Share to:

 

Suku Ketungau

Suku Ketungau atau Suku Dayak Ketungau merupakan bagian dari rumpun Iban yang mendiami beberapa desa di wilayah Provinsi Kalimantan Barat, khususnya Kecamatan Tempunak, Kabupaten Sintang, dan di Kecamatan Bengkayang, Kabupaten Sambas. Jumlah populasi berkisar 5.750 jiwa (pada tahun 1989).[1] Terdapat pula Suku Dayak Ketungau Tesaek yang mendiami wilayah di Kabupaten Sekadau, Kalimantan Barat.

Sistem Pertanian

Beumo

Suku Dayak di Kalimantan Barat tidak bisa lepas dari salah satu sistem pertanian tradisional, yakni berladang. Berladang telah menjadi mata pencaharian Suku Dayak, termasuk Dayak Ketungau Sesat di Sekadau. Aktivitas berladang padi pada masyarakat Dayak Ketungau Sesat disebut dengan beumo. Beumo merupakan suatu cara bertani dengan memanfaatkan hutan sebagai lahan. Beumo telah menjadi mata pencaharian utama masyarakat Dayak Ketungau Sesat yang diwariskan secara turun temurun, dan masih lestari hingga saat ini. Peralatan, proses, nama tempat, pertumbuhan padi, jenis tanah, hasil, dan tanda yang berkaitan dengan aktivitas beumo tersebut masih dijaga dengan baik sampai sekarang. Masyarakat Dayak Ketungau Sesat berpindah-pindah dalam mengolah lahan di perbukitan yang luas, menggunakan teknik tradisional membakar lahan dengan tetap mengedepankan kearifan lokal, panen setahun sekali, bergotong royong, dan adanya syukuran ketika selesai panen, yang biasa diskenal dengan begawai. Alat yang digunakan dalam berladang berupa alat tradisional yang sudah ada secara turun temurun dan dibuat sendiri oleh masyarakat Dayak Ketungau Sesat menggunakan alat dan proses tradisional pula.Tahapan dalam Beumo (berladang padi) yaitu pramenanam, menanam, memanen, dan pascapanen. Tahap pramenanam diawali dengan manggol (memeriksa lahan) sampai dengan nganik (membersihkan kayu-kayu sisa pembakaran ladang). Tahap menanam diawali oleh nugal (menanam padi) sampai ngemabau (merumput). Tahap memanen diawali dari matah (mengambil semangat padi) sampai dengan mutei kemureik (memanen sisa-sisa padi yang belum dipanen). Tahap pascapanen diawali dengan beirik (proses mengirik padi) sampai dengan makai padei bareu (makan padi baru).[2]

Upacara Adat

Adat Besepie'

Pada sebagian sub suku Dayak, mengenal yang namanya bersunat. Disamping bermanfaat untuk kesehatan, bersunat menjadi adat kebudayaan yang memiliki ritual tertentu. Pada zaman dahulu, masyarakat Dayak Ketungau Sesat percaya bahwa jika seseorang belum Besepie’ (bersunat) maka ia tidak boleh menduduki jabatan dalam masyarakat, sulit mendapatkan jodoh, bahkan hidupnya dikucilkan. Saat ini, mereka percaya bahwa orang yang belum Besepie' tidak mempunyai harga diri dan dianggap belum dewasa. Besepie’ biasa dilakukan saat anak lelaki berumur 10-15 tahun, yang dipimpin oleh seorang Manang Sepie’ (pemimpin upacara adat Besepie’). Dan memasang sepie’ biasanya dilakukan pagi hari.[3]

Upacara di awali dengan menggigit besi pihak yang di Sepie’ (yang disunat), kemudian Manang mengibas-ngibaskan ayam jago ke atas yang akan disunat (disebut Berebu), artinya Manang menerangkan kepada penguasa alam dan orang-orang yang hadir bahwa akan ada lelaki yang melepas masa anak-anaknya dengan Besepie’. Setelah itu, dilaksanakan Nyepie’ dimana seseorang yang akan disepie’ harus mengenakan sarung. Lalu, mereka dibawa ke sungai untuk berendam dan ditunggui sampai Manang selesai menyiapkan Belanya’ (bahan sajian). Adat Sepit dilakukan dengan Menara’ (memberi sesajian dan memohon). Kemudian, dilanjutkan dengan Ngantung Ancak dan Ngante’ Tejuk. Ancak digantungkan di atas pintu masuk, khusus untuk roh-roh.[3]

Upacara Perkawinan

Upacara perkawinan pada masyarakat Dayak Ketungau mempunyai beberapa tahapan, seperti Empegaek (bertanya apakah lamaran pria diterima wanita), Pesurueh (dua orang yang akan menjadi saksi pernikahan), Besuran (Pesurueh menanyakan kedua calon mempelai ingin tinggal di rumah laki-laki atau perempuan atau mungkin bertempat tinggal sendiri), Nyambuek tamu (mempelai wanita menyambut tamu dari keluarga mempelai pria), Madah Gawei (memberitahu masyarakat setempat bahwa akan dilaksanakan upacara perkawinan keesokan hari).[4]

Referensi

  1. ^ Hidayah, Zulyani (2015). Ensiklopedia Suku Bangsa di Indonesai. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. hlm. 183. 
  2. ^ Simon, Pabianus (2017). "PERISTILAHAN DALAM BEUMO (BERLADANG PADI) PADA MASYARAKAT DAYAK KETUNGAU SESAT: KAJIAN SEMANTIK" (PDF). Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran Untan. 6 (3). 
  3. ^ a b "Adat Besepie' (Bersunat) Dayak Ketungau Sesat . Kalimantan Barat » Perpustakaan Digital Budaya Indonesia". budaya-indonesia.org. Diakses tanggal 2019-04-09. 
  4. ^ Anci, Yosepa (2016). "Upacara Adat Perkawinan Masyarakat Dayak Ketungau, Desa Perongkan, Kecamatan Sekadau Hulu, Kabupaten Sekadau". E-Jurnal Gloria Yuris Prodi Ilmu Hukum UNTAN. 4 (3). 


Kembali kehalaman sebelumnya