Rumah kongsiRumah kongsi (bahasa Belanda: landhuis; jamak: landhuizen) adalah sebuah rumah desa kolonial Belanda, seringkali menjadi jantung administratif dari sebuah particuliere land atau domain pribadi di Hindia Belanda, sekarang Indonesia. Kebanyakan rumah desa dibangun oleh Belanda di pemukiman kolonial lainnya, seperti Galle, Cape Town dan Curaçao, tetapi tidak ada yang seluas atau serumit di Karesidenan Batavia (wilayah yang mencakup bagian dari Jakarta, Jawa Barat, dan Banten modern). Sebagian besar reputasi Batavia sebagai "Ratu dari Timur" terletak pada kemegahan rumah-rumah mewah dari abad ke-18 ini.[1] Mereka disusun sebagai replika arsitektur Belanda. Belakangan, desain yang menyertakan fitur arsitektur vernakular Jawa adalah respons terhadap iklim tropis. Hasilnya, perpaduan arsitektur Barat dan Jawa yang kemudian dikenal sebagai 'Gaya Hindia' dari Hindia Belanda. Gaya Hindia merupakan bentuk pertama dari perpaduan arsitektur Belanda dan lokal yang kemudian melahirkan gaya arsitektur Rasionalis Belanda awal di Indonesia. Terlepas dari warisan dan statusnya yang dilindungi, banyak rumah pedesaan Hindia Belanda dibiarkan rusak atau dihancurkan, seringkali karena kurangnya perawatan.[1] Banyak dari rumah-rumah ini berada di dalam kompleks milik Polri. Banyak yang diubah menjadi asrama dengan pelestarian yang buruk. SejarahDi Belanda abad ke-17, semakin pentingnya Belanda sebagai negara maritim utama dengan kerajaan komersial yang berkembang, khususnya di Timur, telah menghasilkan modal untuk para pedagang Amsterdam. Pedagang yang semakin kaya ini mulai menginvestasikan keuntungan mereka di tempat tinggal keduanya di luar Amsterdam. Tempat tinggal kedua ini, atau landhuizen, berkisar dari tempat peristirahatan pedesaan yang sederhana hingga rumah bangsawan yang mewah, dan biasanya terletak di sepanjang Sungai Amstel dan Vecht. Di Batavia, kecenderungan serupa terjadi pada pertengahan abad ke-18. Ketika Batavia menjadi semakin tidak sehat selama abad ke-18, pejabat kaya Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC) adalah orang pertama yang kabur dan membangun rumah-rumah megah di pedesaan sekitarnya, biasanya terletak di antara sungai dan jalan yang menuju ke Batavia. Para pejabat VOC membangun rumah pedesaan di luar tembok kota Batavia ketika Ommelanden (pedalaman yang terletak tepat di luar tembok kota) telah diamankan dan dijauhkan dari serangan pemberontak Jawa yang berusaha mengusir penjajah Belanda. Hal ini dicapai dengan membangun garis melingkar pos-pos lapangan berbenteng di tempat-tempat seperti Antjol, Jacatra, Noordwijk, Rijswijk, Angke, dan Vijfhoek; sebagian besar didirikan pada pertengahan abad ke-17. Rumah-rumah ini awalnya berupa struktur sederhana, tetapi seiring berjalannya waktu berubah menjadi rumah pedesaan yang mewah di taman santai yang mewah, seringkali dengan paviliun musik dan menara lonceng. Gaya HindiaGaya Hindia tampak sangat menonjol di rumah-rumah pedesaan Hindia Belanda. Gaya ini muncul pada akhir abad ke-18 dan secara bertahap disesuaikan dengan iklim tropis. Arsitektur ini dapat dibagi menjadi tiga arketipe utama: rumah pedesaan Gaya Belanda, rumah pedesaan Hindia Belanda Transisi, dan rumah pedesaan bergaya Hindia.[2] Setidaknya satu dari masing-masing gaya ini bertahan per tahun 2015.[1] Rumah pedesaan bergaya BelandaRumah pedesaan bergaya Belanda (Nederlandse stijl) populer antara tahun 1730 dan 1770.[2] Mereka biasanya berupa struktur dua lantai yang mereplika rumah-rumah di Belanda. Pengaruh Belanda terlihat jelas pada atap pinggul, fasad tertutup dan kokoh, serta jendela-jendela yang tinggi. Mereka sering terlihat dengan menara lonceng, paviliun musik, dan taman hiburan Eropa.[2] Satu-satunya konsesi untuk iklim tropis adalah serambi atap yang relatif besar dibandingkan dengan rumah aslinya di Belanda. Tidak seperti rumah-rumah di Belanda, perumahan di Batavia memiliki ruang tambahan yang luas untuk menampung para pelayan, sering kali di bagian belakang rumah.[1] Interiornya biasanya lebih besar dari rumah-rumah di Belanda, dengan langit-langit yang jauh lebih tinggi. Contohnya adalah rumah pedesaan Weltevreden, Rumah Groeneveld di Condet, rumah Reynier de Klerck (sekarang menjadi gedung Arsip Nasional Indonesia), dan rumah Jan Schreuder.[2]
Rumah pedesaan Hindia Belanda transisiGaya Stijl Nederlands-Indische ini[2] muncul antara tahun 1750 dan 1800. Struktur dan bentuknya menunjukkan adanya akulturasi dengan iklim tropis. Masih dengan struktur dua lantai, fasad terlindungi dari matahari dan hujan lebat dengan atap menjorok yang lebih besar di segala sisi. Profil atap menyerupai atap lokal bergaya joglo yang secara tradisional diperuntukkan bagi bangsawan Jawa. Lantai atas biasanya dicapai dengan tangga eksternal dan seringkali bagian tengah dibiarkan terbuka untuk ventilasi yang maksimum; serta jendela tinggi dengan daun jendela berkisi-kisi. Gaya arsitektur ini juga populer di Sumatera. Contohnya termasuk Rumah Cililitan Besar (1775) yang masih ada, meski kondisinya sudah mulai rusak.[1] Contoh lainnya adalah rumah pedesaan Pondok Gedeh dan rumah pedesaan Cengkareng.[2]
Rumah pedesaan bergaya HindiaJuga dikenal sebagai rumah Indo-Eropa (Indo Europeesche Stijl)[3] atau Indische stijl,[2] gaya ini muncul antara tahun 1790 dan 1820. Bentuknya merupakan perpaduan gaya Belanda dan pribumi (Jawa). Rumah pedesaan bergaya Hindia biasanya dibangun dengan struktur satu lantai dengan beranda depan (pringgitan) dan beranda belakang (gadri), ditutupi oleh atap bernada tipe joglo yang memanjang di atas beranda. Seringkali beranda terhubung ke galeri samping untuk perlindungan dari cuaca. Beranda sering memiliki pohon palem dalam pot, beton dingin atau ubin marmer yang dilapisi tikar bambu yang dibelah. Referensi barat muncul di kolom Tuscan neoklasikisme yang menopang atap besar yang menjorok dan pintu serta jendela yang didekorasi.[1] Gaya ini direplikasi di seluruh nusantara pada periode selanjutnya. Salah satu dari sedikit contoh yang masih ada adalah Rumah Cimanggis yang bobrok, atapnya runtuh sebelum tahun 2013. Contoh lainnya adalah Rumah Jepang (dibangun untuk Andries Hartsinck pada akhir abad ke-18, dihancurkan pada tahun 1996), Rumah Tjitrap (Citeureup), Rumah Telukpucung, Rumah Camis, dan Rumah Tjilodong (Cilodong).[1][4]
KemunduranDengan bubarnya VOC, rumah pedesaan menjadi kurang populer. Selama abad ke-19, dua jenis arsitektur mulai semakin populer di Hindia Belanda: gaya Neoklasik yang diterima secara universal tetapi memudar, cocok untuk di wilayah kolonial; dan gaya Modernis, yang memunculkan mazhab neo-vernakular yang dipadukan dengan Art Deco untuk menciptakan gaya tropis yang dijuluki Gaya Hindia Baru.[5] Sementara Gaya Hindia sebelumnya pada dasarnya adalah rumah-rumah Indonesia dengan potongan Eropa, pada awal abad ke-20, tren pengaruh modernis diekspresikan pada bangunan-bangunan Eropa yang pada dasarnya dengan potongan Indonesia. Langkah-langkah praktis yang dibawa dari Gaya Hindia sebelumnya, yang merespons iklim Indonesia, termasuk atap yang menjorok, jendela yang lebih besar dan ventilasi di dinding.[3] Lihat pula
ReferensiCatatan kaki
Daftar pustaka
|