Solusi Bangun Indonesia
PT Solusi Bangun Indonesia Tbk. (SBI, IDX: SMCB, beroperasi dengan merek dagang Dynamix) adalah perusahaan produsen semen di Indonesia, dan merupakan anak perusahaan dari SIG. SBI menjalankan usaha yang terintegrasi dari semen, beton siap pakai, dan produksi agregat. SBI mengoperasikan empat pabrik semen di Narogong (Jawa Barat), Cilacap (Jawa Tengah), Tuban (Jawa Timur), dan Lhoknga (Aceh), dengan total kapasitas 14,5 juta ton semen per tahun, dan mempekerjakan lebih dari 2.400 orang. Dahulu perusahaan ini bernama Semen Cibinong dan pernah mengakuisisi Semen Nusantara. Perusahaan diakuisisi oleh Holcim pada 2006. Pada tahun 2018, perusahaan ini dibeli oleh SIG dan mulai September 2019, Holcim Indonesia berganti nama menjadi Dynamix dengan nama perusahaan PT Solusi Bangun Indonesia Tbk. SejarahSemen CibinongPada tahun 1962, Direktorat Geologi Departemen Pertambangan RI membentuk tim survei studi kelayakan pembangunan pabrik semen di Jawa Barat. Semen Gresik bekerja sama dengan Direktorat Geologi menandatangani kerja sama penelitian bahan baku semen di daerah Klapanunggal, Bogor. Proyek tersebut berlangsung mulai dari Juni hingga Desember dengan bantuan pendanaan dari International Finance Corporation.[1] Pada 1971, PT Semen Tjibinong didirikan. Kaiser Cement and Gypsum Corporation bertindak selaku konsultan pembangunan pabrik, dan direalisasikan oleh kontraktor Indonesia dan Mitsubishi Heavy Industries Jepang.[1] Pada Agustus 1975, PT Semen Cibinong dan Indocement selesai dibangun dan diresmikan oleh Presiden RI Soeharto.[1] Perusahaan ini memproduksi semen portland dengan merek Semen Kujang. Pada 8 Agustus 1977, perusahaan ini melepaskan sahamnya di Bursa Efek Jakarta dengan singkatan emiten SMCB. SMCB mencatatkan diri sebagai salah satu perusahaan pertama yang diperdagangkan secara publik di Indonesia dengan menerbitkan 178.750 saham dengan harga Rp10.000,00 per lembar.[2][3] Pada 1987-1988, perusahaan ini sempat dijual ke Hanson, lalu jatuh ke tangan PT Tirtamas Majutama milik Hashim Djojohadikusumo sehingga mengubahnya menjadi penanaman modal dalam negeri (PMDN).[4] Banyak usaha milik Djojohadikusumo yang dijaminkan untuk bisnis lain lewat bank. Pada 2002, pascakrisis ekonomi, Djojohadikusumo tersandung kasus BLBI karena dana yang harus dikucurkan ke kreditur justru mengalir ke grup usahanya sendiri.[5] Akuisisi Semen NusantaraSemen Nusantara adalah perusahaan semen yang berpusat di Cilacap.[3] Perusahaan tersebut didirikan oleh tiga pemilik modal yaitu PT Gunung Ngadeg Jaya dari Indonesia dan dua perusahaan Jepang Onoda Cement dan Mitsui pada 4 Maret 1974. Dalam operasinya, perusahaan ini berbekal beberapa konsesi izin untuk melakukan penambangan kapur dan tanah liat di Nusakambangan, Desa Tritih Wetan, serta pabrik di Desa Karangtalun. Peletakan batu pertama pabrik Semen Nusantara dilakukan pada 19 Juni 1975 dan diresmikan 5 April 1977.[6] Pada 1 September 1977, Semen Nusantara mulai berproduksi secara komersial. Perusahaan ini menggunakan mesin-mesin yang didatangkan dari Prancis, Jerman, Jepang, dan Denmark serta mempekerjakan 1.800 karyawan Indonesia dan 150 karyawan asing selaku tenaga ahli.[6] Semen yang diproduksi oleh Semen Nusantara adalah jenis semen portland Type I dengan merek Semen Borobudur.[3] Selain memproduksi semen, Semen Nusantara bekerja sama dengan Perusahaan Jawatan Kereta Api untuk mengangkut semen. PJKA kemudian membangunkan jalur menuju pabrik semen tersebut dari Stasiun Gumilir. Semen Nusantara juga memiliki satu unit lokomotif pelangsir, diberi nomor seri BB305 01 buatan pabrik Nippon Sharyo Jepang. Namun saat ini lokomotif tersebut sudah tidak beroperasi.[7] Pada 14 Juli 1993, Semen Cibinong resmi mengakuisisi Semen Nusantara, setelah sebelumnya mengubah statusnya dari patungan Indonesia-Jepang menjadi sepenuhnya PMDN pada 10 Juni tahun yang sama.[6] Akuisisi Semen Andalas dan Semen Dwima AgungPT Semen Andalas Indonesia (SAI) adalah perusahaan semen dari Lhoknga, Aceh Besar. Awalnya lahir dari kajian bahan baku semen yang dilakukan oleh perusahaan PT Rencong Aceh Semen pada 1976 hingga 1979. Untuk merealisasikan gagasan itu, Rencong Aceh Semen mendirikan perusahaan patungan dengan Blue Circle Industries dari Inggris dan Cementia Holding dari Swiss. Patungan tersebut diberi nama nama PT Semen Andalas Indonesia.[8] Pada 1995, Semen Cibinong membeli pabrik Semen Dwima Agung di Tuban, dan menjadikannya Semen Cibinong Unit Tuban.[3] Diakuisisi HolcimHolcim melirik Semen Cibinong dan menjadi pemegang sahamnya pada 13 Desember 2001.[9] Perusahaan ini mengubah namanya menjadi PT Holcim Indonesia Tbk. pada 1 Januari 2006, setelah Holcim mengakuisisi saham perusahaan dari Djojohadikusumo sebanyak 77,33%.[10] Pada 2009 terjadi gugatan dari Wuriyanto selaku pemegang saham individu Semen Nusantara pada 23 Januari 2009. Wuriyanto mengaku memiliki 10% saham di perusahaan tersebut dan dirinya juga mengaku belum mendapatkan dana penjualan saham Semen Nusantara saat diakuisisi oleh Semen Cibinong. Holcim dituntut untuk bertanggung jawab atas pembayaran saham Wuriyanto sebesar US$2,4 juta.[11] Pada Februari 2016, PT Semen Andalas Indonesia, yang telah berubah nama menjadi Lafarge Cement Indonesia, telah menyelesaikan merger dengan Holcim Indonesia senilai Rp2,13 triliun.[12] Diakuisisi oleh SIGPada 2019, SIG (yang menjadi induk usaha Semen Gresik pada 2014) mulai menjadi pemegang saham perusahaan Holcim. SIG akhirnya mengakuisisi 80,6% saham LafargeHolcim Group di PT Holcim Indonesia Tbk. Hal ini menyebabkan hak mengelola merek dagang Holcim otomatis berakhir. Selain mengakuisisi saham perseroan, Holcim mengubah nama perusahaannya sebagai PT Solusi Bangun Indonesia Tbk. dan memperkenalkan merek semen yang baru, Dynamix.[13] Peluncuran nama perusahaan dan merek dagang tersebut dilakukan di Hotel Bogor Icon, 3 Oktober 2019.[14] ReferensiKutipan
Daftar pustaka
Pranala luar
|