Sata andagiSata andagi (サーターアンダーギー , saataa andaagii) adalah kue berbentuk bola-bola merekah khas Okinawa. Kue ini dibuat dari adonan telur ayam, terigu, gula, dan bakpuder yang dimatangkan dengan cara digoreng dalam minyak goreng. Dalam bahasa Okinawa dialek Shuri, saataa berarti gula, andaagii berasal dari kata anda (minyak) dan agii (digoreng).[1] Di Kepulauan Miyako, kue ini disebut sata panbin. Dalam bahasa Miyako, sata juga berarti gula, dan panbin berarti kue goreng. Di Hawaii, kue ini dikenal dengan nama andagi. Penggunaan gula yang cukup banyak membuat kue ini tidak terlalu mengembang. Kue ini digoreng dengan minyak suhu sedang (140℃–150℃)[2] hingga matang di bagian dalam. Bagian dalam kue masih lunak seperti donat, tapi renyah dan kering di bagian luar. Kue ini adalah kue rumahan yang sering dibuat sendiri oleh orang Okinawa. Kue ini dibuat sekaligus dalam jumlah banyak karena tahan lama disimpan hingga beberapa hari pada suhu ruang. Toko tempura di pasar, toko suvenir, dan toko kue di Okinawa menjual sata andagi dalam berbagai rasa, misalnya: sata andagi yang menggunakan gula pasir, gula merah tebu, kunyit, waluh, dan uwi. SejarahKue serupa sata andagi juga ditemui di daratan Cina. Pada abad ke-15, Kerajaan Ryukyu sering menerima tamu kenegaraan dari Tiongkok sehingga perlu mengirim juru masak istana ke Provinsi Fujian untuk belajar masakan Tionghoa.[3] Mereka di antaranya pulang dengan membawa keahlian membuat sata andagi dan chinsuko. Kapal pembawa upeti dari Kerajaan Ryukyu ke Dinasti Ming diberangkatkan sebanyak 171 kali.[4] Sebuah kapal pembawa upeti membawa awak kapal dan juru masak Kerajaan Ryukyu yang seluruhnya berjumlah lebih dari 200 orang.[4] Sata andagi mulai dijual di toko-toko setelah pengembalian Okinawa ke Pemerintah Jepang pada tahun 1972.[4] Kue ini lalu dikenal di seluruh Jepang mengikuti kepopuleran drama televisi pagi NHK Chura-san (2001) yang berlokasi di Okinawa.[5] Hidangan untuk perayaanKue ini menggunakan gula dalam jumlah banyak, sedangkan gula pada zaman dulu merupakan barang mewah. Oleh karena itu, dulunya sata andagi hanya dibuat sebagai makanan pesta. Ketika digoreng, bagian dalam kue mengembang setelah bagian luar menjadi kering sehingga kue merekah seperti bunga. Bentuknya yang mirip bunga menjadikan kue ini dipercaya sebagai pembawa keberuntungan. Kue ini merekah sehingga orang Okinawa menganggapnya sebagai simbol perempuan.[6] Sebelum pesta perkawinan, sata andagi diberikan sebagai barang antaran (yuinō) bersama kue kataharanbu yang merupakan simbol laki-laki. Di atasnya lalu diletakkan kue machikaji yang berwarna merah jambu.[6] Kataharanbu juga dibuat berukuran besar, kira-kira 20 cm. Sata andagi juga dijadikan hidangan wajib pada perayaan ulang tahun anak usia 13 tahun (jūsan iwai) dan perayaan usia 60 tahun (kanreki).[5] Ketika dibuat untuk perayaan, kue ini dibuat lebih besar dari ukuran biasa, hingga diameter kira-kira 12 cm–15 cm.[7] Kue goreng sanguachi guashi (sangwacigwaasi) (サングァチグァーシ atau 三月菓子 ) dibuat dari bahan-bahan yang sama seperti sata andagi. Dalam bahasa Okinawa, sanguachi berarti bulan Maret (bahasa Jepang: sangatsu); guashi berarti kue (okashi).[8] Berbeda dari sata andagi, kue ini berbentuk persegi panjang sebesar kartu nama. Sebelum digoreng, dua garis memanjang ditorehkan pada permukaan kue dengan pisau. Sanguachi guashi dulunya merupakan kue istimewa yang dimakan di pantai pada perayaan Hamauri setiap tanggal 3 bulan 3 kalender lama. Namun sekarang, kue ini dijual tanpa mengenal musim. Lihat pulaReferensi
Wikimedia Commons memiliki media mengenai Sata andagi. |