah adat ini ada dua anak tangga yang terbagi dua oleh sekat kayu. Diatasnya ada anak tangga yang lebih tinggi. Ada atap kecil yang menaungi anak tangga masuk dengan sirip dan ukiran kayu yang diberi warna kuning. Hanya bagian ini yang memiliki warna yang berbeda di rumah ini, selebihnya adalah warna asli kayu tanpa dicat. Pagar Kayu dipasang sepanjang anak tangga. Selain atap yang menaungi tangga di rumah ini juga memiliki dua atap besar di bagian depan dan bagian belakang. Atapnya tinggi tanpa plafon sehingga dapat memperlihatkan balok kayu yang menopang atap. Rumah adat ini menggunakan jenis atap pelana dengan genteng sirap dan juga timpa' laja yang menjadi pembeda antara rumah bangsawan dan masyarakat biasa, jenis-jenisnya diantaranya
Namun kini hanya terdapat dua jenis rumah panggung Bugis, yaitu salassa dan saoraja untuk kaum bangsawan dan bala(rumah panggung biasa) untuk masyarakat biasa, tanpa harus memiliki model dan ukuran tertentu. Besar kecil dan model rumah tergantung pada tingkat sosial dalam artian tingkat kesejahteraan pemilik rumah. Di rumah ini terdapat satu ruangan tertutup yang diberi pintu. Selebihnya adalah ruangan konsep terbuka. Setelah menaiki tangga akan terlihat lego-lego yang berada di depan Saoraja bagian ini difungsikan sebagai tempat menyambut tamu sebelum dipersilahkan menuju ke dalam Rumah Adat. Di bagian Belakang terdapat dapureng (jonge) sebagai tempat memasak dan menyimpan peralatan masak. Disekitar Rumah Adat Saoraja La Tenri Bali terdapat rumah rumah adat yang bentuknya seperti Saoraja hanya ukurannya lebih kecil dan menampakkan kekhasan tiap kecamatan. Ini seperti menggambarkan sebuah perkampungan suku bugis dan rumah rajanya[3] FungsiRumah adat ini biasanya digunakan sebagai tempat pelaksanaan pameran tahunan, untuk seminar dan atraksi budaya permainan rakyat.[3] Selain itu tempat ini juga biasa digunakan sebagai tempat melaksanakan kegiatan perkemahan lokal dan nasional.[2] Referensi
|