Share to:

 

Sedulur sikep blora

Orang Samin mempunyai ajaran sendiri yang berbeda dari masyarakat lain. Komunitas Samin pada prinsipnya sangat menjunjung tinggi ajaran yang dianutnya, yaitu ajaran yang dikembangkan oleh Samin Surosentiko. Karl Jasper, asisten Residen Tuban dan Tjipto Mangunkusomo – penentang gigih terhadap kebijakan dan eksploitasi Kolonial Belanda – melakukan penelitian ‘gerakan’ Samin. Kesimpulan keduanya hampir sama, menyatakan bahwa ‘gerakan’ Samin adalah sedikit banyak gabungan antara ajaran Hindu dan anarkisme petani arkais, sebagai respon terhadap kontradiksi yang disebabkan oleh dominasi kolonial Belanda dan eksploitasi kapitalis.

Samin dianggap sebagai gerakan yang paling lama bertahan di Jawa sejak ‘digerakan’ oleh Samin Surosentiko (diperkirakan lahir pada tahun 1859 di Desa Ploso Kediren, dekat Randu Blatung), diperkirakan pada akhir abad 19 dan awal abad 20. Ciri dan ajaran-ajaran orang Samin cenderung pasif, jujur, bebas dari ikatan dan tidak mau menuruti perintah orang lain; di antara mereka mengganggap sebagai saudara (sedulur). Salah satu ajaran Samin adalah menikah hanya dengan disahkan dan disaksikan orang tua, tanpa naib (petugas keagamaan yang berwenang menikahkan) dan tanpa mencatatkannya ke Kantor Urusan Agama (KUA).

Konsep ajaran Samin, di antaranya: (1) Urip atau hidup itu sendiri. Hidup dapat menampakkan diri dalam berbagai wujud, tetapi semuanya bisa dibagi ke dalam dua wujud utama, yaitu wong (manusia) dan sandang pangan (pangan dan pakaian). (2) Semua aktivitas manusia memiliki 2 tujuan: tatane wong, yaitu memproduksi manusia dengan mempraktikkan sikep rabi (hubungan seks) dan toto nggaoto (memproduksi pakaian dan mengolah lahan). Dalam hal ini laki-laki bertugas ngicir (menanam) dan perempuan melahirkan. (3) Saat bekerja sama dengan orang lain, maka demen janji (memegang teguh janji) dan tidak mengkhianati orang lain. (4) Karena Agama Adam menempatkan relasi di luar “perkawinan” (istri dan tanah), maka di luar itu menjadi tidak bermakna: tidak ada negara, tidak ada pajak, tidak ada kawulo dan tidak ada gusti, bahkan tidak ada Tuhan dan neraka.

Selain itu komunitas penganut sedulur sikep ini tidak bersekolah, tidak memakai peci, tapi memakai kain yang diikatkan kekepala. Selain itu mereka juga tidak berpoligami dan tidak memakai celana panjang. Biasanya mereka memakai baju lengan panjang tanpa kerah dan celana hitam sebatas lutut atau biasa disebut celana komprang.Komunitas ini juga pantang berdagang, hal ini merupakan penolakan terhadap kapitalisme. Masyarakat ini cenderung terisolir dan memiliki peraturan adat sendiri. Oleh karena itu, jangan heran apabila hukum ketatanegaraan tidak berlaku bagi mereka.Ajaran tersebut menurut ajaran lisan warga Tapelan Blora dikenal sebagai ”angger-angger praktikel”, yaitu hukum tindak tanduk, angger-angger pangucap, yakni hukum berbicara, serta angger-angger lakonana, hukum perihal apa saja yang perlu dijalankan.[1]

Lihat juga

Referensi

Kembali kehalaman sebelumnya