Sega (ritual Jawa)Sega atau sego adalah bahasa Jawa dari nasi.[1] Sega dalam ranah budaya Jawa sering dijadikan ubo rampe atau pernak-pernik dalam sesaji.[1][2] Ubo rampe atau pernak-pernik ini dimaksudkan untuk memohon atau mengirim doa pada para leluhur agar dosa dan kesalahannya diampuni oleh Tuhan dan juga memohon perlindungan pada Tuhan.[1] Sega dalam konteks budaya Jawa memiliki banyak macam yang mengandung makna yang berbeda dalam setiap macamnya.[1] Macam-macam sega dalam ritual Jawa adalah sega gurih atau sega wuduk, sega gilingan, sega seredan, sega liwet, sega golong, dan sega ambegan atau sega asahan.[1] Macam-Macama Sega
Sega gurih atau sega wuduk adalah nasi putih yang dimasak dengan santan dan garam hingga rasanya menjadi gurih.[1] Sega gurih biasa disebut juga dengan sega wuduk atau nasi wudlu.[1] Ubo rampe ini dimaksudkan untuk mengirim doa kepaa Nabi Muhammad SAW karena pada zaman dulu Nabi Muhammad dipercaya makan nasi suci atau nasi wudlu.[1] Oleh sebagian besar masyarakat, sega gurih ini diberi nama nasi Rasul.[1][3][4]
Sega giling adalah nasi putih yang dibungkus daun pisang dan dilipat bagian ujung-ujungnya.[1] Orang Jawa biasa menyebut ujung-ujung yang dilipat itu dengan dipenak.[1] Ubo rampe sega giling ini dimaksudkan sebagai ucapan terima kasih kepada penunggu atau istilah orang Jawa sing mbau rekso di desa, sawah atau tempat pertanian.[1][2]
Sega seredan adalah nasi putih yang dibungkus daun pisang dan dilipat bagian ujungnya.[1] Sega seredan ini bahannya sama dengan sega giling.[1] Hal yang membedakan sega seredan dengan giling adalah ujung yang dilipat pada sega seredan hanya satu sedangkan sega giling kedua ujungnya sama-sama dilipat.[1] Tujuan dari pembuatan sega seredan ini juga untuk menghormati para penunggu yang ada pada lingkungan pertanian masyarakat Jawa.[1]
Ubo rampe nasi liwet berupa nasi yang ditanak. Meski namanya nasi liwet cara membuatnya tidak harus diliwet atau ditanak langsung diatas panci sampai bagian dasarnya membentuk kerak tetapi juga dapat dilakukan dengan cara dikukus.[1] Penyajian biasanya dilakukan dengan menaruh nasi diatas daun pisang.[1] Nasi liwet dimaksudkan sebagai ucapan terima kasih kepada para penunggu di lingkup pertanian.[1][2]
Sego Golong ini berupa nasi putih yang dibentuk bulatan seukuran bola tenis.[1] Oleh nenek moyang orang Jawa, ubo rampe ini dimaksudkan untuk melambangkan kebulatan tekad yang manunggal atau golong gilig.[1] Kebulatan tekad ini pada saat menggelar selamatan biasanya diistilahkan dengan tekad kang gumolong dadi sawiji atau tekad yang menjadi satu.[1] Penyajian sego golong biasanya disajikan dalam pitung jodho atau tujuh pasang atau empat belas butir.[1] Hal tersebut dimaksudkan untuk penghormatan kepada Kang Yasa Jagat atau yang menciptakan bumi dengan seisinya.[1][2]
Sega Ambegan atau Sega Asahan berupa nasi putih lengkap dengan lauk pauknya hanya saja laup pauk yang disajikan harus serba kering dan wajib dilengkapi sambal Cabuk.[1] Sambal Cabuk adalah sambal yang dibuat dari ampas buah wijen.[1] Ubo rampe ini melambangkan suatu maksud agar arwah yang meninggal maupun sanak keluarga yang masih hidup kelak akan mendapat pambenganing pangeran atau selalu mendapat ampun atas segala dosanya dan diterima di sisiNya.[1][4][5] Rujukan
|