Situs Watugong
Situs Watugong, bentuk situs Watu Gong-nya sendiri adalah pendopo dengan cungkup yang melindungi artefak di dalamnya, termasuk kumpulan batu yang berbentuk gong. Batu tersebut berfungsi sebagai pelandas tiang. Selain itu fungsi lainnya adalah sebagai asrama keagamaan pada masa Kerajaan Kanjuruhan. Sinonim WatugongWatugong memiliki sinonim yaitu watu keong dan watu bonang. Merujuk pada alat musik atau waditra , gamelan yang ada tonjolan di permukaan atas yang datar. Pada tahun 1990 jumlah artefak yang ada adalah 12 buah termasuk batu berbentuk gong. Selain itu juga adanya lantai bata merah seluas 25 x 50 meter. Bahkan pernah ditemukan pula mahkota emas pada 1950an.[1] Banyak tersebar di seluruh IndonesiaSitus Watu Gong ini juga tidak lepas dari mitos dan cerita mistis. Watu Gong dianggap keramat oleh penduduk zaman dahulu. Dipercaya sebagai alat musik makhluk halus penjaga desa. Beberapa warga juga mengaku pernah mendengar suara gamelan. Namun tentunya mitos tersebut dipatahkan dengan ditemukannya fungsi dari Watu Gong. Beberapa Fakta lain tentang watugong 1. Benda Cagar Budaya Oleh para aktivis perintis kebangkitan Buddha Dharma di Indonesia yang bermarkas di Wihara Buddha Gayā. Toponimi Watu Gong dijadikan filosofi semangat pemutaran roda Dharma. Nilai filosofisnya adalah, bahwa Gong kebangkitan Buddha Dharma ditabuh (tanda mulai) dari Wihara Buddha Gayā. Wihara Buddha Gayā, Watu Gong, terdapat batu berbentuk gong yang merupakan Benda Cagar Budaya (BCB). Batu “Watu Gong” yang satu ini pernah menjadi sarana puja masyarakat Siwa Buddha Kuna. Letak batu “Watu Gong” berada di Bukit Kassapa-Gemruning atau tepat di belakang Markas Kodam IV Diponegoro.[2] 2. Terdapat diberbagai daerah di nusantara
3. Sejarah dengan versi lain Versi pertama Bedasarkan buku Babad Tanah Jawa, Watugong ini ditemukan oleh Sunan Kalijaga. Waktu itu Sunan Kalijaga sedang mencari soko guru (tiang penyangga) Masjid Agung Demak. Dalam perjalanan Sunan Kalijaga mendapati pohon jati yang berpindah-pindah saat ditebang, hingga kemudian sekarang dinamakan dengan “Jatingaleh”. Setelah selesai dengan itu, dia berseteru dengan sesosok makhluk halus yang bernama Wewe Gombel. Dari situ munculah nama “Bukit Gombel”. Pada perjalanan berikutnyalah dia mendengar suara gong dari dalam tanah. Yang kemudian dinamakan dengan “Watugong”. Sedangkan versi kedua dari kacamata umat Budha. Kalau yang ini penemunya adalah Goei Thwan Ling, seorang hartawan. Dulu dia adalah pemilik tanah yang sekarang berdiri Vihara Budhagaya Watugong ini. Ceritanya, Goei Thwan Ling terkesan dengan Bhikkhu Ashin Jinarakkhita yang memimpin perayaan Waisak 2549 (1955) di Candi Borobudur. Karena itulah, Goei Thwan Ling menghibahkan tanahnya untuk dijadikan tempat ibadah umat Budha “Goei Thwan Ling adalah penemu versi kedua. Kemudian dibangunlah Vihara Watugong ini. Dulu belum berbentuk bangunan. Masih Vihara kecil dari kayu. Letak Watugong saat itu masih berada di pinggir jalan. Namun karena adanya pelebaran jalan jadi harus dipindah ke bagian depan vihara. Sekaligus sebagai penanda masuk dengan Gerbang Sanchi. Kasiri juga menambahkan kalau watugong itu berbahan “andesit”.[3] 3. Versi masyarakat Rata-rata warga desa yang desanya terdapat watugong, kebanyakan menuturkan bahwa watugong bersifat mistis, sering terdengar suara gamelan misterius dari situs. Kalau sejarah sampai saat ini secara tahun memang belum diketahui, tapi dari hasil mediasi, meditasi, dan sebagainya, situs ini sudah ada sejak zaman Kerajaan Singosari, sebelum masa Majapahit Adapula yang mengatakan ahwa batu-batu yang ada di situs itu dulunya adalah emas. Sementara itu, situs itu diberi nama Watu Gong karena di tempat itu banyak ditemukan batu menyerupai alat gamelan mulai dari bonang, kendang, kempul, hingga gong, serta beberapa batu yang mirip dengan bentuk lainnya. Menurut cerita masyarakat, dulunya Desa Tumenggungan merupakan tempat berkumpulnya raja-raja Jawa. Hingga kini, suara gamelan di sana kerap dikaitkan dengan adanya penyambutan dari raja-raja Jawa terdahulu ke tempat tersebut secara tak kasat mata.[4] 4. Versi peneliti Dalam penelitian itu diketemukan adanya bahan perekat bangunan atau semen purba dan campuran pasir putih atau pasir laut pada batu olahan penyusun candi. Penelitian selama ini dilakukan sebagai upaya untuk membuktikan sebuah hepotesis yang menyatakan situs Watu Gong sengaja dipendam di dalam tanah.[5]
|