Shikasta
Re: Colonised Planet 5, Shikasta (seringkali disingkat menjadi Shikasta) adalah sebuah novel fiksi ilmiah yang diterbitkan tahun 1979 karya Doris Lessing, dan merupakan buku pertama dari seri Canopus in Argos yang terdiri dari lima buku. Novel ini pertama kali diterbitkan di Amerika Serikat pada bulan Oktober 1979 oleh Alfred A. Knopf, dan di Britania Raya pada bulan November 1979 oleh Jonathan Cape. Shikasta juga merupakan nama planet khayali yang diangkat dalam novel ini. Dengan judul kecil "Personal, psychological, historical documents relating to visit by Johor (George Sherban) Emissary (Grade 9) 87th of the Period of the Last Days" (Dokumen-dokumen pribadi, psikologis, historis yang berkenaan dengan kunjungan oleh Duta Johor (Kelas 9) ke-87 (George Sherban) Periode Hari-hari Terakhir), Shikasta merupakan sejarah planet Shikasta (yang disebut Bumi oleh penghuninya) yang dipengaruhi oleh tiga kerajaan galaktik, Canopus, Sirius, dan musuh bersama mereka, Puttiora. Buku ini dihadirkan dalam bentuk serangkaian laporan oleh duta Canopus ke Shikasta, yang telah mendokumentasikan zaman prasejarah planet itu, kemerosotannya yang mengarah pada "Abad Kehancuran" (abad ke-20), dan Kiamat (Perang Dunia III). Shikasta menyinggung Perjanjian Lama dan dipengaruhi oleh tema-tema kerohanian dan mistisisme dalam Sufisme, sebuah sistem keyakinan Islam yang membuat Lessing tertarik pada pertengahan dasawarsa 1960an. Buku ini mewakili pergeseran fokus yang besar dalam penulisan Lessing, dari realisme ke fiksi ilmiah, yang membuat banyak pembacanya merasa kecewa. Novel ini menerima ulasan yang campur aduk dari berbagai kritikus. Sebagian merasa terkesan oleh jangkauan dan visi buku itu, dengan seorang penulis resensi menyebutnya "karya yang berani dan mengganggu dari salah seorang penulis hebat yang hidup dalam dunia ini".[1] Yang lainnya mengritik kesuraman novel ini, bahwa kemanusiaan tidak memiliki kebebasan berkehendak dan bahwa takdir mereka terletak di tangan kerajaan-kerajaan galaktik. Cerita Shikasta dikisahkan kembali dalam buku ketiga seri Canopus, The Sirian Experiments (1980), kali ini dari sudut pandang Sirius. Shikasta muncul kembali dalam buku keempat seri ini, The Making of the Representative for Planet 8 (1982), sementara Zona-zona, yang juga disebut-sebut secara singkat di dalam Shikasta, merupakan subjek untuk buku kedua di dalam seri ini, The Marriages Between Zones Three, Four and Five (1980). AlurCanopus, sebuah kerajaan galaktik penuh kebijakan yang berada di pusat Canopus dalam konstelasi bintang Argo Navis, menjajah sebuah planet muda dan menjanjikan, yang mereka namai Rohanda (yang bermanfaat). Mereka merawat humanoid yang sedang berkembang dan mempercepat evolusi mereka. Ketika para penghuni aslinya siap, Canopus menerapkan "Kunci" pada Rohanda, yang membuatnya terhubung melalui "arus astral"[2] pada keharmonisan dan kekuatan Kerajaan Canopus. Sebagai tambahan atas Canopus, dua kerajaan lain juga membangun keberadaan di planet itu: sekutu mereka, Sirius dari bintang bernama sama, dan musuh bersama mereka, Puttiora. Sirius membatasi aktivitas mereka sebagian besar pada rekayasa genetika di benua bagian selatan di zaman prasejarah Rohana (yang dijelaskan dalam buku ketiga Lessing dalam seri Canopus, The Sirian Experiments), sementara Shammat dari Puttiora tidak melakukan gerakan apapun, hanya menunggu kesempatan untuk menyerang. Selama bermilenia-milenia, para penghuni Rohanda hidup makmur di dalam iklim hidup berdampingan dengan damai dan perkembangan yang dipercepat, yang ditetapkan oleh Canopus. Kemudian sebuah "penyelarasan ulang kosmik", yang tidak diprediksi sebelumnya, membuat Rohanda jadi tidak terhubung dengan Canopus, karena Kunci itu rusak. Setelah kehilangan sumber daya Canopus dan arus stabil zat yang disebut SOWF (substance-of-we-feeling/zat-kami-merasa), para penghuni asli mengidap "penyakit kemerosotan" yang membuat mereka menaruh tujuan-tujuan individu di atas tujuan-tujuan komunitas.[3] Shammat mengeksploitasi gangguan ini dengan mulai mengurangi pengaruh Canopus dan menginfeksi para penghuni asli dengan cara-cara jahat mereka. Ketika Rohanda mengalami kemerosotan ke dalam kerakusan dan konflik, Canopus dengan segan mengubah namanya menjadi Shikasta (yang terlanda). Kemudian di dalam buku ini, Shikasta diidentifikasi dengan Bumi.[1][2][3][4] Sebagai upaya penyelamatan rencana Canopus untuk Shikasta dan memperbaiki kemunduran para penghuni asli, duta Canopus dikirim ke planet itu. Johor adalah salah seorang duta seperti itu, yang kemudian mengambil wujud penghuni asli dan mulai mengidentifikasi individu-individu yang belum mengalami kemerosotan terlalu jauh dan dapat menerima berbagai instruksi korektifnya. Johor kemudian mengirim orang-orang yang telah berhasil dia "ubah" untuk menyebarkan ajaran di antara para penghuni asli lainnya, dan segera komunitas-komunitas yang terpencil mulai kembali ke masa-masa praShikasta. Tapi tanpa SOWF, Canopus memperjuangkan pertarungan yang kalah melawan pengaruh Shammat atas para penghuni asli dan planet itu mengalami kemerosotan yang lebih jauh lagi. Pada abad ke-20 Shikasta, planet itu telah mengalami kemunduran hingga berperang dan merusak diri. Johor kembali, tapi kali ini melalui Zona 6[a], dengan cara dilahirkan di planet itu (inkarnasi) sebagai seorang penghuni asli Shikasta, George Sherban. Ketika Sherban tumbuh dewasa, dia membangun kontak dengan Canopus lain yang menyamar lalu melanjutkan pekerjaannya berusaha membantu para penghuni Shikasta. Tapi kelaparan dan pengangguran tumbuh, serta anarki menyebar. Di malam Perang Dunia III, Sherban dan duta-duta lain merelokasi sejumlah kecil penghuni Shikasta yang menjanjikan ke lokasi yang jauh untuk terhindar dari bencana nuklir. Dia juga mengambil bagian dalam pengadilan seluruh bangsa Eropa atas kejahatan kolonialisme. Eropa telah ditaklukkan oleh China, tapi dia membujuk orang-orang bahwa Eropa bukan satu-satunya pelaku kejahatan. Perang itu menurunkan populasi Shikasta hingga 99% dan menyapu planet itu hingga bersih dari "orang-orang barbar". Shammat, yang telah memasang Shikasta di jalan penghancuran diri, menghancurkan diri mereka sendiri dan menarik diri dari planet itu. Canopus membantu para penyintas membangun kembali kehidupan mereka dan kembali menyelaraskan diri dengan Canopus. Setelah Kuncil diperkuat dan SOWF mengalir dengan bebas lagi, keharmonisan dan kemakmuran kembali ke Shikasta. Latar belakang dan genreDi pertengahan dasawarsa 1960an Lessing telah tertarik pada Sufisme, sebuah sistem keyakinan Islam, setelah membaca The Sufis karya Idries Shah. Dia menggambarkan The Sufis sebagai "buku paling mengejutkan yang pernah [dia] baca", dan mengatakan buku ini "mengubah kehidupan[nya]".[7] Lessing kemudian bertemu Shah, yang menjadi "seorang kawan baik [dan] guru".[7] Di awal dasawarsa 1970an Lessing mulai menulis fiksi "ruang batin", termasuk novel Briefing for a Descent into Hell (1971) dan Memoirs of a Survivor (1974).[8] Di akhir dasawarsa 1970an dia menulis Shikasta dengan menggunakan banyak konsep Sufi.[9] Shikasta dimaksudkan untuk menjadi "buku tunggal tersendiri", tapi ketika alam raya fiksi Lessing berkembang, dia menemukan gagasan untuk lebih dari hanya satu buku, dan berujung menuliskan seri yang terdiri dari lima buku.[10] Shikasta, dan seri Canopus in Argos secara keseluruhan, jatuh dalam kategori fiksi ilmiah halus ("fiksi ruang angkasa" menurut kata-kata Lessing sendiri[10]) karena fokusnya pada penokohan dan isu-isu sosial dan budaya, dan mengurangi isu ilmu pengetahuan dan teknologi. Robert Alter dari The New York Times mengusulkan penulisan seperti ini termasuk dalam genre kritik karya sastra. Northrop Frye menyebutnya "anatomi", yang merupakan "kombinasi fantasi dan moralitas",[11] Gore Vidal menaruh "fiksi ilmiah" Lessing "di suatu tempat antara John Milton dan L. Ron Hubbard".[3] Shikasta mewakili pergeseran besar pusat perhatian bagi Lessing, yang dipengaruhi oleh tema-tema kerohanian dan mistisme dalam Sufisme.[12] Peralihan ke "fiksi ilmiah" ini tidak begitu baik diterima oleh para pembaca dan kritikus.[13][9] Pada akhir dasawarsa 1970an, Lessing dianggap sebagai "salah seorang dari penulis yang paling jujur, cerdas, dan terlibat masa kini",[13] dan para pembaca budaya barat yang tidak akrab dengan Sufisme merasa kecewa Lessing telah meninggalkan "pandangan dunianya yang rasional".[14] George Stade dari The New York Times mengeluhkan bahwa "Nyonya Besar lumpenrealisme kita telah menjadi beragama".[2] Reaksi para penulis resensi dan pembaca pada dua buku pertama dalam seri ini, Shikasta dan The Marriages Between Zones Three, Four and Five (1980), mendorong Lessing untuk menulis dalam Kata Pengantar buku ketiga dalam seri ini, The Sirian Experiments (1980):
Kritik lain terhadap seri Canopus mengikuti, yang termasuk komentar oleh kritikus New York Times, John Leonard: "Salah satu dari banyak dosa yang akan ditanggung abad ke-20 adalah tidak menyemangati Ny. Lessing... Dia sekarang berpropaganda demi keremehan diri kita di dalam kegilaan kosmik".[16] Lessing menjawab dengan mengatakan: "Yang tidak mereka sadari adalah dalam fiksi ilmiah terdapat sebagian dari fiksi sosial terbaik di masa kini. Saya juga mengagumi jenis fiksi ilmiah klasik, seperti Blood Music karya Greg Bear. Dia penulis hebat".[17] Lessing mengatakan di tahun 1983 bahwa dia ingin menuliskan kisah-kisah tentang katai merah dan katai putih, roket-roket luar angkasa yang berbahan bakar antigravitasi, dan kuark-kuark beraneka warna yang menawan, "tapi tak mungkin kita semua menjadi fisikawan".[18] Lessing kemudian menuliskan beberapa esai mengenai Sufisme, yang diterbitkan dalam koleksi esainya, Time Bites (2004).[8] Dia diberi penghargaan Nobel Prize dalam Kesusastraan tahun 2007, dan digambarkan oleh Akademi Swedia sebagai "ahli epik pengalaman perempuan, yang dengan skeptisisme, api dan daya visionernya telah menyelidiki cengan cermat peradaban yang terbagi-bagi".[19] Lessing mendedikasikan Shikasta pada ayahnya. Ketika dia masih anak-anak di Rhodesia Selatan (sekarang Zimbabwe), ayahnya sering memandangi langit malam dan berkata, "Membuatmu berpikir – ada begitu banyak dunia di atas sana, tak akan jadi masalah besar jika kita meledakkan diri – masih ada banyak lagi dari asal mula kita".[13] Shikasta membuat kultus beragama di Amerika meningkat.[18] Lessing berkata dalam satu wawancara bahwa pengikutnya telah menulis padanya dan bertanya, "Kapan kita akan dikunjungi oleh para dewa?", dan dia memberitahu mereka bahwa bukunya "bukan kosmologi, melainkan ciptaan", dan mereka menjawab, "Ah, kau hanya menguji kami".[18] Analisis
—Diambil dari laporan, "Tambahan Penjelasan Informasi II" oleh Johor, Shikasta, p. 250.[20] Nama "Shikasta" berasal dari kata dalam bahasa Farsi, شکسته (shekasteh) yang artinya "rusak",[21] dan seringkali terlihat digunakan sebagai nama gaya nasional Iran untuk kaligrafi Persia, Shekasteh Nastaʿlīq.[22] Dalam bukunya, Lessing tidak menyatakan secara eksplisit bahwa planet Shikasta adalah Bumi, tapi banyak kritikus meyakini bahwa kesamaannya dengan sejarah Bumi membuatnya jelas bahwa Shikasta memang Bumi seperti yang dipandang oleh bangsa Canopus.[23][2][4] Beberapa dokumen dalam buku yang ditulis oleh penghuni Shikasta mengacu pada lokasi geografis dan negara-negara di Bumi.[24] Namun, kritikus lain menerjemahkan Shikasta sebagai kiasan Bumi dengan sejarah paralel yang menyimpang dari waktu ke waktu.[6][13][18] Shikasta telah disebut "antinovel",[25] dan "novel arsitektonik".[26] Novel ini merupakan kisah planet Shikasta dari perspektif Canopus yang dihadirkan sebagai sebuah studi kasus untuk "siswa tahun pertama Penguasa Kolonial Canopus".[2] Buku ini mengandung serangkaian laporan oleh duta Canopus ke planet ini, yang diekstraksi dari referensi Canopus, History of Shikasta,[27] dan salinan surat-surat serta jurnal-jurnal yang ditulis oleh penghuni Shikasta terpilih.[1] Sejarah Shikasta diawasi oleh bangsa abadi Canopus secara virtual,[1] sejak prasejarah Rohanda melalui "Abad Kehancuran" Shikasta (Bumi di abad ke-20), sampai ke masa depan Bumi, ketika China menduduki Eropa dan Perang Dunia III pecah.[3] Buku ini dimaksudkan menjadi sejarah "sejati" planet kita.[26] Shikasta menyinggung Perjanjian Lama, Gnostisisme dan Sufisme,[28] serta menggambarkan beberapa tema Kristen-Yahudi.[26] Lessing menulis di dalam kata pengantar buku ini bahwa buku ini memiliki akar di dalam Perjanjian Lama.[3][29] SOWF (Substance-Of-We-Feeling)nya, "makanan rohani" yang mengalir dari Canopus ke Shikasta, juga merupakan kata yang dia ciptakan dengan pengucapan yang mirip dengan "Sufi".[30] Seorang penulis resensi buku ini dalam Los Angeles Times berkata bahwa Shikasta merupakan "pengerjaan kembali Alkitab",[18] dan situs jejaring Infinity Plus menggambarkan kesejajaran di antara Canopus dan duta-duta mereka dengan Tuhan dan para malaikatnya dari Perjanjian Lama.[28] Seorang penulis resensi dari New York Times menuliskan bahwa "ruang angkasa lebih luar" yang menjadi asal Canopus merupakan metafora untuk "agamawi atau ruang batin".[2] Thelma J. Shinn, dalam bukunya Worlds Within Women: Myth and Mythmaking in Fantastic Literature by Women, menggambarkan pergulatan di antara Canopus dan Shammat, yang dipertunjukkan pada Shikasta, merupakan "pergulatan abadi antara kebaikan dan kejahatan",[31] dan "Penyakit Kemerosotan" yang menyerang Shikasta merupakan metafora untuk dosa asal.[26] Lessing berkata dalam satu wawancara bahwa perang terakhir (Perang Dunia III) di akhir novel itu adalah Kiamat.[32] Phyllis Sternberg Perrakis menuliskan di dalam The Journal of Baháʼí Studies bahwa Shikasta adalah "lukisan simbolis mengenai kedatangan nabi baru di planet seperti Bumi",[33] dan menghubungkannya dengan prinsip-prinsip Keyakinan Baháʼí.[34] SambutanPaul Gray menulis dalam sebuah ulasan di Time bahwa dokumen-dokumen yang membentuk Shikasta membuat Lessing dapat merentangkan novel ini melalui periode waktu yang sangat panjang dan menggeser perspektif "secara dramatis dari hampir ketakterbatasan menjadi menit".[1] Dia mengatakan bahwa keterpaduan buku ini adalah variasinya, dan mencatat bagaimana mengantarai "rancangan besar" dan "konfigurasi kekuatan besar"nya dengan "bagian-bagian kepedihan yang menyakitkan".[1] Gray mengatakan bahwa Shikasta lebih dekat pada Gulliver's Travels dan Perjanjian Lama dibanding pada Buck Rogers, dan mungkin mengecewakan para pembacanya yang menginterpretasikan "fiksi ruang angkasa"nya sebagai "fiksi ilmiah".[1] Dia menemukan visi Lessing yang suram terhadap sejarah Bumi. Dalam pandangan ini Lessing berpendapat manusia "tidak dapat... menghindari membuat kekacauan, dan kekeliruan mereka ditakdirkan oleh kedutan kecil di dalam kosmos", sedikit "tidak memuaskan", tetapi menambahkan bahwa meskipun kau tidak setuju dengan teorinya, buku ini masih bisa dinikmati, "bahkan dengan bersemangat terlibat di setiap halamannya".[1] Gray menyebut Shikasta sebagai "sebuah karya yang berani dan mengganggu dari salah seorang penulis hebat yang hidup di dunia ini".[1] Penulis Gore Vidal menulis di dalam The New York Review of Books bahwa Shikasta merupakan "karya imajinasi yang dahsyat".[3] Dia mengatakan bahwa Lessing merupakan "seorang ahli" penulisan eskatologis, tetapi menambahkan meskipun penggambarannya mengenai terminal London "sangat nyata", sebagai keseluruhan bukunya "tidak pernah cukup nyata".[3] Vidal juga merasakan bahwa Zona 6, dataran alternatif Lessing untuk orang mati,[a] tidak semeyakinkan Tanah Kering dalam karya Ursula K. Le Guin, trilogi Earthsea. Dia membandingkan Canopus dan Shammat dengan Tuhan dan Setan dalam karya Milton, Paradise Lost, tapi mengatakan bahwa meskipun "penggulingan Lucifer... dalam penciptaan tulisannya merupakan hal yang luar biasa", dalam Shikasta, ras manusia Lessing tanpa kehendak bebas terlalu pasif dan tanpa perhatian.[3] Vidal mempertalikan hal ini pada "penyerahan diri" Lessing pada Sufis dan SOWF (Substance-Of-We-Feeling), dan bukan merupakan ketidakmampuannya untuk menciptakan karakter yang bagus.[3] Penulis resensi buku untuk New York Times, George Stade mengatakan bahwa Shikasta "memaksa kita untuk memikirkan tentang... apakah kita, bagaimana kita bisa seperti itu, dan ke mana kita akan pergi", tapi mengeluhkan bukunya dipenuhi dengan "harapan palsu", dan bahwa nasib umat manusia bergantung pada "pancaran-pancaran teosofis, pengaruh-pengaruh kosmik, kekuatan-kekuatan kultus, kunjungan-kunjungan kerohanian, dan getaran-getaran bintang".[2] Ketika aliran SOWF terputus dan penghuni Shikasta mengalami kemerosotan, Lessing "mendakwa sekaligus membebaskan" mereka, dengan menyiratkan bahwa kemanusiaan buruk, tapi itu bukan kesalahan mereka.[2] Sementara Stade memuji Lessing pada satir buku ini, dan penggambarannya atas Zona 6, yang dia katakan "memiliki kecantikan yang menyeramkan dari tulisan Gnostik kuno", dia "tidak menyetujui" novelnya sebagai keseluruhan, tetapi menambahkan, "itu bukan berarti saya tidak menikmati membacanya".[2] Dalam tulisannya untuk Los Angeles Times, M. G. Lord menyebut Shikasta sebagai sebuah "karya epik" dan menyangka buku ini mungkin telah mempengaruhi komite Nobel ketika mereka mengacu Lessing sebagai seorang "ahli epik mengenai pengalaman perempuan".[18] Thelma J. Shinn menulis di dalam bukunya, Worlds Within Women: Myth and Mythmaking in Fantastic Literature by Women, bahwa sejarah yang Lessing gambarkan mengenai kemanusiaan dalam Shikasta "pesimistik" tetapi "meyakinkan".[35] Infinity Plus menggambarkan Shikasta sebagai "novel arusutama yang menggunakan gagasan-gagasan fiksi ilmiah", dan mengatakan bahwa meskipun Lessing tidak dapat meramalkan kejatuhan Uni Sovyet dan dampak komputer, novel ini "hampir tidak tampak tidak berlaku" karena pendekatan "tak spesifiknya yang licin".[28] Tulisan James Schellenberg dalam Challenging Destiny, sebuah majalah fiksi ilmiah dan fantasi Kanada, terkesan oleh "penginderaan perspektif Shikasta yang hebat" dan konteks kemanusiaan yang berlatar "skala peradaban dan berpikir benar yang lebih luas".[36] Dia menyukai konsep SOWF sebagai "metafora keterhubungan komunitas", tetapi merasa buku ini memiliki cara yang tidak biasa untuk membangun utopia.[36] Pengisahan terpisah-pisah buku ini memecah "diktum penulisan yang terkenal – perlihatkan, jangan beritahukan", dan meskipun itu bisa berhasil dalam situasi-situasi tertentu, Schellenberg merasa pendekatan ini tidak bekerja terlalu baik dalam Shikasta.[36] Majalah dalam jaringan, Journey to the Sea menemukan penyertaan kisah-kisah dari Alkitab Ibrani yang dilakukan Lessing "menghibur dan membuat penasaran", dan mengatakan dia menantang penolakan pemikir logis terhadap tulisan-tulisan suci ini, serta berpendapat bahwa "kemungkinan secara imajinatif" tulisan-tulisan itu bisa benar".[9] Setelah kematian Lessing di tahun 2013, The Guardian menaruh Shikasta dalam daftar mereka untuk lima buku teratas Lessing.[37] Catatan
Referensi
Karya-karya yang dikutip
Bacaan selanjutnya
Pranala luar
|