Satin Merah
Satin Merah adalah sebuah novel thriller-misteri karya duet Brahmanto Anindito dan Rie Yanti yang diterbitkan pada tahun 2010 oleh GagasMedia, Jakarta. Novel bersubjudul aku cuma ingin menjadi signifikan ini menceritakan satu periode dalam hidup Nadya, 17 tahun, yang berambisi melestarikan Sastra Sunda yang terancam punah. Penulisan novel yang pernah dinominasikan dalam ajang Anugerah Pembaca Indonesia 2011[1] ini menggunakan sudut pandang orang ketiga. Beberapa tokohnya, meskipun cerita ini bertemakan sastra daerah, digambarkan menguasai teknologi, terutama internet.[2] Kedua pengarang meramu konflik dan ketegangan psikis dalam kata-kata yang lugas dan bab-bab yang pendek. Jalan CeritaNinditha Irani Nadyasari, atau akrab dipanggil Nadya, adalah gadis yang cerdas. Siswi SMA Priangan 2 Bandung ini sudah langganan menjadi juara kelas. Maka tak heran jika dia terpilih sebagai salah seorang wakil sekolahnya untuk mengikuti Pemilihan Siswa Teladan Se-Bandung Raya. Dalam kompetisi tersebut, para peserta diminta membuat makalah dalam tenggat tertentu. Nadya sengaja memilih tema Sastra Sunda untuk makalahnya, supaya terlihat beda di mata juri. Tapi teman-temannya tidak setuju dan malah memandangnya "nggak gaul" karena memilih tema itu. Nadya tak surut langkah. Bahkan dia sampai rela mengorbankan persahabatannya dan menggarap makalah itu sendiri.[3] Nadya terus mempelajari Sastra Sunda. Hingga akhirnya dia bertemu Yahya Soemantri, seorang sastrawan Sunda yang sudah sering mempublikasikan cerpen, puisi, novel, artikel dan esai dalam bahasa Sunda maupun Indonesia. Melalui Yahya, Nadya mulai belajar menulis. Namun apa yang terjadi kemudian bukanlah suatu hal yang diharapkan Nadya. Setelah berguru dua minggu, Yahya terang-terangan mengatakan tulisan-tulisan Nadya jelek. Kritik pedas ini membuat Nadya marah dan kehilangan emosi. Yahya berlalu, Nadya melanjutkan pelajaran sastra Sunda-nya kepada Didi Supena Pamungkas, mantan Redaktur Kriminal Harian Pro Rakyat. Didi merupakan seorang wartawan handal di bidang kriminologi. Rasa ingin tahunya terhadap sesuatu begitu tinggi. Didi pun sangat handal dalam menganalisis logika dari kejadian-kejadian sepele. Pria itu akhirnya curiga kenapa selama ini Yahya, yang kebetulan merupakan temannya di komunitas Sastra Sunda, tidak pernah terlihat. Didi lalu mengajak Nadya mencari tahu permasalahan ini dan menuangkannya dalam tulisan investigatif yang menarik. Nadya tentu saja panik, karena dialah yang terakhir bersama Yahya, sebelum pujangga itu menghilang selamanya dari muka bumi. Maka, menghilangnya Yahya pun segera disusul dengan berita menghilangnya Didi. Nadya kemudian beralih ke sastrawan mentor ketiga, Nining Tisna Munandar, seorang sastrawan berfilosofi cinta. Kemudian mentor keempat, Hilmi, seorang sastrawan yang sekaligus penulis bayangan. Lalu mentor kelima, Lina Inawati, sastrawan Sunda yang sekaligus dosen di Universitas Padjadjaran. Semua rentetan kejadian yang membuat jagat kasusastraan Sunda berduka itu menunjukkan bahwa Nadya bukanlah gadis yang sekadar memiliki passion. Dia begitu ambisius untuk menjadi gadis yang signifikan di lingkungannya. Tapi caranya salah.[4] Pembaca PertamaBerikut ini daftar kelima pembaca pertama novel Satin Merah[5] dan komentar mereka:
Pranala luarReferensi
|