Suku Kerinci
Suku Kerinci[1] atau disebut Uhang Kinci atau Uhang Kincai dalam bahasa Kerinci (bahasa Kerinci: Kincai atau Kinci; ejaan lama: Kerintji atau Kerinchi; Jawi: كرينچي) adalah suku bangsa atau kelompok etnik pribumi Sumatra yang mendiami wilayah Dataran Tinggi Kerinci dan sekitarnya. Secara administratif saat ini berada di wilayah kota Sungai Penuh, kabupaten Kerinci, Merangin dan Bungo. Selain itu, etnis Kerinci juga merantau ke Semenanjung Tanah Melayu sejak abad ke-19 Masehi.[1] Nenek moyang Suku Kerinci diperkirakan berasal dari para penutur Austronesia awal yang bermigrasi sejak 3500 tahun yang lalu. Bukti-bukti arkeologis kedatangan nenek moyang orang Kerinci seiring dengan migrasi Austronesia seperti beliung persegi, tembikar tataplandas dan slipmerah, rumah panggung, pertanian padi, megalitik Batu Silindrik, dan Tempayan Kubur. SejarahBukti kehadiran manusia modern (Homo sapiens) terawal di kawasan Kerinci ditemukan di Gua Ulu Tiangko (Merangin Sekarang). Indikasi tersebut didasarkan pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Bennet Bronsot dan Teguh Asmar (1941). Mereka berhasil menemukan adanya serpihan batu obsidian dan sisa tulang hewan. Penanggalan menggunakan radiokarbon menunjukkan aktivitas manusia modern pada sekitar 15.000 tahun yang lalu. Migrasi para penutur Austronesia ke wilayah Kerinci terjadi pada sekitar 3500 tahun yang lalu. Bukti kehadiran mereka terdapat di situs Bukit Arat, dan situs Koto Pekih dengan temuan alat-alat neolitik dan tembikar slip merah. Bukti paleoekologi di sekitar Danau Bento juga menunjukkan kehadiran Austronesia di sana berupa indikasi aktivitas pertanian padi dan pengembalaan kerbau.[2] Permukiman prasejarah yang lebih muda di Kerinci berlangsung pada abad ke-5 hingga abad ke-9 Masehi dengan tinggalan berupa megalitik Batu Silindrik, bekas rumah panggung, dan kubur tempayan yang berada satu lapisan budaya dengan temuan artefak perunggu dan besi.[3] Pengaruh Hindu-Buddha di kawasan Kerinci belum terungkap sepenuhnya. Temuan lepas berupa arca perunggu Awalokisterwara dan Dipalaksmi pada zaman Kolonial menunjukkan adanya pengaruh Hindu-Buddha di wilayah ini. Pada Abad ke-14 M, Maharaja Dharmasraya dari Kerajaan Malayu di Hulu Batanghari menganugerahkan Kitab Undang-Undang kepada para Dipati di Silunjur Bhumi Kurinci. Kitab tersebut ditulis oleh Kuja Ali Dipati dan sekarang masih tersimpan sebagai pusaka Luhah Depati Talam, Dusun Tanjung Tanah.[4] Antara Abad 15-16 M, Kerajaan Melayu Jambi mulai menancapkan kekuasaan politiknya kepada Orang Kerinci. Kerajaan Melayu Jambi mendudukkan pejabatnya sebagai wakil raja bergelar Pangeran Temenggung Mangku Negara di Muaro Masumai (Merangin, Sekarang). Pangeran Temengggung bertugas mengontrol dan menghubungkan para penguasa di wilayah Puncak Jambi yakni Serampas dan Kerinci dengan kekuasaan Kerajaan Melayu Jambi di hilir. Bukti hubungan antara Depati (kepala klan) di wilayah Kerinci berupa puluhan naskah surat piagam Raja yang masih disimpan sebagai pusaka hingga kini.[5] Di masa ini, terbentuk persekutuan para Depati di Kerinci seperti Depati IV dan Delapan Helai Kain dengan balai pertemuan berada di Sanggaran Agung. Pada sekitar abad ke-17 M, para Depati di Kerinci mengadakan perjanjian dengan Kesultanan Inderapura di Pesisir Barat Sumatera. Perjanjian ini dikenal dengan nama Persumpahan Bukit Tinjau Laut karena dilaksanakan di Bukit tersebut. Perjanjian Bukit Tinjau Laut dihadiri oleh pihak Kesultanan Jambi yang diwakili Pangeran Temenggung, pihak Kesultanan Inderapura diwakili oleh Sultan Muhammadsyah atau dikenal dengan gelar Tuanku Berdarah Putih, dan pihak Kerinci yang diwakili oleh Depati Rencong Telang dari Pulau Sangkar dan Depati Rajo Mudo dari Kemantan. Isi perjanjian tersebut adalah untuk saling menjaga keamanan penduduk di tiga wilayah tersebut ketika mereka berniaga ke wilayah lain. Selain itu, perjanjian juga meliputi pemberlakuan mata uang yang berbeda di masing-masing wilayah tersebut “pitis sekeping dibagi tiga” serta aturan-aturan keringanan cukai bagi para peniaga Kerinci di Inderapura.[5] Pada abad ke-17 hingga abad ke-19 M,mulai terbentuk pemerintahan federasi lain di luar Depati IV dan VII Helai Kain di Kerinci. Seperti pemerintahan Siulak Tanah Sekudung pada masa pemerintahan Sultan Ahmad Zainuddin, Kumun Tanah Kurnia pada masa Sultan Masud Badrudin, dan Tanah Pegawai Rajo Pegawai Jenang di Sungai Penuh pada masa Pangeran Sukarta Negara. Pada awal abad ke-19 M, orang-orang Eropa mulai mempelajari kawasan Kerinci dan penduduknya. Pada tahun 1800, Mr. Campbell seorang berkebangsaan Inggris yang berkedudukan di Muko-Muko masuk ke wilayah Kerinci secara diam-diam. Pada tahun 1901, utusan Belanda bernama Imam Marusa dari Muko-Muko terbunuh di Dusun Lolo dalam perjalanan pulang setelah menghadap Depati IV di Kerinci. Pembunuhan tersebut karena Imam Marusa dituduh memalsukan surat dari Depati IV yang berbunyi mengizinkan Belanda mendirikan loji di Kerinci. Pada tahun 1903 M, Belanda berhasil membujuk Sultan Rusli, kepala Regent sekaligus Sultan Indrapura untuk untuk membawa pasukan ekspedisi Belanda ke Alam Kerinci. Pasukan Belanda masuk melalui Tapan menuju Koto Limau Sering turun di Sekungkung dan kemudian membuat markas di Rawang. Pasukan Belanda lalu melakukan menaklukkan dusun-dusun di Kerinci untuk tunduk kepada Belanda. Perlawanan keras dari penduduk Kerinci berlangsung di beberapa lokasi yakni Hiang, Pulau Tengah, dan Lolo. Di tiga tempat ini sejumlah pasukan Belanda berhasil dibunuh oleh hulubalang Kerinci. Pada September 1903, seluruh Dusun di Kerinci berhasil ditaklukkan. Untuk sementara waktu, Kerinci menjadi bagian Residentie Palembang sebagaimana wilayah bekas Kesultanan Jambi lainnya. Pada tahun 1906, Pemerintah Hindia Belanda menjadikan Kerinci bagian dari Residentie Djambi atau Keresidenan Jambi setelah Djambi dipisahkan dari Residentie Palembang. Saat itu, Kerinci atau Korintji berstatus onderafdelling di bawah afdeeling Djambi Bovenlanden. Pada tahun 1912, status administratif Kerinci dinaikkan dari onderafdeeling menjadi afdeeling di bawah Residentie Djambi. Pada tahun 1920-1, afdeeling Korintji dikeluarkan dari Residentie Djambi dan kemudian dimasukkan ke dalam Karesidenan Sumatra's Westkust (Keresidenan Sumatera Barat). Pada masa itu, Kerinci dijadikan wilayah setingkat onderafdeeling di bawah Afdeeling Painan. Pada akhir era Kolonial, Kerinci berada dalam satu onderafdeeling dengan Inderapura. Bahasa dan Budaya KerinciCatatan sejarah terawal yang menyebutkan nama Kerinci bersumber dari Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah sekitar yang ditulis sekitar abad ke-14 Masehi. Di dalam kitab tersebut Kerinci dinamakan sebagai Bhumi Kurinci. Bahasa Kerinci termasuk ke dalam rumpun bahasa Austronesia, Melayu Polinesia Barat, satu keluarga dengan bahasa Melayu & Minangkabau. Selain bahasa Austronesia, jejak rumpun bahasa Austroasiatik juga ditemukan di dalam bahasa Kerinci. Bahasa Kerinci juga memiliki beragam dialek, yang bisa berbeda antar satu dusun atau antarwilayah adat. Selain itu, orang Kerinci juga pandai berbahasa dagang seperti bahasa Minangkabau dan bahasa Melayu Jambi ketika mereka berkomunikasi dengan Minangkabau dan Melayu Jambi. Bahasa Indonesia (yang masih dikenal dengan sebutan Melayu Tinggi) juga digunakan untuk berkomunikasi kepada pendatang dari luar, dan menjadikan bahasa ini menjadi bahasa kedua setelah bahasa daerah di sana. Suku Kerinci memiliki aksara tersendiri yang digunakan untuk menulis. Aksara tersebut dinamakan Aksara Incung atau surat Incung. Aksara ini merupakan turunan dari aksara Sumatera Kuno yang digunakan sejak abad ke-14 Masehi. Aksara Incung merupakan bagian dari kelompok Aksara Rencong bersama aksara lokal lainnya di Sumatera seperti surat ulu, surat rejang, dan had lampung.[6] Suku Kerinci memiliki tingkat organisasi sosial dimulai dari satu rumah tangga yang disebut tumbi. Kumpulan tumbi disebut sebagai perut. Kumpulan perut yang berasal dari satu nenek moyang yang sama disebut kelbu. Sementara itu, kumpulan kelbu membentuk persekutuan yang disebut luhah. Luhah merupakan tingkat organisasi sosial paling tinggi. Tingkatan organisasi sosial ini menunjukkan bahwa orang Kerinci sesungguhnya terbagi ke dalam banyak subsuku kecil (klan). Setiap anggota luhah atau kelbu digolongkan menjadi dua berdasarkan gender. Anggota luhah yang laki-laki disebut anak jantan. Anggota luhah yang perempuan disebut anak batino. Laki-laki (anak jantan klan lain) yang bersemenda atau menikahi anak batino suatu luhah juga digolongkan sebagai anak batino. Setiap tingkat organisasi sosial ini dikepalai oleh anggota suku yang laki-laki. Tumbi dikepalai oleh tengganai umah yaitu saudara laki-laki dari istri. Perut dikepalai oleh tengganai tuo, yakni anak jantan yang sudah berusia tua. Kelbu dikepalai oleh ninik mamak yaitu anak jantan yang dilantik secara adat. Luhah dikepalai oleh depati yang juga dilantik secara adat. Persekutuan Luhah akan membentuk suatu negeri atau dusun. Negeri dan dusun dikepalai oleh kepalo dusun yang dijabat secara bergilir oleh depati dari luhah-luhah yang ada di dusun tersebut. Sementara itu, persekutuan negeri dan dusun disebut sebagai Mendapo. Mendapo dipimpin oleh seorang kepalo Mendapo yang dipilih dari kepala-kepala dusun secara bergilir dalam mendapo tersebut. Sebagian besar orang Kerinci menganut sistem matrilineal dalam hal pewarisan harta pusaka baik berupa tanah maupun gelar adat. Dalam perkawinan menganut sistem matrilokal yakni pihak suami yang tinggal di lingkungan keluarga istri. Dalam istilah Kerinci disebut sebagai “duduk semendo.” Dalam hal sistem perekonomian, suku Kerinci menggunakan mata uang tersendiri yang berbentuk seperti cincin. Dalam bahasa Kerinci disebut sebagai cincin anye. Biasanya cincin anye dibuat dalam berbagai ukuran dan bahan seperti perak, perunggu, dan kuningan. Selain itu, beras kadangkala juga digunakan sebagai alat barter. Mata pencaharian utama suku Kerinci adalah bertanam padi dan berladang. Ladang yang mereka kelola biasanya ditanami kopi, karet, dan kayu manis. Selain itu mereka biasa menanam tanaman holtikultura seperti kacang, jagung, cabai, dan kentang. PemerintahanSetiap dusun atau negeri biasanya dijalankan oleh empat golongan yang disebut uhang IV Jenis. Antara lain:
Di masa lalu wilayah Kerinci yang disebut Alam Kerinci dibagi menjadi dua bagian yaitu Kerinci Rendah dan Kerinci Tinggi. Kekuasaan hanya dikendalikan oleh kekuasaan adat yaitu kekuasaan persekutuan para depati. Dengan demikian, terdapat banyak pemerintahan yang dijalankan bersama-sama antar depati yang berkuasa. Kerinci Rendah meliputi wilayah barat kabupaten Merangin sekarang. Wilayah ini dipimpin persekutuan depati yang disebut Depati III di Baruh, yaitu:
Dengan pusat kedudukan berada di Renah Salambuku. Kerinci Tinggi meliputi wilayah Kabupaten Merangin, Kerinci dan Kota Sungai Penuh saat ini. Wilayah ini dipimpin oleh persekutuan depati yang disebut Depati IV, Pemangku V, dan Depati Delapan Helai Kain. Adapun Depati IV terdiri dari:
Pemangku V terdiri dari:
Pemangku ini yang menjadi pemegang lantak batas kekuasaan antara Depati IV dengan VIII Helai Kain. Depati Delapan Helai Kain memimpin Mendapo nan Delapan terdiri dari tigo di hilir empat tanah Rawang dan tigo di mudik empat tanah Rawang. Tigo di Hilir Empat Tanah Rawang yaitu:
Tigo di Mudik Empat Tanah Rawang yaitu:
Struktur pemerintahan adat alam Kerinci di atas dibantu oleh kelembagaan yang mengurus masalah keagamaan dan protokoler kerajaan yang dikenal dengan istilah Pegawai Jenang, Pegawai Rajo, Pegawai Syara' Suluh Bindang Alam Kerinci. Wilayah adat ini di bawah Pemerintahan Depati Nan Batujuh Permenti Nan Sepuluh Pemangku duo Ngebi Teh Setio Bawo. Depati Nan bertujuh yaitu:
Permenti nan Sepuluh:
Pemangku yang berdua yaitu:
Selain pemerintahan di atas, terdapat pemerintahan Otonomi tersendiri yang diakui kedudukannya oleh Kesultanan Jambi, Kesultanan Pagaruyung maupun Kesultanan Indrapura seperti: A. Pemerintahan Tigo Luhah Tanah Sekudung berkedudukan di Siulak. Wilayah ini disebut dengan Anjung lain Tepian Dewek, Adat Lain Pusako Mencin, di bawah pemerintahan Depati Tigo Luhah, Bungkan Perbakalo yang Empat, Ninik Mamak Permenti Nan Salapan. Depati Tigo luhah terdiri dari:
Bungkan Perbakalo yang Empat yaitu:
Ninik Mamak Permenti yang Delapan:
B. Wilayah Kumun, Batu Gong Tanah Kurnia, dibawah pemerintahan Depati berempat:
C. Lolo, Seliring Kelbu Rajo D. Lempur Lekuk Limo Puluh Tumbi, dipimpin oleh Enam Depati dari Pulau Sangkar yaitu:
Enam Depati dari Serampas yaitu: 1. Depati Pulang 2. Depati Naur 3. Depati Serampas 4. Depati Ketaun 5. Depati Payung 6. Depati Karamo Hubungan Kekerabatan dan KemasyarakatanSuku Kerinci menganut sistem matrilineal. Artinya, suku atau kelbu ditentukan dari garis keturunan ibu hingga ke nenek moyang perempuan yang pertama. Garis matrilineal ini diperhitungkan dalam hal pewarisan harta pusaka milik kelbu seperti tanah dan gelar-gelar adat. Selain itu, orang Kerinci menganut sistem matrilokal yakni setelah menikah pihak laki-laki akan tinggal di lingkungan kelbu istri. Di dalam adat Kerinci disebut duduk semendo menyemendo. Di lingkungan kelbu istri, suami diatur oleh teganai umah baik saudara laki-laki istri maupun paman istri dari pihak ibu. Sapaan kekerabatan orang Kerinci antara lain: Ayah (ayah, apak); Ibu (Indouk, nde, ndai); Kakak (sesuai urutan lahir tuwo, tengah, pandak, putih, kitam, knek, knsu); Saudara perempuan ayah (datung, latung); Saudara laki-laki ayah (ayah, atau apak diikuti sapaan urutan lahir); Saudara laki-laki ibu (tuan, mamak, mamok diikuti urutan lahir); Sepupu lawan jenis (pabisan, suku duo); Suami dari kakak/adik istri (duwai, ruwai, luwai); Saudara perempuan dari istri (kido). Orang Kerinci terbagi menjadi suku-suku kecil atau klan yang biasa disebut dengan kelbu dan luhah. Luhah terdiri dari persekutuan kelbu karena ikatan kekerabatan nenek moyang. Kelbu terbagi menjadi beberapa perut, dan perut terbagi lagi menjadi beberapa tumbi atau umah tanggo. Nama kelbu biasanya merupakan gelar pemimpin terawal dari kelbu tersebut di masa lalu. Penggolongan kelbu dan luhah didasarkan pada garis matrilineal. Luhah dan kelbu memiliki harta bersama yang diwariskan secara turun temurun yakni sawah atau tanah basah, ladang, larik jajo, umah gedang, gelar adat serta benda-benda pusaka yang disakralkan. Sawah pusaka biasanya dikelola dengan sistem gilir ganti. Begitu juga gelar adat yang diwariskan dengan memperhatikan sistem gilir ganti. Tanah pusaka seperti sawah pada hakikatnya dilarang untuk diperjualbelikan meski saat ini banyak orang Kerinci yang menjual sawah pusaka akibat desakan ekonomi dan berkurangnya lahan hunian.[7] Setiap dusun atau negeri dihuni paling tidak oleh empat kelbu atau tiga luhah. Misalnya Dusun Siulak Mukai dihuni oleh tiga luhah yaitu Luhah Depati Intan, Luhah Depati Singado, dan Luhah Depati Paduko Rajo. Dusun Siulak Gedang dihuni oleh Luhah Sirajo, Luhah Temenggung, dan Luhah Jagung Marajo Indah. Dusun Semurup dihuni oleh tiga luhah yaitu Luhah Depati Kepalo Sembah, Luhah Depati Mudo, dan Luhah Depati Rajo Simpan Bumi. Sementara itu, beberapa dusun juga membentuk semacam persekutuan yang disebut mendapo. Misalnya antara Dusun Semurup dan Dusun Siulak dulunya berada dalam satu mendapo yang dinamakan Mendapo Semurup. KepercayaanSuku Kerinci adalah penganut agama Islam. Ajaran Islam dibawa oleh tokoh penyebar Islam yang menurut historiografi lokal dikenal sebagai siak nan berenam. Adapun siak nan berenam tersebut adalah:
Meski penganut Islam yang taat, suku Kerinci juga masih bertahan dengan kepercayaan terhadap roh nenek moyang. Makam nenek moyang pendiri dusun disebut sebagai jihat ninek masih sering dikunjungi untuk meletakkan sesajian dan membunuh hewan kurban. Biasanya dikunjungi saat niat atau nazar yang terkabul. Kegiatan ini disebut dengan munjung. Selain itu, orang Kerinci juga percaya adanya roh yang disebut semangat dan aman yang memengaruhi kesehatan dan keselamatan seseorang. Mereka juga percaya adanya makhluk supernatural yang menghuni gunung, hulu sungai, langit, dan laut. Makhluk supernatural ini disebut dengan mambang, dewo, dan peri. Suku Kerinci melakukan ritual aseik dan pelaho terkait dengan hubungan baik dengan roh nenek moyang maupun dengan makhluk supernatural tersebut. Ritual aseik dan pelaho dilakukan untuk menghindari penyakit, musibah dan bencana. Serta untuk memohon datangnya kemakmuran, kesehatan, dan kekayaan berlimpah yang disebut dengan lamat. Hukum AdatHukum Adat Kerinci terdiri dari Lembago yang Empat, Adat nan empat, Undang nan empat, undang nan delapan, Undang Beternak, Undang Luko, Undang Samun, dan Undang Hutan Tanah. Lembago nan Empat:
Kekuasan tertinggi Lembago Alam ini berada pada peradilan Kesultanan Jambi diwakili tiga orang Pangeran yakni: Pangeran Sukarta, Pangeran Sutawijaya, dan Pangeran Temenggung. Undang nan Empat:
Undang nan Delapan:
Hukum Adat Kerinci bersumber dari:
Referensi
Pranala luar
Wikimedia Commons memiliki media mengenai Suku Kerinci. |