Suku Makassar di Kota TernateSuku Makassar di Kota Ternate mulai tinggal menetap sejak awal abad ke-17 Masehi karena perdagangan antarpulau. Permukiman penduduk suku Makassar di Kota Ternate dikenal dengan nama Kampung Makassar yang juga dihuni oleh pedagang dari suku lain yang berstatus muslim. Pada akhir abad ke-19, penduduk suku Makassar di Kota Ternate membaur sebagai masyarakat umum akibat kemunduran suku Makassar dalam perdagangan antarpulau. Awal hubunganSejak abad ke-16, Kepulauan Maluku menjadi daerah penghasil rempah-rempah sehingga banyak suku pendatang yang mulai berdatangan untuk berdagang. Suku Makassar menjadi salah satu suku yang menjalin hubungan dengan penduduk di Kepulauan Maluku dalam perdagangan. Produk yang dihasilkan oleh penduduk di Kepulauan Maluku meliputi rempah-rempah, wewangian, kayu dan burung-burung yang indah. Rempah-rempah yang diperdagangkan berupa cengkih dan pala. Sementara wewangian yang diperdagangkan berupa akar-akaran dan kayu dari cendana dan gaharu. Produk ini kemudian dijual atau ditukarkan oleh penduduk Kepulauan Maluku dengan bahan pakaian, sutra, porselen atau keramik. Pelabuhan Ternate, Pelabuhan Hitu dan Pelabuhan Banda kemudian menjadi pelabuhan-pelabuhan penumpuk barang di Kepulauan Maluku. Barang yang dibeli dari suku-suku lain didistribusikan ke daerah lain di Kepulauan Maluku, sedangkan barang yang dijual dikirim ke berbagai daerah di bagian barat Nusantara hingga mencapai Malaka,[1] PermukimanDaerah pantai di Kepulauan Maluku menjadi lokasi tempat tinggal bagi pedagang asing sejak abad ke-16 M.[2] Para pedagang dari suku Makassar menjadi salah satu kelompok pedagang yang mulai menetap di Kepulauan Maluku.[3] Pada awal abad ke-17, di Kota Ternate mulai terbentuk perkampungan khusus bagi pedagang asing yang berstatus muslim. Sebagian besar penguni perkampungan ini berasal dari suku Makassar sehingga kemudian dinamakan Kampung Makassar. Pemimpin Kampung Makassar kemudian ditetapkan sebagai Kapitein der Macassaren yang memimpin salah satu unti garda kota (Schutterij) di Kota Ternate.[3] Peleburan menjadi masyarakat umumPada akhir abad ke-19, pedagang dari suku Makassar tidak lagi unggul dalam perdagangan antarpulau. Akibatnya, Kampung Makassar mengalami kemunduran dan penghuninya mulai membaur dengan masyarakat umum di Kota Ternate.[4] ReferensiCatatan kaki
Daftar pustaka
|