Situs Ndalem PojokSitus Ndalem Pojok Persada Sukarno Kediri atau dikenal dengan Situs Bung Karno Kediri merupakan tempat bersejarah yang menjadi saksi perjalanan hidup Ir. Sukarno, sejak sebelum lahir hingga menjadi Presiden RI yang pertama. Situs ini berupa lahan dengan rumah Jawa tua yang berlokasi di Dusun Krapyak, Desa Pojok, Kecamatan Wates, Kabupaten Kediri. Asal-usulKurang lebih 20 km dari pusat Kota Kediri, terletak rumah tua yang biasa disebut Ndalem Pojok oleh masyarakat sekitar. Rumah ini dibangun oleh Raden Mas Panji Soemohatmodjo sekitar tahun 1850. RMP Seomohatmodjo merupakan Patih Ndalem Kasunanan Surakarta Hadiningrat era Pakubuwono IX. RMP Soemohatodjo dilahirkan dengan nama Raden Soeroto dari pasangan R. Ronodirdjo yang merupakan keturunan Haryo Matahun dan RA. Sajimah, cucu Mangkunegara I. Usai berakhirnya Perang Jawa yang dipimpin Pangeran Diponegoro, RMP Soemohatmodjo yang oleh keluarga lebih akrab disapa dengan Eyang Panji hijrah dari keraton ke wilayah lereng Gunung Kelud dan mendirikan rumah yang sampai saat ini dikenal sebagai Ndalem Pojok.[1] Hubungan dengan Bung KarnoBuku Trilogi Spiritualitas Bung Karno: Candradimuka yang diberi pengantar oleh Guruh Sukarno Putra menerangkan bahwa Situs Ndalem Pojok merupakan tempat pemprosesan jati diri dan tempat yang penuh kenangan bagi sosok Bung Karno. Sebelum dilahirkan, tanaman bunga kantil yang tumbuh di halaman Ndalem Pojok merupakan saksi bisu penanda cinta orang tua Bung Karno, yakni Raden Soekemi Sosrodihardjo dan Ida Ayu Nyoman Rai Srimben. Pada tahun 1890-an, Soekemi muda yang keturunan darah biru Jawa memetik bunga kantil tersebut untuk meminang Ida Ayu yang notabene keturunan Raja Bali. Setelah momen tersebut, pohon tersebut dikenang dengan nama "Pohon Kantil Asmara" karena telah memadukan dua insan yang berbeda latar belakang suku dan agama. Kejadian ini juga tercatat dalam buku tulisan peneliti LIPI, Prof. Nurinwa.[2] Hubungan Bung Karno dengan Ndalem Pojok bermula saat masih bernama Koesno. Pada 28 Desember 1901, Raden Soekemi dimutasi oleh pemerintah kolonial menjadi guru di Ploso, Jombang. Saat itu, Koesno yang masih berusia 6 bulan sering sakit-sakitan karena hidup pada daerah kering dan berkapur di deretan Pegunungan Kabuh. Bahkan, Koesno yang sudah pada masa kritisnya hingga mati suri tersebut membuat kedua orang tuanya kebingungan. Akhirnya, Raden Soekemi membawanya ke seorang yang berkemampuan lebih dan warga menjulukinya sebagai Denmas Mendung. Denmas Mendung sebenarnya adalah RM. Soemosewojo, anak dari RMP. Soemohatmodjo yang telah lama akrab dengan R. Soekemi. Denmas Mendung mensyaratkan jika ditakdirkan sembuh, anak tersebut akan diambil sebagai anak angkatnya dan namanya berganti menjadi Sukarno.[3] Di Ndalem Pojok yang berada di lereng Gunung Kelud inilah, Koesno kecil dirawat dan diganti namanya menjadi Sukarno. Pergantian nama itu ditadadi dengan upacara kenduri bubur merah-putih. Eyang Pandji mendoakan bahwa anak tersebut akan menjadi kebanggan dunia sambil mengusap kepala Sukarno kecil. Seiring dengan kehadirannya dan menjadi anggota keluarga Ndalem Pojok, perkembangan Sukarno semakin lincah. Sukarno senang bermain dan berlarian di halaman Ndalem Pojok yang luas. Karena terjatuh saat bermain, dahi kirinya pun luka dan sampai menjadi presiden, lukanya tersebut masih membekas. Oleh karena itulah, Bung Karno memakai peci miring ke kiri untuk menutupi bekas luka saat jatuh di Ndalem Pojok tersebut.[4] Dia pun senang memakan jagung bakar dan ketela bakar khas pedesaan, serta berhasil menaiki kerbau liar bernama Kebo Buda yang menandakan telah muncul pada diri Sukarno kecil bibit-bibit keberanian dan kepemimpinan. Meskipun telah dewasa, Sukarno masih sering mengunjungi Ndalem Pojok dan bersilaturahmi dengan ayah angkatnya, RM. Soemosewojo. Sukarno yang dididik oleh HOS. Tjokroaminoto ketika indekos di Surabaya telah berkembang menjadi pemuda aktivis. Tak jarang, dia mengajak rekan-rekannya ke Ndalem Pojok. Ruang tamu Ndalem Pojok adalah saksi tempat berdiskusinya Sukarno dengan dr. Cipto Mangunkusumo, RMP. Sosrokartono, dan HOS. Tjokroaminoto tentang nasib bangsa ke depannya. Beringin tua yang berukuran raksasa di halaman Ndalem Pojok juga dijadikan tempat latihan pidato atau orasi Sukarno didampingi gurunya, HOS. Tjokroaminoto. RM Soemosewojo sebagai ayah angkat Bung Karno mempunyai perhatian yang sangat besar terhadap dirinya. RM Soemosewojo sering mengunjunginya, baik saat tinggal di Jombang, Mojokerto, Indekos Pak Tjokro Surabaya, maupun ketika berkuliah di THS, Bandung (kini ITB). Bahkan, RM Seomosewojo menjadi wali Sukarno ketika menikah dengan Inggit Garnasih, karena ayahnya tidak berkenan hadir. Pak Umo, sebutan akrab RM Soemosewojo, juga mendampingi Bung Karno ketika membacakan pidato yang terkenal yakni Indonesia Menggugat saat persidangan Landraad. Peran RM Soemosewojo dan keluarga Ndalem Pojok ini dicatat juga dalam buku karangan Reni Nuryani yang berjudul Perempuan dalam Hidup Soekarno, Biografi Inggit Garnasih.[5] PenghargaanSejak dibuka oleh Yayasan Bung Karno pada 28 Oktober 2015, pengurus Ndalem Pojok aktif melakukan kegiatan kebangsaan demi melestarikan sejarah dan meneruskan perjuangan Bung Karno. Berbagai kegiatan tersebut, antara lain upacara peringatan proklamasi 17 Agustus, upacara hari berdirinya negara, upacara sumpah pemuda, upacara hari lahir pancasila, perayaan bulan Bung Karno, dan hari Kartini. Setiap upacara tersebut diselenggarakan dengan meriah dan dihadiri oleh tokoh lintas agama. Uniknya, pasti terdapat penampilan kesenian atau budaya lokal, misalnya wayang, seni tari, dan macapatan. Karena aktif melakukan kegiatan peringatan nasional dan pembinaan wawasan kebangsaan kepada pengunjung, Desa Pojok, desa di mana situs ini berada, dijadikan Kampung Adat Kebangsaan Kabupaten Kediri dan termasuk dalam 10 besar Desa Adat Jawa Timur. Situs Ndalem Pojok Persada Sukarno juga pernah mendapatkan penghargaan dari Kapolri atas keberhasilan melaksanakan Binlat Karakter Bangsa yang Dijiwai Jatidiri Bangsa Indonesia untuk putra asli Papua. Referensi
|