Smartfren Telecom
PT Smartfren Telecom Tbk (sebelumnya bernama PT Mobile-8 Telecom Tbk) adalah operator penyedia jasa telekomunikasi berbasis teknologi 4G LTE Advanced yang merupakan pengembangan lanjutan dari 4G. Produk perusahaan ini adalah Smartfren (nama digayakan sebagai smartfren.), yang dahulu bernama Fren. SejarahPerkembangan awalPT Mobile-8 Telecom Tbk didirikan pada 2 Desember 2002 dan mulai beroperasi pada 8 Desember 2003.[1] Pembentukannya tidak lepas dari upaya pemilik Bimantara Citra yang baru, Hary Tanoesoedibjo (HT) yang mulai memfokuskan bisnisnya di bidang telekomunikasi dan media. Sebenarnya, Bimantara sudah memiliki perusahaan telekomunikasi bernama Komselindo (Komunikasi Selular Indonesia) bersama dengan Telkom, tetapi sistemnya masih AMPS dan CDMAOne. Dengan mendirikan Mobile-8, Bimantara berusaha membangun operator seluler dengan sistem baru dan layanan baru. Untuk memuluskan rencananya, HT (lewat perusahaan miliknya, PT Centralindo Pancasakti Cellular)[3] mengakuisisi operator seluler yang masih berteknologi AMPS: terhadap seluruh saham Telkom di Komselindo dan PT Telekomindo Selular Raya (Telesera) dalam transaksi bernilai Rp 185,10 miliar di tanggal 8 Agustus 2003.[4] Selain keduanya, PT Centralindo juga memiliki operator AMPS lain bernama Metrosel (Metro Selular Nusantara).[5] Ketiga perusahaan tersebut kemudian dikonsolidasikan sebagai anak usaha PT Mobile-8 Telecom: Komselindo sejak 21 Februari 2003, Metrosel sejak 7 Maret 2003 dan Telesera sejak 28 September 2004.[6] Selain akuisisi tiga perusahaan tersebut, Mobile-8 juga menjalin kerjasama strategis dengan beberapa perusahaan asing, yaitu Qualcomm (sebagai pemegang saham dan penyedia infrastruktur CDMA2000), Korea Telecom Freetel (sebagai pemegang saham dan penasihat dalam pengelolaan jaringan), dan Samsung Electronics (dalam pembangunan 433 BTS). Diperkirakan, sekitar US$ 60-200 juta dan Rp 260 miliar telah disiapkan Mobile-8 untuk memulai pengoperasian layanannya.[7][8] Pada 23 Oktober 2003, Mobile-8 berhasil mendapatkan izin beroperasi dari pemerintah dengan menggunakan jaringan eks-Komselindo, Metrosel dan Telesera.[6] Tidak lama kemudian, di tanggal 8 Desember 2003, Mobile-8 resmi meluncurkan produknya, yaitu Fren yang berbasis CDMA2000 dengan modal awal berupa pengguna dari tiga perusahaan sebelumnya, yaitu Telesera, Metrosel dan Komselindo yang dialihkan dari AMPS/CDMAOne ke CDMA2000. Meskipun memiliki izin nasional, mulanya layanan Fren hanya bisa dinikmati di pulau Jawa.[7] Sebelum 2008, Fren merupakan satu-satunya produk dari Mobile-8, hingga ketika 3 Mei 2008 diluncurkan layanan FWA bermerek Hepi dan pada 4 Februari 2009 diluncurkan layanan internet murah bernama Mobi (Saat ini, layaknya Fren, Hepi dan Mobi sudah tidak digunakan lagi seiring penggunaan merek tunggal Smartfren). Selain produk-produk untuk konsumen, Mobile-8 juga menyediakan layanan komunikasi bagi kebutuhan korporat, seperti mobile virtual private network dan hunting bergerak.[6] Setelah tertunda selama setahun, pada 3 Oktober 2006 PT Mobile-8 Telecom melakukan penawaran umum perdana (IPO) dan mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Jakarta dan Bursa Efek Surabaya dengan melepas 19,91% sahamnya seharga Rp 225/lembar.[9][10] Hal tersebut dilakukan demi mematuhi aturan Bapepam-LK yang mewajibkan pencatatan di bursa efek setelah saham Mobile-8 dimiliki lebih dari 100 pihak.[11] IPO ini disusul dengan penerbitan obligasi rupiah untuk pertama kalinya di bulan Maret 2007 yang dicatatkan di Bursa Efek Indonesia, dan penerbitan Guraranteed Senior Notes yang dicatatkan di Bursa Efek Singapura oleh anak usahanya Mobile-8 Telecom Finance Company B.V.[12] Selanjutnya, di tanggal 11 Juni 2007, Mobile-8 melakukan penggabungan tiga anak usahanya diatas, yaitu Metrosel, Komselindo dan Telesera ke perusahaan induknya. Merger ini mengakibatkan izin operasional Mobile-8, yang sebelumnya atas nama tiga anak perusahaannya tersebut, kini beralih ke Mobile-8.[1] Menurut HT pada 2007 ia sangat puas dengan kinerja perusahaan ini, yang pada tahun tersebut memiliki 2 juta pelanggan,[13][14] naik dari 50.000 di bulan April 2004.[7] Tercatat pada 2006-2008, Mobile-8 melakukan beberapa inovasi demi memperkuat operasionalnya, seperti pada Mei 2006 berhasil mengoperasikan layanan 3G dengan teknologi EV-DO,[12] yang disusul dengan mendapatkan izin untuk menyelenggarakan jaringan CDMA secara nasional dan Jaringan Tetap Lokal Nirkabel di tahun 2007.[15][16] Lalu pada 2008, diluncurkan fitur baru World Passport, yang memudahkan pelanggan melakukan roaming internasional ke jaringan CDMA atau GSM.[12] Mobile-8 juga sempat berencana untuk mengikuti tender 3G yang diadakan pemerintah (yang diikuti oleh anak usahanya Komselindo) pada 2006 dan tender Sambungan Langsung Jarak Jauh (SLJJ) pada 2008, tetapi keduanya tidak berhasil.[17][18] Perubahan kepemilikanWalaupun demikian, pada akhirnya Global Mediacom (nama baru Bimantara) lebih memilih untuk fokus dalam bisnis media massa, sehingga mereka memutuskan untuk melepas perusahaan ini dari kepemilikan awal sebesar 60%. Pada 2008, 15% saham Global Mediacom dilepas ke publik, dan pada bulan September di tahun yang sama, Global Mediacom melepas 32% sahamnya kepada perusahaan asal Dubai, Jerash Investments Ltd. Meskipun demikian, Global Mediacom masih memegang 19% saham Mobile-8 dan menjadi pengendalinya.[19][20] Tindakan pelepasan ini disebabkan oleh gagal bayarnya obligasi Mobile-8 pada 2008 senilai Rp 675 miliar,[21] belum lagi hutang dan kerugian yang membelit perusahaan ini.[22][23] Namun, Jerash sesungguhnya bukanlah perusahaan telekomunikasi, melainkan hanya berinvestasi di Mobile-8. Dalam perkembangannya, rencana divestasi 19% sisa saham Global Mediacom di Mobile-8 terus berlanjut, dengan adanya dua pihak yang berminat: Grup Sinar Mas yang mengelola kartu Smart dan Bakrie Telecom yang mengelola kartu Esia.[24] Namun, kemudian Bakrie Telecom memilih membatalkan rencananya[25] sehingga akuisisi hanya diminati oleh Sinar Mas. Keduanya lalu mengadakan perundingan, dan pada 11 November 2009, 19% saham Global Mediacom di Mobile-8 berpindah ke tangan PT Gerbangmas Tunggal Sejahtera (5%), Centurion Asset Management Ltd. (7%) dan Boquete Group SA (7%) dalam transaksi senilai Rp 211 miliar. Adapun Gerbangmas merupakan perusahaan yang terafiliasi dengan Sinar Mas, sedangkan kepemilikan Centurion dan Boquete tidak diketahui.[26][27][28][29] Sesungguhnya, rencana Sinar Mas untuk mengakuisisi Mobile-8 sudah ada sejak 2005 (pada saat itu Sinar Mas bahkan dikatakan sudah membangun konsorsium untuk proyek ini), tetapi gagal karena ketidaksepakatan harga.[30][31][32] Sinar Mas juga berencana untuk mengakuisisi saham Jerash (32%) di Mobile-8 agar kepemilikannya bertambah.[33] Setelah akuisisi ini, Sinar Mas dihadapkan pada masalah seperti hutang di Mobile-8, dan untuk menyelesaikannya pihak Mobile-8 mulai berbenah seperti menegosiasi dan mengatur ulang kerjasama dengan sejumlah vendor.[34] Akusisi tersebut membuat Sinar Mas memiliki dua perusahaan telekomunikasi, yaitu PT Mobile-8 Telecom Tbk dan PT Smart Telecom (yang mengelola kartu Smart). Meskipun awalnya disampaikan bahwa keduanya akan tetap beroperasi sendiri-sendiri,[35] namun pada akhirnya keduanya memutuskan untuk mengkonsolidasikan layanan mereka dengan nama Smartfren untuk efisiensi biaya. Awalnya, kedua perusahaan belum bergabung dan masih sekedar melakukan kerjasama penyatuan merek (dan logo) pada 3 Maret 2010. Selain dalam merek, kerjasama/integrasi juga dilakukan dalam penjualan produk bersama, lokasi pelayanan pada pelanggan, SDM, dan tentu saja penggunaan jaringan (800 MHz Fren, 1900 MHz Smart) maupun BTS.[36][37] Memasuki Desember 2010, integrasi dalam jaringan juga semakin dipercepat oleh Smart dan Mobile-8.[38] Namun, untuk integrasi kedua perusahaan, awalnya sempat terhambat karena RUPSLB 8 Desember 2010 tidak mencapai kuorum.[39] Baru pada 18 Januari 2011, rencana tersebut dapat terwujud dengan Mobile-8 melakukan rights issue kepada pemegang saham Smart Telecom, yaitu PT Bali Media Telekomunikasi, PT Wahana Inti Nusantara, serta PT Global Nusa Data senilai Rp 3,77 triliun. Setelah rights issue itu, 57% saham Mobile-8 beralih pada pemegang saham Smart Telecom. Dalam kegiatan tersebut, PT Smart Telecom juga dijadikan anak perusahaan Mobile-8, dan yang digabung hanyalah operasionalnya saja bukan perusahaannya, sehingga dapat dikatakan Sinar Mas melakukan backdoor listing. Akhirnya, proses integrasi operasional dan transaksi kedua perusahaan tuntas pada 23 Maret 2011 dan PT Mobile-8 Telecom Tbk resmi mengganti namanya menjadi PT Smartfren Telecom Tbk pada 28 Maret 2011.[40][41][42] Merger operasional ini menghasilkan 6,5 juta pelanggan, dengan 2,5 juta dari Smart dan sisanya dari Fren. Namun, untuk PT Smart Telecom sebenarnya tidak dileburkan (atau merger), dan sampai saat ini masih berdiri menjadi anak perusahaan Smartfren yang khusus mengelola jaringan perusahaan induknya.[43][44][45][46][47] Direncanakan, setelah penyatuan ini, BTS Smartfren akan menjadi 3.000 unit, layanannya diperluas ke wilayah-wilayah pulau Sumatra dan Kalimantan serta kinerja perusahaan akan mengalami peningkatan.[48] Perkembangan pasca-2011Pada 30 Oktober 2014, antara Smartfren dan Esia berhasil dijalin kerjasama antara kedua operator CDMA tersebut untuk membangun jaringan 4G. Kerjasama dilakukan dengan menggabungkan frekuensi CDMA mereka untuk digunakan dalam sistem 4G, dan Esia akan menyewa jaringan yang disatukan milik Smartfren tersebut untuk pelanggannya.[49][50] Memasuki awal 2015 proyek ini sudah berjalan dengan baik.[51] Kerjasama ini tetap dilanjutkan seiring penutupan dan penghentian layanan Esia, dimana pada 1 April 2015 jaringan data-nya diputus dan pada awal 2016 Esia resmi menghentikan seluruh layanan CDMA-nya di seluruh Indonesia kecuali Jakarta. Seluruh pelanggan Esia tersebut, akhirnya seperti "diminta" beralih ke Smartfren, jika tidak mereka tidak dapat memakai alat komunikasinya lagi.[52][53] Selain kerjasama dengan Esia yang kini sudah tidak beroperasi, Smartfren juga menjalin kerjasama dengan BOLT! dan Hinet yang masing-masing menghentikan operasinya pada Desember 2018 dan November 2022. Pelanggan BOLT! dan Hinet boleh menukar kartunya ke kartu Smartfren, atau bisa dikatakan "dianjurkan" untuk bermigrasi ke Smartfren.[54][55] Dibandingkan perusahaan operator seluler lain, Smartfren merupakan operator dengan jumlah konsumen terkecil (pada 2019 hanya 13,3 juta, bandingkan dengan Telkomsel yang mencapai 171 juta).[56] Selain itu, walaupun pengguna serta pendapatannya meningkat, Smartfren sempat tidak pernah mencetak untung selama 12 tahun (sejak 2008). Misalnya, pada semester I 2019 ruginya mencapai Rp 1,07 triliun, kemudian pada semester I 2020 ruginya menjadi Rp 1,64 triliun (meskipun pada pertengahan 2022 berhasil mencatatkan untung Rp 1,64 triliun).[57] Akibat kinerjanya yang kurang baik, pernah selama bertahun-tahun saham Smartfren di Bursa Efek Indonesia selalu berada di harga terendah Rp 50.[58] Namun, seorang analis mengatakan bahwa Smartfren tidak akan bangkrut (misalnya seperti Bakrie Telecom) karena dimiliki kerajaan bisnis Sinar Mas yang dianggap sebagai salah satu konglomerasi terbesar di Indonesia. Bahkan, manajemen justru tetap ingin berekspansi, misalnya meningkatkan BTS-nya dari 17.000 menjadi 20.000 buah,[59] dan mematok 2021 dan 2022 menjadi tahun dimana Smartfren berhasil merengkuh 40 juta pengguna.[60][61] Mengingat jumlah pengguna layanan dari perusahaan ini yang selalu berada di posisi "buncit", Smartfren selalu dibayangi oleh isu merger dan akuisisi dengan perusahaan telekomunikasi lain yang lebih besar. Pada akhir 2018, misalnya dirumorkan Smartfren akan merger dengan Indosat, di awal 2019, 2021 dan 2023 rumor lain mengatakan bahwa Smartfren akan merger dengan XL Axiata,[31] dan pada akhir 2020, Smartfren sempat dirumorkan akan merger dengan Tri. Namun, tampaknya ketiganya hanya sebatas rumor semata.[62][63] Ada yang memperkirakan, lagi-lagi karena faktor pemilik yaitu Grup Sinar Mas yang tidak ingin "harta" perusahaannya itu diambil alih oleh perusahaan asing.[64] Walaupun demikian, sebenarnya manajemen Smartfren tidak menutup peluang untuk melakukan penggabungan usaha (dan kerjasama) dengan siapapun.[65] Merger dengan XL AxiataMemasuki September 2023, kabar bahwa akan dilakukan merger antara Smartfren dan XL Axiata mulai berhembus kembali, setelah Bloomberg mendapatkan kabar bahwa Sinar Mas dan Axiata sebagai pemilik kedua perusahaan telah berkonsultasi dengan penasihat untuk mempertimbangkan adanya kerjasama, entah itu merger atau kerjasama network sharing, meskipun dibantah awalnya oleh kedua perusahaan.[66] Pada saat yang sama, pemerintah (Kemenkominfo) ikut mendorong proses tersebut demi menciptakan industri telekomunikasi yang lebih kompetitif dan sehat.[67] Di tengah masih simpang-siurnya isu merger tersebut, berbagai skema merger lain pun ikut bermunculan. Seperti adanya rencana meleburkan XL Axiata dan Smartfren dalam satu perusahaan baru, sebelum nantinya diakuisisi sahamnya oleh PT Dian Swastatika Sentosa Tbk.[68] Pada 15 Mei 2024, Axiata mengumumkan adanya penandatanganan nota kesepahaman dengan beberapa entitas milik Grup Sinar Mas yang memegang saham Smartfren, yaitu PT Wahana Inti Nusantara (WIN), PT Global Nusa Data (GND), dan PT Bali Media Telekomunikasi (BMT), sebagai proses awal merger antara XL dan Smartfren. Nota kesepahaman ini masih belum mengikat dan bersifat untuk menjajaki peluang-peluang yang ada.[69] Seiring waktu, kedua pihak pun menyatakan kesiapannya untuk mempercepat proses tersebut,[70][71] dan per Juli 2024 sudah memasuki tahap due diligence.[72] Berbulan-bulan kemudian, lewat ringkasan rancangan merger yang dipublikasikan pada 11 Desember 2024, rencana merger kedua perusahaan pun resmi terungkap, menyusul kesepakatan penggabungan yang telah ditandatangani sehari sebelumnya. Dalam skema merger ini PT Smartfren Telecom Tbk (plus anak usahanya, PT Smart Telecom) akan dileburkan dalam PT XL Axiata Tbk sebagai penerima penggabungan. Pemegang saham XL Axiata akan dibagi seimbang antara Axiata dan Sinar Mas sebesar 34,8%, sisanya milik publik.[73] Kedua pihak juga akan mengendalikan perusahaan pasca-merger secara bersamaan.[74] PT XL Axiata Tbk pasca-merger akan diberi nama PT XLSmart Telecom Sejahtera Tbk, yang memiliki sekitar 94,5 juta pelanggan dan akan efektif mulai beroperasi pada 15 April 2025.[75][73] Adapun merek Smartfren pasca-merger akan dipertahankan sebagai pendamping merek AXIS dan XL.[76] Menurut Grup Sinar Mas, digabungkannya Smartfren ke XL Axiata menjadi upaya penting untuk memberi nilai tambah yang besar kepada seluruh pemangku kepentingan lewat layanan yang prima, konektivitas digital, dan inovasi. Merger juga bertujuan untuk mendukung pemerintah dalam mendorong transformasi digital.[74] Merger ini disebutkan sebagai "langkah strategis yang dipertimbangkan dengan matang untuk menciptakan manfaat signifikan bagi seluruh pemangku kepentingan".[77] Pasca-merger, Direktur Utama Smartfren, Merza Fachys menyebutkan bahwa tidak akan dilakukan rasionalisasi atas karyawan eksisting Smartfren pasca-merger, malah justru akan membuka berbagai peluang yang lebih luas.[78] Operasional perusahaanManajemen
Struktur kepemilikan
Anak usaha
Produk dan layananProduk dan layanan saat iniAwalnya, Smartfren merupakan operator telekomunikasi yang menyediakan layanan CDMA2000 EV-DO Rev. A dan EV-DO Rev. B (setara dengan 3,5G di GSM dengan kecepatan unduh s/d 14,7 Mbps) bersama Qualcomm sebagai penyedia infrastruktur, dan operator CDMA pertama yang menyediakan layanan BlackBerry. Adapun fitur EV-DO Rev. A diluncurkan pada Mei 2006 dan EV-DO Rev. B diluncurkan pada Juni 2011 (yang diiringi peluncuran kampanye I Hate Slow dan maskot Mr. Kwik).[12] Frekuensi yang digunakan saat itu ada di 1900 MHz (eks-Smart) dan 800 MHz (eks-Fren).[44] Dengan adanya kebijakan pemerintah, pada Desember 2016 frekuensi 1900 MHz dimatikan dan digantikan frekuensi 2,3 GHz.[79] Berbeda dengan Fren yang fokus pada layanan telepon dan SMS, Smartfren memposisikan dirinya sebagai penyedia layanan internet berbiaya terjangkau.[80] Pada 19 Agustus 2015, Smartfren meluncurkan produknya yang bernama smartfren 4G LTE-Advanced dan menjadi operator seluler pertama di Indonesia yang menggunakan teknologi 4G LTE Advanced (atau yang dikenal sebagai 4.5G dengan kecepatan mengunduh hingga 300 Mbps), dan mulai saat itu tidak lagi fokus pada CDMA seperti sebelumnya.[81] Kini, Smartfren hanya beroperasi dengan jaringan 4G (bahkan direncanakan akan menjadi 5G) setelah memutus jaringan CDMA2000-nya pada akhir 2017, menjadikannya operator terakhir yang menggunakan sistem ini. Pematian CDMA juga disertai dengan penghentian penjualan HP bermerek Andromax yang dulu dijualnya.[82][83] Pada Juli 2019, seiring dengan beredarnya iPhone 11, Smartfren mulai menjual produk eSIM pertama di Indonesia. Pelanggan dapat mengurusnya di gerai Smartfren di beberapa tempat.[84] Lalu, pada 5 Juni 2020 layanannya diperluas sehingga bisa digunakan HP Android.[85] Lalu, sebagai upaya untuk menjadi operator 5G, Smartfren mengikuti lelang yang dilakukan oleh pemerintah pada akhir 2020.[86] Pada 18 Desember 2020, pemerintah mengumumkan bahwa Smartfren (bersama Tri dan Telkomsel) adalah pemenang dari lelang frekuensi, di blok A pada frekuensi 2,3 GHz.[87] Manajemen sudah menargetkan untuk menjadikan hasil lelang ini sebagai upayanya untuk meningkatkan pelayanan dan memperluas jaringannya.[88] Bahkan, harapan tinggi dipatok oleh Smartfren dengan menargetkan pertumbuhan pelanggan 30%.[89] Namun, tiba-tiba pada 25 Januari 2021, Kemenkominfo membatalkan hasil lelang ini. Pihak manajemen Smartfren menerima keputusan tersebut.[90] Ketika rencana lelang kembali diumumkan di frekuensi 2,1 GHz, pihak Smartfren menyatakan menolak ikut karena menganggap investasinya terlalu mahal.[91] Pada akhir 2022, tercatat Smartfren Telecom telah beroperasi di 220 kota di Indonesia, dengan cakupan sinyal menjangkau 80% penduduk (mayoritas di pulau Jawa, dibantu sekitar 43.000 BTS). Adapun jumlah penggunanya di tahun tersebut mencapai 35,5 juta.[92] Produk yang dikeluarkan oleh Smartfren, seperti:[93]
Sebelumnya, Smartfren juga pernah mengedarkan produk-produk berikut:
Power UpMerupakan layanan yang sering disebut sebagai operator seluler digital, namun sesungguhnya bisa dikatakan Power Up bukanlah sebuah operator yang mereknya berdiri sendiri, seperti By.U, MPWR atau Live.On namun hanya menjadi sub-brand dari Smartfren. Namun, produk ini memiliki fitur sejenis dengan operator digital yang telah disebutkan. Sebenarnya, Smartfren sudah memiliki produk yang berdiri sendiri bernama Switch, tetapi kedua produk ini bisa dikatakan terpisah.[94] Layanan Power Up (resminya Smartfren Power Up) diluncurkan pada 10 Juni 2020 dalam sebuah konferensi pers. Dalam peluncurannya tersebut, pihak Smartfren mengklaim bahwa produknya ini menawarkan sistem keanggotaan (membership) sehingga terkesan eksklusif. Seperti telah disebutkan, layanan Power Up mirip dengan operator digital seperti pelanggan dapat memilih nomor teleponnya sendiri, penggunaan dan jenis kuota yang bisa diatur, kuota yang tidak akan hangus ketika jatuh tempo (diakumulasi), pelanggan tidak perlu membeli kartu secara langsung (mengurusnya di aplikasi saja, nanti dikirimkan setelah pembayaran) dan ditambah bonus-bonus seperti cashback, bonus kuota progresif (semakin banyak membeli, semakin banyak bonus), dll. Selain itu, pelanggan dapat mendapat bonus berupa poin khusus yang bisa ditukar dengan hadiah menarik, dan jika ada kuota tersisa maka bisa ditukar dengan poin ini.[95][96] Pelanggan dapat mengakses aplikasi mySmartfren di App Store maupun Google Play Store untuk melakukan registrasi pada layanan Smartfren ini, atau bisa juga di website Smartfren.[97] Ada dua jenis paket yang ditawarkan dengan masa aktif 168 hari, yaitu:
Pelanggan lama Smartfren bisa mengubah layanannya menjadi Power Up dengan aplikasi mySmartfren. Target dari manajemen Smartfren adalah, bisa meraih 2-3 juta pelanggan dalam 7 bulan dengan pasar anak muda. Pemasarannya dan promosinya menggunakan media digital daring, seperti e-commerce dan influencer.[102] Misalnya, dalam diskusi pada 26 Juni 2020, Smartfren Power Up mengundang Awkarin dan Arief Muhammad untuk berbicara di kanal Youtube-nya tentang mengeksplor peluang.[103] Seiring dengan penutupan layanan sejenis, Switch, ada yang menganggap bahwa hal ini disebabkan upaya Smartfren memiliki satu merek saja, tetapi pihak Smartfren membantah hal ini dengan alasan pasarnya berbeda.[104] Uniknya, ketika Switch digabung justru mereka tidak bergabung dengan Power Up dan hanya dialihkan ke layanan Smartfren biasa.[105] Menurut pihak Smartfren, pada awal 2021 pelanggan Power Up sudah bertambah banyak dan mereka siap untuk memperluas penjualan produknya.[106] Produk dan layanan lamaSebelum diakuisisi Sinar Mas, Mobile-8 mengeluarkan tiga merek, yaitu Fren (2003, sebagai produk pertama dan utamanya), Hepi (2008) dan Mobi (pada 2009). Seiring dengan upaya manajemen baru mengintegrasikan merek-mereknya menjadi satu, maka merek Mobi dan Fren (berikut Smart) berubah menjadi Smartfren sejak 2011. Sedangkan untuk Hepi sudah dileburkan dengan Fren sejak 2009. FrenFren adalah layanan kartu seluler 3G berbasiskan teknologi wireless CDMA2000 1x EV-DO Rev. A dengan slogan "murah dan tidak repot". Fren merupakan singkatan dari Fast Enjoyable Reliable Network (Jaringan yang Cepat, Mudah Dinikmati dan Dipercaya).[107] Diluncurkan pada 8 Desember 2003, sebagai fokus awalnya Mobile-8 menargetkan 1 juta pengguna (khususnya anak muda) di wilayah pulau Jawa, yang akan dilayani 433 BTS pada April 2004.[108] Promosi Fren dibantu oleh media televisi yang dimiliki oleh Hary Tanoe, yaitu RCTI, TPI dan Global TV yang dimanfaatkannya untuk mengiklankan produknya ini dengan 40 spot/hari. Pada 2006, juga diluncurkan layanan bernama TV Mobi yang membuat pelanggan Fren bisa menonton TV di telepon seluler mereka, yang dimulai dari 3 stasiun TV tersebut.[109][110] Beberapa kelebihan yang ditawarkan Fren, antara lain:
Fren memiliki dua layanan yaitu Fren Prabayar (diluncurkan pada 2003, terdiri dari Fren Sobat serta Fren Duo) dan Fren Pascabayar (diluncurkan pada April 2004).[6] Selain dua produk ini, juga pernah diluncurkan berbagai layanan seperti FrenSip (bundling dengan telepon seluler seperti Samsung),[111] Fren Jos,[112] Frentetan Gratizan[113] dan berbagai produk lain. Distribusi dan pelayanan produknya dilakukan oleh gerai khusus bernama "Mobile-8 Center" yang ada di sejumlah kota di pulau Jawa,[7] serta puluhan ribu counter, gerai dan distributor.[6] Fren Sobat diluncurkan pada 29 Januari 2009 di Jakarta. Maksud dari "Sobat" adalah dalam satu paket kartu perdana, terdapat 4 nomor yang berurutan, sehingga bisa dibagikan ke pengguna lain agar mudah diingat. Para pengguna dari paket ini bisa saling menelepon gratis dan menggunakan layanan seperti SMS dengan harga murah, mendapatkan diskon 50% ketika isi pulsa pertama, dan masa aktifnya berlaku selama 8 bulan.[114] Dari pelanggan Mobile-8 yang sudah mencapai 3,5 juta saat peluncuran Fren Sobat,[115] diharapkan bertambah 300.000-500.000 (di Jawa dan Bali) hingga 2 juta pada tahun 2009.[116] Bahkan fitur telepon gratis ini kemudian diperluas ke pengguna produk Fren lain, sehingga dalam promosinya, pengguna Fren hanya perlu membayar dengan "daun".[117] Sedangkan Fren Duo diluncurkan pada 11 Juni 2009 sebagai produk yang yang menawarkan layanan CDMA dan FWA dalam satu kartu. Nomor Fren (0888) akan menjadi nomor utamanya, sedangkan nomor FWA (tergantung daerah, seperti 021, 031, dll) akan menjadi nomor sekunder, dan pelanggan bisa menukar penggunaannya jika ingin lebih hemat. Pihak Mobile-8 mengklaim bahwa sistem ini merupakan yang pertama di Indonesia, sehingga sempat masuk dalam Museum Rekor Indonesia (MURI).[118] Pelanggan Hepi dan Fren bisa menukar kartunya menjadi Fren Duo di kantor-kantor Mobile-8. Dalam peluncuran Fren Duo, Mobile-8 menargetkan 2,3 juta pelanggan baru dari layanannya ini, dan dalam 4 hari setelah diluncurkan telah terjual 1.700 nomor. Lalu, pada tiga bulan pasca peluncurannya, penggunanya sudah bertambah menjadi 150.000.[119][120] Target pasarnya adalah keluarga, UMKM dan komunitas.[121] Awalnya, layanan ini hanya tersedia dalam bentuk prabayar, hingga pada 1 September 2009 diluncurkan layanan pascabayar yang menargetkan golongan bisnis dan profesional.[122][123] Menurut pihak Mobile-8 pada awal 2010, pengguna layanan ini naik sebesar 28% per bulan dan telah beroperasi di berbagai kota yang akan ditambah lagi kemudian.[124] Seiring dengan mulai digunakannya merek dagang Smartfren, maka Fren Duo kemudian juga dipaketkan dalam produk baru Smartfren.[125] HepiHepi diluncurkan pada 3 Mei 2008 di kota Bandung oleh Menkominfo (saat itu) Mohammad Nuh, dan awalnya hanya beroperasi di Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Denpasar dan Banjarmasin.[126] Hepi menargetkan pasar pemuda dan mahasiswa, dengan menggunakan sistem FWA serta jaringan CDMA2000 berfrekuensi 800 MHz untuk seluruh wilayah Indonesia.[127] Target Hepi selanjutnya adalah bisa meluaskan jaringannya hingga ke seluruh Jawa, Sumatra, Sulawesi dan Kalimantan.[128] Pada Agustus 2008, dilaporkan Hepi sudah menggaet 300.000 pelanggan dan akan ditingkatkan menjadi 500.000-600.000 seiring perluasan layanan ke 14 kota. Untuk memuaskan pelanggan, juga dihadirkan beberapa layanan dan promosi seperti bagi-bagi telepon gratis, perangkat HP murah senilai Rp 168.000, layanan Dataku dan fitur SMS Milis,[129][130] serta pada akhir 2008, perluasan layanan ke Medan, Malang, Surakarta, Cirebon dan Makassar.[131] Namun Hepi ternyata hanya berumur pendek, karena pada 11 Juni 2009 diluncurkan produk Fren Duo yang menggabungkan layanan FWA Hepi dan CDMA Fren. Setelah peluncuran itu, melihat minat masyarakat yang lebih besar akan produk Fren Duo, penjualan produk Hepi pun resmi dihentikan oleh Mobile-8. Tampaknya, pihak Mobile-8 mengadakan perubahan strategi, dimana sebelumnya produk ini direncanakan sebagai lini produk Hepi, tetapi justru kemudian malah diluncurkan dengan merek Fren.[132] Sebelum dileburkan dengan Fren Duo, Hepi terakhir mencatatkan 280.000 pelanggan. Meskipun sudah tidak diedarkan lagi, Hepi masih tetap bisa digunakan dengan isi ulang Fren atau menukarnya dengan kartu Fren Duo di gerai Mobile-8.[119][120] MobiSelain Hepi dan Fren, pada 4 Februari 2009, Mobile-8 juga meluncurkan layanan internet murah bernama Mobi (singkatan dari Mobile Broadband Internet), dengan target pasar para pelajar dan pemuda. Sistem Mobi menggunakan layanan CDMA2000 EV-DO Rev. A[133] dengan tarif awal senilai Rp 499.000 (plus modem).[134] Dalam perkembangannya, jenis Mobi juga diperluas menjadi unlimited data access yang diluncurkan pada 22 Juni 2009. Targetnya adalah meraih 150.000 pelanggan di akhir 2009 dan dalam beberapa bulan setelah peluncurannya, sudah mencapai 20.000 pelanggan.[135][136] Pada tahun 2010, Mobi sudah beroperasi di beberapa kota di pulau Jawa seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Solo, Malang, Bandung dan Yogyakarta. Mobi tetap dipertahankan sebagai sub-brand dari Smartfren hingga 2011, ketika dileburkan dengan merek dan layanan induknya.[137][138] Kasus Mobile-8 TelecomMenyeret mantan pemilik Smartfren (ketika itu masih Mobile-8) sebelumnya, Hary Tanoesoedibjo, kasus ini bermula ketika pada 2012, Kejaksaan Agung membongkar bahwa telah terjadi transaksi fiktif yang membuat negara merugi. Ceritanya adalah ketika pada 2007-2009, pihak Mobile-8 mengajukan proyek penyediaan ponsel dan pulsa, dan sebagai distributornya ditunjuk PT Djaja Nusantara Komunikasi. Transaksi itu direncanakan akan memakan biaya Rp 80 miliar yang merupakan pembayaran dari PT Djaja ke Mobile-8. Namun, kenyataannya transaksi itu hanyalah transaksi fiktif karena Mobile-8 tidak pernah mengirim HP yang ada dalam proyek tersebut. Walaupun demikian, PT Djaja pada 2008 menerima faktur pajak senilai Rp 114 miliar yang kemudian digunakan oleh Mobile-8 untuk mengajukan restitusi pajak yang kelebihannya dibayarkan oleh Kantor Pelayanan Pajak Surabaya, walaupun transaksi itu tidak ada sehingga negara mengalami kerugian Rp 114 miliar.[139][140] Peristiwa ini tercatat sempat heboh pada 2016-2017, ketika pada saat itu bekas pejabat Mobile-8 Anthony Chandra dan pimpinan PT Djaja Hary Djaja (yang merupakan ipar HT) ditetapkan menjadi tersangka,[141] meskipun keduanya gugur dalam praperadilan di November 2016.[142][143] Selain itu, Kejagung juga memeriksa beberapa orang seperti MS Hidayat, Agum Gumelar dan terutama HT itu sendiri.[144][145] HT sendiri diperiksa pada Maret, April 2016 dan Juli 2017.[146][147] Dalam berbagai kesempatan, HT selalu berkelit dari tudingan tersebut, bahkan pengacaranya Hotman Paris Hutapea menuduh negara mendapatkan untung dari transaksi Mobile-8. HT juga pernah melaporkan Kejagung ke Bareskrim Polri karena dituduh mencemarkan nama baik atas SMS-nya ke Jaksa Agung yang dituduh sebagai "ancaman". Pada Juli 2017, HT ditetapkan sebagai tersangka atas kasus SMS ancaman itu.[148][149] Namun, sejak HT menyatakan mendukung Jokowi, kasus tersebut (baik kasus ancaman ke Kejagung maupun kasus Mobile-8) terkesan macet dan tidak berjalan sampai sekarang, walaupun Kejagung tidak pernah menghentikan pengusutannya.[150][151][152] Lihat pulaReferensi
Pranala luar
|