Suku Mbaham-Matta (disebut juga Baham atau Patimuni) adalah suku yang bermukim di Semenanjung Bomberai, Kabupaten Fak-Fak,[1]Papua Barat, Indonesia. Suku ini terbagi dalam 12 marga yang mendiami dataran pesisir selatan Semenanjung Bomberai. Daerah ini dikenal sebagai tempat penghasil buah pala (dengan indikasi geografis produk "Pala Fakfak"). Suku ini tersebar di 9 kecamatan, 5 kelurahan dan 120 kampung.
Menurut sensus Pemerintah Provinsi Papua tahun 2010, jumlah penduduknya adalah 17.233 jiwa.[2] Bahasa yang digunakan adalah bahasa Baham.
Etimologi
Mbaham-Matta telah ada di Fakfak sejak pembentukan peradaban manusia Mbaham-Matta di atas Tanah Papua. Kata Mbaham artinya sesuatu yang sudah terjadi atau sesuatu yang sudah ada dalam bahasa lokal disebut Ponggo yang merujuk pada makna terjadinya asal usul kejadian manusia Mbaham. Selain itu, kata Mbaham juga merujuk pada nama gunung yang dianggap sakral oleh leluhur Mbaham. Gunung tersebut diyakini merupakan awal mula Suku Mbaham. Gunung ini berada pada wilayah pegunungan di Kabupaten Fakfak yang sampai kini sulit dijangkau selain manusia yang keturunan langsung dari leluhur Mbaham.[3]
Tradisi
Daerah tempat suku ini menetap terkenal dengan kekayaan sumber daya alam di laut dan di darat seperti sagu, pala, rumput laut dan juga aneka ikan semuanya itu menjadi sumber penghidupan suku ini. Untuk menjaga sumber daya alam tersebut, mereka mempraktikkan tradisi sasi.
Selain itu beberapa situs leluhur yang merupakan tempat utama dalam memahami alam dan dinamika sosial serta sarana interaksi kepada leluhur mereka sehari-hari. Meskipun beberapa orang masih tetap memegang kepercayaan kepada nenek moyang mereka, dengan mayoritas beragama Islam, Protestan, dan Katolik. Tetapi kerukunan beragama di tempat mereka ini begitu harmonis.[4] Yang merupakan filosofi "Trimid te wo is teri" (Satu Tungku Tiga Batu)[3], yang menggambarkan untuk memasak tungku diletakkan diatas tiga batu besar.
Ketiga batu ini memiliki ukuran sama, kokoh dan kuat serta tahan panas, disusun sehingga bisa menopang kuali atau belanga yang akan digunakan untuk memasak. Tungku adalah sumber kehidupan dan tiga batu tersebut berarti "Ko, on, kno mi mombi du qpona" (Kau, saya, dan dia adalah satu)[3], yang menghubungkan perbedaan baik agama, suku, dan status sosial dalam satu wadah persaudaraan.[5]
Adapun dalam praktiknya, didalam satu keluarga masing masing anak bisa memiliki agama yang berbeda-beda. Apabila didalam satu keluarga terdiri dari bapak, mama, dan sejumlah 5 orang anak. Biasanya anak yang pertama akan diserahkan untuk mengikuti agama Islam, dalam pembentukan iman sebagai seorang muslim. Anak yang kedua akan diserahkan kepada agama Kristen Protestan, dan yang ketiga akan mengikuti ajaran agama Katolik. Anak yang keempat dan kelima akan diulang urutannya, atau boleh juga memilih sesuai kehendak hatinya.[3][6] Praktik keluarga dengan banyak agama masih berlangsung hingga saat ini.