Suku Migani (dikenal juga sebagai Miga Mene atau Moni) adalah kelompok etnis yang mendiami Kabupaten Intan Jaya di Papua Tengah, Indonesia. Sebaran geografis utama suku ini terdapat di wilayah Dogandoga, Kemandoga, Mbiandoga, Weandoga (Paniai), Duma-Dama, dan Domondoga. Mereka berbicara bahasa Moni. Mereka menghormati kangguru pohon besar hitam dan putih bersiul sebagai leluhur yang disebut Bondegzeu (dingiso). Bondegzeu tidak diketahui oleh komunitas ilmiah sampai zoologis Tim Flannery mendeskripsikannya pada tahun 1995.[2]
Etimologi
Kata "Migani" berasal dari kata Miga yang artinya asli, murni, tulen dan Ni yang artinya orang, manusia. Sehingga arti Migani adalah "manusia sejati". Istilah "Moni" pertama kali digunakan tahun 1970-an oleh Bupati Nabire (1969-1972), Karel Gobay. Saat itu situasi dilanda konflik antar suku dan penyebabnya diketahui adalah suku Migani. Bupati Gobay yang berusaha mengatasi masalah ini menghadapi watak Orang Migani yang keras, karena itu ia kecewa sehingga mulai menyebut dengan nama Suku Moni.
Kata "Moni" berasal dari kata bahasa Mee, Nomo atau Mou yang berarti keladi (yang dimakan menyebabkan gatal) dan Ni, dari kata Mene dalam bahasa Migani berarti orang. Makna ini berarti negatif karena hendak mengatakan bahwa Orang Migani itu sama dengan keladi yang sudah tidak bisa dikonsumsi lagi oleh manusia karena menyebabkan gatal, tidak enak dan seterusnya. Generasi setelah 1970an lebih sering menggunakan kata Moni karena sudah lebih populer dan generasi sebelumnya menggunakan kata Migani. (Pater Kleopas Sojuna Sondegau, 2021)[3]
Referensi