Share to:

 

Tedhak Loji

Tedhak Loji
Para pangeran Yogyakarta menghadiri acara Pisowanan Agustusan di Gedung Agung, 1933
StatusDitiadakan
JenisLawatan kenegaraan
Dimulaiabad ke-19
Berakhir1942
FrekuensiSetiap tahun
Lokasi
NegaraHindia Belanda
PesertaSusuhunan Surakarta dan Sultan Yogyakarta

Tedhak Loji (bahasa Jawa: ꧋ꦠꦺꦣꦏ꧀ꦭꦺꦴꦗꦶ) adalah kegiatan kenegaraan berupa kunjungan raja menuju gedung residen yang pernah diadakan di Surakarta dan Yogyakarta pada masa Hindia Belanda.

Sejarah

Istilah Tedhak Loji sendiri berasal dari gabungan dua kata dalam Bahasa Jawa, yakni kata tedhak yang berarti "turun" atau "menginjakkan kaki", dan kata loji yang merupakan sebutan orang Jawa untuk bangunan milik pemerintah Hindia Belanda. Penggabungan kedua kata tersebut memunculkan arti bahwa Tedhak Loji adalah suatu kegiatan kenegaraan yang dimana para raja dan bangsawan keraton melakukan tedhak (mengunjungi) di loji Belanda (dalam hal ini ialah gedung residen di masing-masing wilayah).

Kegiatan ini berawal dari bentuk hubungan bilateral antara keraton dengan pemerintah Hindia Belanda pada awal abad ke-19, tepatnya pada masa pemerintahan Susuhunan Pakubuwana IV di Surakarta atau Sultan Hamengkubuwana III di Yogyakarta.[1]

Barulah pada masa pemerintahan Susuhunan Pakubuwana IX dan Sultan Hamengkubuwana VII, kegiatan ini menjadi kegiatan rutin yang dilakukan untuk memperingati tahun baru masehi dan peringatan kenaikan takhta ratu Wilhelmina pada tanggal 31 Agustus. Hal inilah yang kemudian menyebabkan kegiatan ini juga disebut dengan pisowanan agustusan di kalangan masyarakat.

Kegiatan Tedhak Loji benar-benar berhenti pada saat Pendudukan Jepang di Indonesia. Tedhak Loji terakhir dilakukan oleh Susuhunan Pakubuwana XI dan Sultan Hamengkubuwana IX pada tahun 1941.[2]

Prosesi

Suasana acara Tedhak Loji pada masa pemerintahan Susuhunan Pakubuwana X

Tedhak Loji adalah kegiatan kenegaraan sekaligus ajang bagi kedua keraton untuk menunjukkan kewibawaan mereka, yang selama ini berada dibawah pengaruh pemerintah kolonial Belanda. Oleh karena itu, Tedhak Loji biasanya diselenggarakan dengan sangat meriah.

Kegiatan ini dihadiri oleh Susuhunan atau Sultan sendiri, ditemani oleh patih, para pangeran, serta bangsawan dan punggawa keraton. Biasanya, Susuhunan/Sultan akan menggunakan ageman jendralan (busana militer Hindia Belanda) atau ageman senopaten (busana militer tradisional keraton) dalam acara tersebut, sedangkan para kerabat akan menggunakan ageman keprabonan (baju kebesaran).

Prosesi diawali dengan kirab ageng atau arak-arakan rombongan Susuhunan/Sultan menuju ke kediaman residen Belanda. Susuhunan/Sultan akan diarak oleh para pangeran, kerabat keraton, dan abdi dalem dengan menaiki kereta kebesaran keraton[1] yang dimulai pukul 10.00 pagi. Bahkan Susuhunan/Sultan terkadang juga mengikutsertakan gamelan pusaka, abdi dalem musik dan penari bedaya dalam kegiatan ini.[3]

Penampilan tari Bedaya dalam acara Tedhak Loji pada masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwana VIII

Biasanya prosesi Tedhak Loji diakhiri pada sore hari, dengan penampilan tarian bedaya yang telah dibawa dari keraton. Namun terkadang Tedhak Loji bisa dilaksanakan hingga malam hari. Di masa Susuhunan Pakubuwana IX, kegiatan ini dilaksanakan hingga pukul 3 pagi dengan pesta megah.[2]

Referensi

  1. ^ a b Wijanarko, Fajar. 2021. Wastra-Langkara: Literasi Busana Bangsawan Yogyakarta. Jakarta: Perpusnas Press.
  2. ^ a b Sejarah Kirab Tedhak Loji di Kasunanan Surakarta
  3. ^ Pramutomo, RM. 2010. Tari, Seremonial, dan Politik Kolonial (II). Surakarta: ISI Press Solo.
Kembali kehalaman sebelumnya