Suku Togutil (atau dikenal juga sebagai Suku Tobelo Dalam) adalah kelompok/komunitas etnis yang hidup di hutan-hutan secara nomaden di sekitar hutan Totodoku, Tukur-Tukur, Lolobata, Kobekulo dan Buli yang termasuk dalam Taman Nasional Aketajawe-Lolobata, Kabupaten Halmahera Utara, Maluku Utara.[1]
Etimologi
Kata Togutil dipopulerkan oleh etnografer Belanda J. Platenkamp, yang meneliti kehidupan suku di Halmahera. Kata ini berasal dari Bahasa TobeloO’Tau Gutili yang berarti "rumah obat". Walau begitu mereka lebih suka menggunakan istilah O'Hongana Manyawa yang berarti "orang yang tinggal di dalam hutan", sebaliknya orang Tobelo yang tinggal di pesisir menggunakan istilah O’Hoberera Manyawa yang artinya "orang yang tinggal di luar hutan".[2]
Sejarah
Kehidupan mereka masih sangat tergantung pada keberadaan hutan-hutan asli. Mereka bermukim secara berkelompok di sekitar sungai. Komunitas Togutil yang bermukim di sekitar Sungai Dodaga sekitar 42 rumah tangga. Rumah-rumah mereka terbuat dari kayu, bambu dan beratap daun palem sejenis Livistonia sp. Umumnya rumah mereka tidak berdinding dan berlantai papan panggung.
Suku Togutil yang dikategorikan suku terasing tinggal di pedalaman Halmahera bagian utara dan tengah, menggunakan bahasa Tobelo sama dengan bahasa yang dipergunakan penduduk pesisir, orang Tobelo.
Orang Togutil penghuni hutan yang dikategorikan sebagai masyarakat terasing, sementara orang Tobelo penghuni pesisir yang relatif maju. Selain itu fisik orang Togutil, khususnya roman muka dan warna kulit, menunjukkan ciri-ciri Melayu yang lebih kuat daripada orang Tobelo.[1]
Ada cerita, orang Togutil itu sebenarnya penduduk pesisir yang lari ke hutan karena menghindari pajak. Pada 1915 Pemerintah Belanda memang pernah mengupayakan untuk memukimkan mereka di Desa Kusuri dan Tobelamo. Karena tidak mau membayar pajak, mereka kembali masuk hutan dan upaya itu mengalami kegagalan. Dari sini lah rupanya beredar cerita semacam itu. Namun cerita ini rupanya tidak benar.
Kehidupan Suku Togutil
Kehidupan Orang Togutil sesungguhnya amat bersahaja. Mereka hidup dari memukul sagu, berburu babi dan rusa, mencari ikan di sungai-sungai, di samping berkebun. Mereka juga mengumpulkan telur megapoda, damar, dan tanduk rusa untuk dijual kepada orang-orang di pesisir. Kebun-kebun mereka ditanami dengan pisang, ketela, ubi jalar, pepaya dan tebu.
Namun, karena mereka suka berpindah-pindah, dapat diduga kalau kebun-kebun itu tidak diusahakan secara intesif. Dengan begitu, sebagaimana lazimnya di daerah-daerah yang memiliki suku primitif, hutan di daerah ini tidak memperlihatkan adanya gangguan yang berarti.[3]
Adat Istiadat Masyarakat Suku Togutil
Masyarakat Suku Togutil menempatkan peranan keluarga inti lebih besar, karena itu pasangan yang baru selesai menikah langsung dianggap bisa berdiri sendiri. Akan tetapi, mereka tetap suka mengelompok tempat tinggalnya., terserah mau ikut kelompok asal suami atau ikut kelompok istri.[1]
Kepemimpinan yang penting dalam masyarakat Togutil ialah kepala kelompok yang mereka sebut Dimono. Dia biasanya seorang lelaki senior yang kuat, berpengalaman dan bijaksana, lebih utama lagi dia harus menguasai hukum adat dan kesejahteraan masyarakatnya.[1]
Pengaruh masyarakat sekitar menyebabkan mereka juga mengenal tokoh Kapitan yakni kepala perang seandainya diserang musuh.[1]
Sub-suku
Suku Togutil terbagi menjadi empat, yakni Modole (mendiami Halmahera Timur-Halmahera Tengah), Boeng (mendiami Halmahera Utara, Halmahera Timur-Halmahera Tengah), Pagu (Halmahera Utara), dan Hoku. Sub suku Hoku yang disebut juga Canga, dianggap sudah punah, kemungkinan suku ini terasimilasi orang Halefuru karena ada kesamaan dialek.[2]