Sonderkommando
Sonderkommando (Jerman: [ˈzɔndɐkɔˌmando], berarti Unit (komando) khusus) adalah unit kerja paksa yang terdiri dari para tahanan kamp pemusnahan yang dibuat oleh Jerman Nazi. Para tahanan tersebut biasanya orang-orang Yahudi, yang dipaksa dengan ancaman kematian mereka sendiri, untuk membantu "pembuangan" korban kamar gas selama peristiwa Holokaus.[1][2] Kamp kematian Sonderkommando, yang selalu diisi oleh para tahanan, tidak terkait dengan SS-Sonderkommandos yang merupakan unit ad hoc yang dibentuk dari berbagai kantor Schutzstaffel (disingkat SS) antara tahun 1938 dan 1945. Istilah dalam bahasa Jerman sendiri adalah bagian dari bahasa yang samar-samar dan eufemistik, yang digunakan oleh Nazi untuk merujuk pada aspek-aspek Solusi Akhir (misalnya, Einsatzkommando "unit penyebaran"). Kematian para pekerjaPara anggota Sonderkommando tidak terlibat secara langsung dalam pembunuhan, karena tugas utamanya[3] adalah membuang mayat-mayat.[4] Dalam kasus kebanyakan, mereka diangkat menjadi anggota Sonderkommando segera setelah mereka tiba di kamp dan dipaksa menduduki posisi tersebut di bawah ancaman kematian. Mereka tidak diberi pengarahan terlebih dahulu mengenai tugas dan tanggung jawab yang harus mereka lakukan. Yang membuat mereka merasa ketakutan, terkadang para anggota Sonderkommando menemukan anggota keluarga mereka sendiri di tengah-tengah mayat.[5] Mereka tidak punya cara lain untuk menolak atau mengundurkan diri selain dengan melakukan bunuh diri.[6] Di beberapa tempat dan lingkungan, Sonderkommando mungkin secara halus disebut Arbeitsjuden (Yahudi untuk bekerja).[7] Terkadang, Sonderkommando juga disebut dengan Hilflinge (pembantu).[8] Pada 1943 di Birkenau, Sonderkommando berjumlah hingga 400 orang dan ketika orang-orang Yahudi Hungaria dideportasi ke sana tahun 1944, jumlah mereka membengkak menjadi lebih dari 900 orang, untuk mengimbangi meningkatnya jumlah pembunuhan dan pemusnahan.[9] Karena pihak Jerman membutuhkan Sonderkommando agar tetap mampu secara fisik, mereka diberikan kondisi hidup yang jauh lebih tidak kumuh dibandingkan para tahanan lainnya. Mereka tidur di barak mereka sendiri dan diizinkan untuk menyimpan dan menggunakan berbagai perlengkapan dan barang-barang seperti makanan, obat-obatan dan rokok yang dibawa ke kamp oleh mereka yang dikirim ke kamar gas. Berbeda dengan para tahanan biasa, mereka biasanya tidak dibunuh secara sewenang-wenang oleh para penjaga. Kehidupan dan pemberdayaan mereka ditentukan oleh seberapa efisien mereka dapat menjalankan pabrik kematian Nazi.[10] Oleh karenanya, anggota Sonderkommando dapat bertahan lebih lama di kamp-kamp kematian bila dibandingkan dengan para tahanan lainnya, tetapi hanya sedikit dari mereka yang selamat dari perang. Sonderkommando dianggap sebagai Geheimnisträger (pemegang rahasia), karena mereka memiliki pengetahuan mendalam tentang praktik pembunuhan massal Nazi. Oleh karenanya, mereka ditempatkan dalam tahanan isolasi yang letaknya jauh dari para tahanan yang dikaryakan sebagai pekerja paksa (lihat Kantor Ekonomi dan Administrasi Utama SS).[11] Terdapat anggapan bahwa setiap tiga bulan, menurut kebijakan SS, hampir semua anggota Sonderkommando yang bekerja di area pembantaian kamp-kamp kematian, akan dimasukkan ke kamar gas dan diganti dengan para pendatang baru untuk menjamin kerahasiaan. Beberapa tahanan dapat bertahan hingga satu tahun atau lebih, karena mereka memiliki keterampilan khusus.[12] Biasanya, tugas anggota unit yang baru adalah membuang jenazah para pendahulunya. Penelitian telah mencatat bahwa sejak pembentukan unit Sonderkommando yang pertama di kamp kematian hingga likuidasi kamp tersebut, terdapat sekitar 14 generasi Sonderkommando.[13][halaman dibutuhkan] Namun, menurut sejarawan Igor Bartosik, penulis Witnesses from the Pit of Hell. History of the Auschwitz Sonderkommando (2022) yang diterbitkan oleh Museum Auschwitz, pemusnahan baru Sonderkommandos di Auschwitz-Birkenau hanyalah mitos, karena pemusnahan seperti itu hanya terjadi satu kali di sana. “Juga tidak benar bahwa para tahanan dipilih karena keahlian teknisnya. Setelah diperiksa sepintas, mereka dipilih hanya berdasarkan kemampuan kerja mereka,” tulis Bartosik.[14] Kesaksian saksi mataKurang 20 orang dari ribuan anggota Sonderkommando terdokumentasi masih hidup hingga saat pembebasan dan mereka memberikan kesaksian tentang terjadinya peristiwa tersebut (meskipun dari beberapa sumber, mengklaim lebih banyak[15]). Di antaranya adalah Henryk (Tauber) Fuchsbrunner, Filip Müller, Daniel Behnnamias, Dario Gabbai, Morris Venezia, Shlomo Venezia, Antonio Boldrin,[16] Alter Fajnzylberg, Samuel Willenberg, Abram Dragon, David Olère, Henryk Mandelbaum dan Martin Gray. Enam atau tujuh orang lainnya dipastikan selamat, namun tidak memberikan kesaksian (atau setidaknya, kesaksian mereka tidak didokumentasikan). Kemudian catatan-catatan yang disembunyikan dan dikubur oleh anggota Sonderkommando, ditemukan di beberapa kamp.[17] Antara 1943 dan 1944, beberapa anggota Birkenau Sonderkommando dapat memperoleh materi tulisan dan mencatat beberapa pengalaman dari apa yang telah mereka saksikan. Dokumen-dokumen tersebut dikuburkan di halaman krematorium dan ditemukan kembali setelah perang usai. Lima orang telah diidentifikasi sebagai penulis naskah tersebut yakni, Zalman Gradowski, Zalman Lewental, dan Leib Langfus, yang menulis dalam bahasa Yiddish serta Chaim Herman, yang menulis dalam bahasa Prancis, dan Marcel Nadjary yang menulis dalam bahasa Yunani. Dari lima orang tersebut, hanya Nadjary yang bertahan hingga masa pembebasan. Gradowski terbunuh dalam pemberontakan yang terjadi di Krematorium IV pada 7 Oktober 1944. Lewental, Langfus dan Herman diyakini terbunuh pada November 1944.[18] Naskah-naskah tersebut terutama disimpan di arsip Museum Negara Auschwitz-Birkenau. Kecuali naskah Herman (disimpan di arsip Amicale des déportés d'Auschwitz-Birkenau) dan naskah Gradowski, salah satunya disimpan di Museum Kedokteran Militer Rusia di St. Petersburg dan naskah lainnya di Yad Vashem, Israel.[19][20] Beberapa manuskrip kemudian diterbitkan oleh Ber Mark sebagai editor yang bertajuk The Scrolls of Auschwitz.[21] Museum Auschwitz menerbitkan beberapa naskah lainnya dengan judul Amidst a Nightmare of Crime.[22] The Scrolls of Auschwitz telah diakui sebagai salah satu kesaksian paling penting yang pernah ditulis tentang peristiwa Holokaus, karena memuat catatan saksi mata pada masa itu tentang cara kerja kamar gas di Birkenau.[23] PemberontakanPara tahanan Sonderkommando turut serta dalam peristiwa aksi pemberontakan sebanyak dua kali. TreblinkaPemberontakan pertama terjadi di kamp Treblinka pada 2 Agustus 1943.[24] Untuk membuka gudang senjata kamp, para tahanan menggunakan kunci duplikat dan mencuri sebanyak 20 hingga 25 pucuk senapan, 20 granat tangan dan beberapa pistol. Pukul 03.45 sore hari, sekitar 700 orang-orang Yahudi melancarkan serangan terhadap para penjaga SS dan pekerja trawnik di kamp yang berlangsung selama 30 menit.[25] Mereka membakar bangunan-bangunan dan sebuah kapal tanker bahan bakar. Orang-orang Yahudi yang memegang senjata, menyerang gerbang utama, sementara lainnya berusaha memanjat pagar. Sekitar 200 orang Yahudi melarikan diri dari kamp,[a] tetapi para penjaga SS yang bersenjata lengkap membantai ratusan lainnya.[26] Kemudian para penjaga menelepon bala bantuan SS dari empat kota, lalu memasang barikade-barikade[25] dan melakukan pengejaran terhadap para tahanan yang melarikan diri dengan mobil dan kuda. Hanya sekitar 100 tahanan yang berhasil melarikan diri dari peristiwa pemberontakan tersebut. Para pendukung Armia Krajowa (bahasa Polandia: Tentara Dalam Negeri) mengangkut beberapa tahanan yang melarikan diri, ke seberang Sungai Bug,[27] sementara lainnya dibantu dan diberikan makanan oleh para penduduk desa warga Polandia.[26] Dari 700 orang anggota Sonderkommando yang turut ambil bagian dalam pemberontakan, 100 orang berhasil bertahan dan melarikan diri dari kamp dan sekitar 70 orang di antaranya diketahui selamat dari perang.[28] Mereka termasuk Richard Glazar, Chil Rajchman, Jankiel Wiernik dan Samuel Willenberg, yang turut menulis Treblinka Memoirs.[29] AuschwitzPada Oktober 1944, Sonderkommando melakukan pemberontakan di Krematorium IV di Auschwitz II. Selama berbulan-bulan, para pekerja yang terdiri dari perempuan muda Yahudi telah menyelundupkan paket-paket kecil yang berisi mesiu, keluar dari Weichsel-Union-Metallwerke, sebuah pabrik amunisi di kawasan industri yang terletak di antara kamp utama Auschwitz I dan Auschwitz II. Bubuk mesiu tersebut diselundupkan secara berantai ke Sonderkommando di Krematorium IV. Rencana aksi tersebut bertujuan untuk menghancurkan kamar gas dan krematorium serta melancarkan pemberontakan.[30] Namun, pada pagi tanggal 7 Oktober 1944, perlawanan kamp memperingatkan Sonderkommando di Krematorium IV bahwa mereka akan dibunuh, lalu Sonderkommando menyerang SS dan Kapo dengan dua senapan mesin, kapak, pisau dan granat, menewaskan tiga orang dan melukai belasan lainnya.[31] Beberapa anggota Sonderkommando sempat melarikan diri dari kamp, tetapi sebagian besar dari mereka, kembali ditangkap pada hari yang sama.[13] Dari mereka yang tidak tewas selama pemberontakan tersebut, 200 orang kemudian dipaksa telanjang dan berbaring telungkup sebelum ditembak di bagian belakang kepala. Sebanyak 451 anggota Sonderkommando terbunuh hari itu.[32][33][34] Gambaran mediaPada umumnya, penggambaran awal mengenai Sonderkommando, tidak menarik. Miklos Nyiszli, dalam bukunya bertajuk Auschwitz: A Doctor's Eyewitness Account, menggambarkan Sonderkommando seperti menikmati perayaan virtual, lengkap dengan lampu-lampu gantung dan cahaya lilin, sementara para tahanan meninggal karena kelaparan. Nyiszli, seorang kolaborator yang membantu Josef Mengele dalam eksperimen medisnya yang dilakukan terhadap para tahanan Auschwitz, tampaknya berada dalam posisi yang baik untuk mengamati aksi Sonderkommando, karena ia berkantor di Krematorium II. Namun dalam hal ini, kredibilitasnya berkurang karena beberapa deskripsi fisik krematorium tidak memiliki gambaran yang akurat. Sejarawan Gideon Greif menggolongkan tulisan Nyiszli sebagai salah satu "mitos dan catatan yang salah serta fitnah lainnya" tentang Sonderkommando, yang berkembang tanpa adanya kesaksian langsung dari anggota Sonderkommando yang masih hidup.[35] Primo Levi, dalam bukunya yang bertajuk The Drowned and the Saved, menggambarkan Sonderkommando seperti "mirip dengan kolaborator". Ia mengatakan bahwa kesaksian mereka tidak perlu terlalu dipercaya, karena mereka harus menebus banyak hal dan tentu saja akan berusaha merehabilitasi diri mereka sendiri dengan mengorbankan kebenaran.[36] Namun, ia meminta para pembacanya untuk menahan diri dari kecaman: "Oleh karena itu saya meminta agar kita merenungkan kisah "para gagak krematorium" dengan rasa belas kasihan dan ketegasan, tetapi penilaian terhadap mereka ditangguhkan."[37] Filip Müller adalah salah satu dari sedikit anggota Sonderkommando yang selamat dari perang dan juga tidak biasa karena masa tugasnya di Sonderkommando jauh lebih lama daripada kebanyakan anggota lainnya. Ia menulis pengalamannya berupa buku yang bertajuk Eyewitness Auschwitz: Three Years in the Gas Chambers (1979).[38] Di antara insiden-insiden lain yang ia ceritakan, Müller menceritakan bagaimana ia mencoba bunuh diri dengan memasuki kamar gas untuk mati bersama sekelompok rekan senegaranya, tetapi ia dibujuk oleh seorang gadis yang memintanya untuk tetap hidup dan memberikan kesaksian.[39] Sejak akhir abad ke-20, terdapat beberapa catatan lain yang lebih bersimpati tentang Sonderkommando yang dimulai dari buku We Wept Without Tears karya Gideon Greif (pertama kali diterbitkan tahun 1999 dalam bahasa Ibrani, lalu diterjemahkan ke dalam dalam bahasa Inggris tahun 2005), yang memuat wawancara-wawancara dengan para mantan anggota Sonderkommando. Dalam buku tersebut, Greif melampirkan puisi karya Gunther Anders yang bertajuk "And What Would You Have Done?" sebagai prolognya, yang mengatakan bahwa orang yang belum pernah berada dalam situasi tersebut, tidak memiliki hak untuk menilai Sonderkommando: "Not you, not me! We were not put to that ordeal!"[40] Penggambaran pertama pemberontakan Sonderkommando yang dituangkan dalam bentuk drama, ditulis oleh penulis Yahudi, Moshe Pinchevski. Drama tersebut bertajuk Ikh leb (Saya hidup). Drama ini juga merupakan pertunjukan berbahasa Yiddi pertama pascaperang dunia II yang diadakan di Teater Idisher Kultur Farband di Bucharest, Romania, tahun 1945.[41] Sebuah drama teater yang mengeksplorasi dilema moral Sonderkommando adalah The Grey Zone, disutradarai oleh Doug Hughes dan diproduksi di MCC Theater, New York tahun 1996.[42] Drama tersebut kemudian diadaptasi ke layar lebar dengan judul yang sama oleh produser Tim Blake Nelson.[43] Sebagian besar plot dan tema cerita film ini berdasarkan buku Miklos Nyiszli, yang menggambarkan para anggota Sonderkommando melintasi batas dari korban menjadi pelaku. Anggota Sonderkommando bernama Hoffman (diperankan oleh David Arquette) memukuli seorang pria hingga tewas dihadapan seorang anggota SS yang sedang tersenyum. Nelson menekankan bahwa subyek film ini adalah ambiguitas moral. “Kita dapat melihat diri kita masing-masing berada dalam situasi tersebut, mungkin bertindak seperti itu, karena kita adalah manusia. Namun kita bukanlah korban yang disucikan.”[44] Sebuah memoar dalam bentuk novel bertajuk A Damaged Mirror (2014), karya Yael Shahar dan Ovadya ben Malka, mengeksplorasi sejauh mana upaya mantan anggota Sonderkommando untuk mendapatkan pengampunan dan penutupan: "Fakta bahwa orang baik yang dipaksa untuk melakukan hal yang tidak baik, tidak membuat mereka menjadi kurang baik,” kata orang yang selamat tentang dirinya sendiri, “tapi hal itu juga tidak membuat hal yang keliru menjadi berkurang.”[45] Film Hungaria yang disutradarai oleh László Nemes bertajuk Saul fia (2015) yang memenangkan Grand Prix dalam Festival Film Cannes tahun 2015, mengisahkan tentang seorang anggota Sonderkommando mencoba untuk menguburkan jenazah seorang anak yang ia bawa untuk anaknya. Ketika seorang jurnalis berkomentar bahwa anggota Sonderkommando adalah "separuh-korban, separuh-algojo", Géza Röhrig yang turut membintangi film tersebut bereaksi dengan kemarahan. GaleriCatatan
Referensi
Daftar pustaka
|