Samuel Nicodemus Piry
Samuel Nicodemus Piry, biasa dikenal dengan nama Sam Piry (1922–1966), adalah mantan Wakil Sekretaris (ketua) CDB PKI Nusa Tenggara Timur sekaligus anggota MPRS dari golongan karya. Pada saat penumpasan pasca kegagalan Gerakan 30 September, Sam ikut terkena dampaknya. Pada tahun 1966, ia dibunuh oleh tentara di kawasan Tanah Merah setelah sebelumnya diperintahkan untuk berlari. Ia merupakan adik dari Jacob Piry. Riwayat hidupAwal kehidupanSam dilahirkan pada tahun 1922 di Waingapu, Pulau Sumba. Ayahnya adalah seorang pegawai negeri kolonial beretnis Sabu. Pada dekade 1950-an, Sam bekerja sebagai kerani di rumah sakit Kristen di Waingapu dan pada saat itu aktif di Parkindo. Ia kemudian beralih ke PKI setelah dibujuk oleh kakaknya yang sudah lebih dulu menjadi komunis saat kuliah di Universitas Leiden.[1] Sam pada awalnya ditugaskan untuk menangani langganan surat kabar Harian Rakjat, satu-satunya surat kabar yang berhasil mencapai Waingapu. Ia dibantu oleh putranya, Ratu Piry, yang bertugas mengambil koran dari kantor pos untuk kemudian dikirimkan kepada para pembaca yang umumnya terdiri dari kaum terdidik Waingapu, yakni beberapa pejabat daerah dan para pemilik toko beretnis Tionghoa.[1] Karir sebagai wakil sekretarisSam kemudian diangkat menjadi Wakil Sekretaris CDB PKI Nusa Tenggara Timur berkat sang kakak yang duduk sebagai perwakilan PKI di tubuh DPR RI. Koneksi keluarga juga memainkan peran penting dalam pengangkatan Sam menjadi anggota MPRS sebagai perwakilan dari golongan karya pada tanggal 15 Agustus 1960, sebab kakaknya juga diangkat menjadi anggota MPRS dari anggota DPR RI.[1][2] Karena jabatannya yang baru sebagai anggota MPRS, maka Sam pindah bersama keluarganya dari Waingapu ke Kupang. Pertama, ia menumpang di rumah Simon Bubu, Sekretaris (ketua) CDB PKI Nusa Tenggara Timur pada waktu itu, di Airnona. Namun, setelah mendapat jatah rumah di Oebobo, ia dan keluarganya pindah ke sana. Sam juga semestinya mendapatkan jatah mobil, tetapi ia tidak pernah menerimanya.[1] Pada masa jabatannya, PKI memiliki hubungan yang baik dengan birokrasi lokal maupun pusat. Beberapa anggota polisi bahkan mendatangi rumah Sam untuk meminta bantuan agar mereka memperoleh kenaikan pangkat. Rumah Sam di Oebobo juga sering didatangi anggota PKI, terutama dari kalangan guru sekolah dasar. Mereka yang berasal dari luar Kupang seperti Sabu, Soe, dan Kefamenanu, rela menginap di rumahnya. Dalam rapat-rapat umum, adalah Sam yang lebih banyak berbicara kepada khalayak daripada sang ketua, As Rissi, sebab Rissi bukanlah seorang orator ulung.[3] Karena adanya pertentangan antara Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) dengan PKI, maka GMIT mengeluarkan kebijakan bahwa semua anggota partai tidak berhak menerima Perjamuan Kudus, termasuk Sam. Ketika Simon Bubu wafat pada tahun 1962, pendeta yang menghadiri upacara pemakamannya mengkritik ideologi komunis yang dianut oleh sang mendiang. Terdapat kesan bahwa pimpinan gereja lebih membenci PKI daripada para pimpinan PKI sendiri membenci Gereja. Saat Sam mengucapkan pidato pemakamannya, para pemuda GMIT Airnona menyerang rumah duka. Polisi akhirnya didatangkan untuk menertibkan massa dan mengamankan para perempuan.[4] Pada tanggal 29 Mei 1965, untuk merayakan ulang tahun PKI yang ke-45 yang jatuh enam hari sebelumnya, diadakan perayaan besar-besaran di Kupang. Perayaan diawali dengan rapat raksasa di Stadion Merdeka yang diselenggarakan oleh Pemuda Rakyat. Sam hadir dalam rapat sebagai pembicara utama. Menjelang malam, massa berjalan sepanjang satu kilometer dari stadion menuju kantor CDB PKI NTT di Naikoten. Mereka berjalan dengan membawa obor dan para anggota BTI membawa spanduk dengan nama desa mereka masing-masing, cangkul yang baru di pundak mereka, dan menyanyikan lagu "Nasakom Bersatu" sepanjang perjalanan. Setibanya di kantor CDB PKI, massa disambut oleh Sam, Suro Sardjono, dan para wakil partai lain di Kupang beserta para pejabat setempat, termasuk Gubernur Lalamentik.[5] Dalam pertemuan di kantor CDB PKI, Sam memberi makanan kepada para hadirin dan kembali berpidato. Ia mengulangi apa yang telah ia sampaikan sebelumnya di Stadion Merdeka, yakni mengenai perkembangan politik di tingkat nasional yang semakin ke kiri dan proses menuju Nasakom. Sam juga menekankan pentingnya "disiplin baja" dari para komunis atau "kekuatan Manipol murni" guna menghadapi tantangan-tantangan di daerah dalam mewujudkan Nasakom.[6] Akhir kehidupanBeberapa hari setelah kegagalan Gerakan 30 September pada tanggal 1 Oktober 1965, pemuda GMIT mengerumuni rumah Simon Bubu, tempat Sam menginap, saat tengah malam. Mereka melempar batu ke arah rumah tersebut dan bahkan sebagian dipersenjatai dengan granat oleh tentara yang bersimpati. Para pemuda BTI bergegas dari seluruh penjuru Kupang untuk melindungi Sam, tetapi mereka akhirnya mundur setelah menyadari bahwa pemuda GMIT didukung oleh militer. Sam mencoba mencari perlindungan di rumah Letkol Sutarmadji, Danrem Kupang saat itu, dengan memanfaatkan statusnya sebagai anggota MPRS. Meski demikian, Sam akhirnya ditangkap oleh tentara dan ditahan di asrama atlet sepak bola di Stadion Merdeka.[1] Selama ditahan, tentara menyiksa Sam dengan setrum guna memperoleh informasi darinya. Setelah itu, ia ditahan di penjara lama Kupang. Suatu ketika pada tahun 1966, tentara menjemputnya dari penjara dan membawanya ke kawasan Tanah Merah di pinggiran timur Kota Kupang. Ia kemudian dilepas dan diperintahkan untuk lari. Saat ia lari, tentara menembaknya dan membiarkannya mati. Jenazahnya tidak pernah ditemukan hingga sekarang.[1] Kehidupan pribadiSam memiliki sebuah keluarga yang besar. Salah seorang putranya, Ratu Piry, semasa kecil sering membantu sang ayah mengantarkan surat kabar Harian Rakjat kepada para pelanggan setianya di Waingapu.[1] Dalam kehidupan sehari-hari, Sam dikenal sebagai pribadi yang serius. Ia rajin membaca tulisan-tulisan hukum dan politik bahkan saat makan malam bersama keluarga. Ia juga bertindak keras pada anak-anaknya jika mereka tidak mau belajar.[1] Referensi
Daftar pustaka
|