Televisi Republik Indonesia
Televisi Republik Indonesia (TVRI) adalah jaringan televisi publik berskala nasional di Indonesia. TVRI berstatus sebagai Lembaga Penyiaran Publik bersama Radio Republik Indonesia (RRI), yang ditetapkan melalui Undang-Undang No. 32/2002 tentang Penyiaran. TVRI merupakan jaringan televisi pertama di Indonesia, mulai mengudara pada tanggal 24 Agustus 1962 dan diperingati sebagai Hari Televisi Nasional. TVRI memonopoli siaran televisi di Indonesia hingga tahun 1989, ketika televisi swasta pertama Indonesia, yakni RCTI didirikan.[butuh rujukan] TVRI saat ini mengudara di seluruh wilayah Indonesia dengan menjalankan 3 saluran televisi nasional dan 35 stasiun televisi daerah, serta didukung 361 stasiun transmisi (termasuk 129 stasiun transmisi digital) di seluruh Indonesia.[1] Selain di televisi konvensional, siaran TVRI juga dapat ditonton melalui siaran streaming di situs resmi, aplikasi TVRI Klik, dan layanan OTT lainnya. Menurut sebuah laporan yang dikeluarkan Reuters Institute for the Study of Journalism dan Universitas Oxford pada tahun 2021, TVRI merupakan salah satu media yang paling dipercaya masyarakat Indonesia dengan skor kepercayaan mencapai 66%.[2] Sejarah1961-1962: Ide, gagasan, dan siaran percobaanTokoh yang tidak bisa dilepaskan dari kehadiran TVRI adalah Maladi, seorang mantan penyiar RRI. Ia merupakan orang yang pertama kali mengusulkan gagasan berdirinya stasiun televisi di Indonesia pada tahun 1955 dan direncanakan untuk membantu sosialisasi pemerintah dalam pemilihan umum pertama yang akan diadakan pada tahun tersebut. Meskipun Presiden Soekarno (yang pada saat itu tidak memegang kekuasaan karena Indonesia saat itu bersistem parlementer) tertarik dengan usulan Maladi, kabinet yang berkuasa saat itu menolaknya karena dianggap terlalu mahal. Setelah Maladi menjadi Menteri Penerangan pada 1959, ia kembali mengusulkan ide tersebut ke Presiden Soekarno (yang kali ini sudah memegang kekuasaan pada era Demokrasi Terpimpin). Sang menteri berpendapat, bahwa dengan berhasilnya Indonesia terpilih sebagai calon tuan rumah Asian Games keempat pada tahun 1962, maka televisi dianggap mampu menjadi alat mengembangkan persatuan dan kesatuan nasional lewat acara olahraga yang disiarkan, minimal satu cabang olahraga per hari.[3][4][5] Usulan Maladi tersebut kemudian mulai diterima berbagai pihak, termasuk Presiden, sehingga pada tahun 1960, Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara mengeluarkan Tap MPRS No. II/MPRS/1960 yang mendorong pendirian sebuah stasiun televisi, yang pada saat itu direncanakan sebagai televisi pendidikan dan beroperasi di universitas.[6] Rencana penyelenggaraan siaran televisi pertama akhirnya mulai terwujud ketika pada tahun 1961, Pemerintah Indonesia memutuskan untuk memasukkan proyek media massa televisi ke dalam proyek pembangunan Asian Games IV di bawah lembaga Komando Urusan Proyek Asian Games ke-IV (KUPAG).[7] Pada tanggal 25 Juli 1961, Menteri Penerangan mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Penerangan Republik Indonesia (SK Menpen) No. 20/SK/M/1961 tentang pembentukan Panitia Persiapan Televisi (P2TV). Lembaga ini diketuai oleh R.M. Soetarto, kepala Direktorat Perfilman Negara. Selain Soetarto, ada juga wakilnya yaitu R.M. Soenarjo dan 7 orang anggota panitia, dan mereka bekerja bersama-sama dengan Departemen Penerangan untuk mempersiapkan siaran televisi di Indonesia.[8] Untuk mempelajari lebih dalam tentang pertelevisian, Presiden kemudian mengirim Soetarto ke New York dan Atlanta, Amerika Serikat.[9][10] Pada 23 Oktober 1961 pukul 09.30,[7] Presiden Soekarno yang sedang berada di Wina, Austria mengirimkan teleks kepada Maladi untuk segera menyiapkan proyek televisi dengan target sebagai berikut:
Pada tanggal 17 Agustus 1962, TVRI mulai mengadakan siaran percobaan dengan acara HUT RI ke-17 dari halaman Istana Merdeka Jakarta, dengan format hitam-putih dan didukung pemancar cadangan berkekuatan 100W. Kompleks siaran TVRI selesai dalam waktu kurang dari setahun dan diresmikan pada 23 Agustus 1962 oleh ketua P2TV.[10] 1962-1975: Siaran awal[15], status yayasanPada 24 Agustus 1962, TVRI mengudara untuk pertama kalinya dengan acara siaran langsung upacara pembukaan Asian Games IV dari Stadion Utama Gelora Bung Karno.[16] Dengan hadirnya TVRI, Indonesia menjadi salah satu negara di Asia yang memiliki siaran televisi saat itu, setelah Jepang, Filipina, Thailand, Tiongkok, dan Korea Selatan, walaupun pada saat yang sama pesawat televisi di Indonesia hanya berjumlah 10.000-15.000 buah dan siaran TVRI hanya dinikmati sekitar 2% penduduk.[17][18] Karena pembentukannya berkaitan erat dengan Asian Games, maka saat itu TVRI juga dimasukkan dalam struktur Organizing Committee Asian Games 1962, secara spesifik sebagai "Seksi Biro Radio dan Televisi Organizing Committee Asian Games IV".[6][11] Pasca pembubaran Organizing Committee AG 1962, status TVRI kemudian berubah lagi menjadi di bawah Yayasan Bung Karno (pengelola kompleks olahraga Senayan) melalui Keputusan Presiden No. 318/1962[10] yang berada di bawah kendali langsung presiden.[19] Studio TVRI yang pertama (saat itu dimaksudkan sebagai studio sementara)[11] kemudian selesai pada 11 Oktober 1962.[20] Status TVRI kemudian sempat diperdebatkan oleh Menteri Pekerjaan Umum dan Menteri Penerangan, apakah harus berada di bawah mereka.[19] Selain itu, muncul juga kesulitan mengelola keuangannya.[19] Kedua masalah tersebut kemudian selesai ketika pada tanggal 20 Oktober 1963, dikeluarkan Keputusan Presiden No. 215/1963 tentang pembentukan Yayasan TVRI dengan Pimpinan Umum Presiden RI, yang berarti menjadikan TVRI sebagai institusi terpisah dari lembaga lain. Status sebagai yayasan murni berlangsung hingga 1975.[21] Secara dasar, Keputusan Presiden No. 215/1963 menyatakan bahwa Yayasan TVRI berada di bawah presiden (yang dibantu seorang direktur dan 3 direktur muda),[7] serta TVRI merupakan entitas tunggal yang diberi hak dari negara bagi menyelenggarakan siaran televisi. Bisa dikatakan, bahwa status TVRI pada saat itu dimaksudkan merupakan campuran dari yayasan dan lembaga negara, dalam hal ini independen dalam pencarian dana namun bertanggung jawab kepada Departemen Penerangan dalam pemograman.[22] Sifat TVRI yang berupa yayasan yang diketuai presiden ini justru menimbulkan sikap lembaga penyiaran yang tidak independen maupun berorientasi kepentingan publik yang efeknya akan terasa sampai akhir Orde Baru, apalagi ditambah dengan ketiadaan blueprint bagi pengembangan TVRI kedepannya.[23] Keputusan Presiden No. 215/1963 pasal 4 dan 5 menyatakan bahwa TVRI berperan dalam "...pembangunan mental, khususnya masyarakat sosialis Indonesia", yang selaras dengan garis kebijakan pemerintahan Soekarno saat itu. Setelah Orde Baru mulai lahir, Keputusan Menteri Penerangan No. 34/1966 menyatakan bahwa TVRI harus menyesuaikan acaranya dengan penyebarluasan program pemerintah, Pancasila dan UUD 1945. TVRI pada Orde Baru menjadi alat bagi menciptakan kesatuan nasional dan menyosialisasikan program pembangunan pemerintah.[4][24][25] Meskipun demikian, sebenarnya sempat muncul ide yang berusaha mengarahkan TVRI untuk lebih memenuhi keinginan pemirsanya yang mengarah ke hiburan, bukan sekedar menjadi kepanjangan penguasa.[26] Bahkan, pada tahun 1972, Menteri Penerangan Boediardjo pernah mengusulkan perubahan status TVRI menjadi Perusahaan Umum (Perum) agar "lebih berkarakter demokratis". Sayangnya, rencana tersebut lenyap dengan pergantian Menpen di tahun berikutnya, dan sebaliknya kemudian secara bertahap independensi TVRI mulai "dikebiri" pemerintah dengan kebijakan-kebijakannya.[19] Karyawan TVRI pada 1963 mencapai 100 orang, dan pada pertengahan tahun yang sama, Divisi Pemberitaan didirikan, awalnya dipegang oleh 5 staf yang bekerja 14 jam sehari dan menyiarkan dua acara berita.[8][24] Selain tenaga kerja dalam negeri, sebanyak 23 orang dari Jepang (yang merupakan hasil kerjasama Colombo Plan) awalnya juga sempat ditempatkan di TVRI untuk membantu pengembangannya, di bidang teknik, studio, pemancar, manajemen, film, produksi dan audio.[27] Pendanaan TVRI berasal dari anggaran negara (sejak 1966), iklan (sejak 1 Maret 1963), iuran televisi (sejak akhir 1963) dan sponsor.[24][25] Untuk memperluas jangkauannya, sejak tahun 1965 dirintis pembangunan Stasiun Penyiaran Daerah yang dimulai dengan TVRI Stasiun Yogyakarta, yang secara berturut-turut diikuti dengan Stasiun Medan (1970), Ujung Pandang (1972), Surabaya (1978), Denpasar (1978), Manado (1978), Bandung (1987), dan Samarinda (1993). Banyak dari stasiun ini awalnya bukan didirikan langsung oleh TVRI, melainkan oleh beberapa lembaga lain (misalnya, di Yogyakarta oleh Deppen, dan di Medan dibentuk dari kerjasama Pemerintah Provinsi Sumatera Utara dan Pertamina). Namun, seiring sentralisasi pemerintah Orde Baru dan kebutuhan modal yang lebih besar, stasiun daerah ini perlahan-lahan diintegrasikan dengan Stasiun Pusat Jakarta dan diatur secara lebih terpusat dalam pemogramannya.[4] 1975-1998: Perubahan status, pelebaran sayap dan penurunanPada tahun 1975, melalui SK Menpen No. 55B/Kep/Menpen/1975 (yang kemudian diubah oleh SK Menpen No. 230A/Kep/Menpen/1984), TVRI diubah menjadi salah satu bagian dari organisasi dan tata kerja Departemen Penerangan RI dengan status direktorat (sebelumnya Unit Pelaksana Teknis hingga 1984)[25][28] yang langsung bertanggungjawab pada Direktur Jenderal Radio, Televisi dan Film (Dirjen RTF).[21] Aturan-aturan tersebut mengisyaratkan TVRI memiliki status ganda: selain sebagai Yayasan Televisi RI, juga sebagai Direktorat Televisi (yang sebenarnya sudah terbentuk sejak 1966 melalui SK Menpen No. 107/1966) bawahan Dirjen RTF, sedang manajemen yang diterapkan yaitu manajemen birokrasi.[7][21][29] Hal ini kemudian juga cukup memengaruhi gaya manajemen TVRI yang kurang efisien.[30] Selain menempatkan statusnya sebagai bagian Deppen, kemudian melalui Peraturan Pemerintah No. 37/1980, pemerintah Orde Baru secara resmi mengubah status seluruh karyawan TVRI menjadi Pegawai Negeri Sipil (dari sebelumnya karyawan Yayasan TVRI);[31] sesuatu yang masih berlangsung hingga kini. Mulai tahun 1977, Stasiun Produksi Keliling (SPK) dibentuk secara bertahap di beberapa ibu kota provinsi, yang berfungsi sebagai perwakilan atau koresponden TVRI di daerah. Di tahun 1982, tercatat TVRI memiliki 10 SPK berarmada Mobil Unit Produksi, ditambah 9 stasiun, 193 menara pemancar dan 30 stasiun relai.[8] SPK kemudian diperluas hingga 12 kota, mulai dari Banda Aceh hingga Jayapura. Karyawan TVRI juga terus bertambah, dari 898 orang pada 1972,[24] menjadi 6.000 orang pada 1991.[32] Untuk mengembangkan para karyawan tersebut, TVRI dan pemerintah membentuk sarana pelatihan (diklat) mulai tahun 1969-1970 (awalnya bekerjasama dengan tenaga ahli dari Jerman Barat)[7] dan adanya Multi Media Training Centre di Yogyakarta yang mendapat bantuan dari Jepang.[8] Pada tahun 1981, setelah menikmati pemasukan dominan dari iklan selama bertahun-tahun, Presiden Soeharto dalam pidatonya di DPR pada 5 Januari 1981 memutuskan untuk meniadakan iklan di TVRI.[19][33]
Kebijakan yang mulai berlaku dengan penerapan SK Menpen No. 30/Kep/Menpen/1981 pada 1 April 1981 ini sempat menuai kontroversi di masyarakat.[19][26][34] Hal ini jelas memukul TVRI secara keuangan, karena pada 1975/1976 saja pendapatan iklan tampak jauh lebih besar dibanding anggaran dari negara maupun iuran. Beberapa ahli mengaitkan larangan ini dengan protes dari kelompok Islam dan anti-konsumerisme; ada juga yang berpendapat hal tersebut merupakan hasil persaingan dalam internal pemerintah Orba; namun ada juga yang menafsirkan karena pemerintah ingin menguatkan kendalinya atas siaran TVRI, terutama menjelang Pemilu 1982 dan akan lebih mudah setelah banyaknya keuntungan dari boom minyak.[24] Sedangkan dari pemerintah kemudian menjustifikasi pelarangan iklan ini dengan alasan mencegah kecemburuan sosial dan efek negatif perilaku konsumtif, terutama di daerah yang dikhawatirkan akan berdampak pada pembangunan yang dicanangkan saat itu. Namun, kemudian demi menyiasati kebutuhan anggaran yang terus membengkak, maka sejak pertengahan 1980-an, model "iklan terselubung" berupa acara bersponsor juga mulai muncul di layar TVRI.[4][29] Pemerintah pada tahun 1987 sempat berniat untuk mengizinkan lagi iklan di TVRI, tetapi hal ini tidak terwujud hingga 2002.[35] Pada tanggal 1 Januari 1983, TVRI membuka sebuah kanal baru Programa 2 TVRI (kini TVRI Jakarta).[36][37] Acara tunggalnya adalah siaran berita bahasa Inggris dengan nama English News Service selama setengah jam yang dimulai pada pukul 18.30 WIB, di bawah tanggung jawab bagian pemberitaan.[36][37] Saluran ini, yang awalnya hanya memiliki cakupan pemirsa kecil (ekspatriat), kemudian sejak 1989 mulai dikembangkan menjadi siaran televisi yang menyesuaikan selera penduduk ibukota.[19][38][39] Perluasan siaran juga terus dilakukan, hingga pada 1991, TVRI sudah dinikmati oleh 65% penduduk Indonesia dan telah memiliki 10 stasiun penyiaran daerah, delapan stasiun pemancar, 273 stasiun transmisi, 12 studio, serta dua studio alam di Bogor dan Depok.[32] Dua tahun kemudian (1993), stasiun transmisi TVRI bertambah menjadi 350 lokasi, sedangkan stasiun penyiarannya menjadi 12 buah, ditambah 6 SPK dan 1 stasiun produksi di Balikpapan;[7] dan 5 tahun kemudian (1998), angka-angka tersebut naik lagi dengan adanya 402 stasiun transmisi, 14 stasiun penyiaran serta 8 stasiun produksi.[30] Mulai tahun 1989, monopoli TVRI di televisi dihapus saat pemerintah mengizinkan berdirinya RCTI sebagai televisi swasta pertama di Indonesia. Meskipun demikian, pemerintah saat itu sesungguhnya tidak ingin melepas status TVRI sebagai pemain utama di pertelevisian nasional walaupun adanya pendatang baru swasta pada tahun 1989-1995. Hal ini misalnya ditunjukkan dengan adanya larangan televisi swasta memproduksi acara beritanya sendiri, karena TVRI-lah yang hanya diizinkan membuat acara berita.[40] Sebagai gantinya, mereka diharuskan merelai sejumlah acara seperti siaran berita TVRI sebanyak tiga kali per hari (Berita Nasional, Dunia Dalam Berita dan Berita Terakhir; 19.00, 21.00 WIB dan sebelum tutup siaran), acara-acara kenegaraan seperti Proklamasi 17 Agustus, serta Laporan Khusus. Tidak lupa juga, pemerintah juga mewajibkan televisi swasta membayar 12,5% (awalnya 15% sebelum 1990) pendapatannya ke TVRI sebagai ganti TVRI tidak beriklan. Pemerintah beralasan bahwa landasan pembentukan TVRI, sebagai penyedia siaran tunggal televisi dalam Keputusan Presiden No. 215/1963 membuat TV swasta harus "berada di bawah pengendalian dan pengawasan TVRI".[4][41] Televisi swasta pada saat itu dikonsepkan bukan sebagai pesaing,[42] melainkan "pihak (bawahan)/pelaksana yang ditunjuk", "mitra" atau "pelengkap" dari posisi dominan TVRI pada saat itu (walaupun dalam faktanya sering kali tidak sesuai, misalnya dengan adanya beberapa program sejenis berita di televisi swasta dan seringnya mereka tidak memenuhi kewajiban pembayaran ke TVRI).[4][43][44] Konsep seperti ini baru akan berakhir pasca runtuhnya Orde Baru pada 1998. Sebenarnya, dengan kehadiran televisi swasta, sempat muncul ide beberapa kali untuk mengubah status TVRI yang berupa yayasan non-komersial menjadi Badan Usaha Milik Negara berbentuk Persero atau Perum demi meningkatkan profesionalitasnya dan agar mampu berkompetisi. Bahkan, suatu sumber menyatakan bahwa transisi TVRI menjadi BUMN tersebut akan dilakukan di tahun 1995. Dalam penyusunan UU Penyiaran pertama pada 1997 pun, sempat muncul usulan klausul bahwa TVRI boleh beriklan "secara selektif".[4] Meskipun sempat dipertimbangkan oleh DPR, Deppen, dan beberapa departemen lainnya,[45][46][47][48] namun wacana-wacana tersebut kemudian menghilang begitu saja. Pada Undang-Undang Penyiaran No. 24/1997, status TVRI juga sempat direncanakan berubah menjadi Lembaga Penyiaran Pemerintah,[49] suatu klausul yang tercatat tidak pernah berhasil diterapkan sampai undang-undang penggantinya disahkan. Walaupun saat itu TVRI masih belum menerima iklan, upaya meningkatkan pendapatannya sudah berusaha dilakukan seperti dengan menghadirkan layanan teleteks TVRI-Text, teleteks kedua di Indonesia setelah RCTI di tahun 1994. TVRI menggandeng PT Pilar Kumalajaya untuk mewujudkan layanan tersebut, yang saat itu diperkirakan akan berlangsung selama 30 tahun dalam skema bagi hasil (15%-85%).[50] Sebagai alat komunikasi pemerintah, tugas TVRI saat itu adalah menyampaikan informasi tentang kebijakan pemerintah kepada rakyat dan pada waktu yang bersamaan menciptakan two-way traffic (lalu lintas dua arah) dari rakyat untuk pemerintah selama tidak mendiskreditkan usaha-usaha pemerintah.[51] Semua kebijakan pemerintah Orde Baru beserta programnya, yang bertujuan untuk "membangun bangsa dan negara Indonesia yang modern dengan masyarakat yang aman, adil, tertib dan sejahtera, di mana tiap warga Indonesia mengenyam kesejahteraan lahiriah dan mental spiritual"[52] harus dapat diterjemahkan melalui siaran-siaran dari studio-studio TVRI yang berkedudukan di ibu kota maupun daerah dengan cepat, tepat dan baik. Semua pelaksanaan siaran TVRI harus meletakkan tekanan kerjanya kepada integrasi, supaya TVRI menjadi suatu well-integrated mass media (media massa yang terintegrasikan dengan baik) dari pemerintah.[51] Hal ini mengakibatkan TVRI terpuruk dengan layanan seadanya dengan kekentalan pesan ideologis. TVRI disebut "tidak memiliki independensi dalam kebijakan editorial". Kondisi itu menyebabkan menurunnya semangat kerja, kreativitas dan produktivitas karyawan.[28] Akibatnya, TVRI pasca 1980-an tampak terlihat tidak menarik di mata publik. Acara lokal yang ada, lebih terkesan menonjolkan "suara pemerintah" dibanding memberikan hiburan menarik, begitu juga dengan acara beritanya. Ini diperparah dengan ketiadaan pendanaan yang mencukupi di luar pemerintah (selain iuran), sehingga acara yang dihasilkan sering kali seadanya di tengah kebutuhan lain (seperti membangun transmisi di berbagai daerah) yang terus meningkat. Misalnya, pada tahun 1987-1988, pengeluaran TVRI mencapai Rp 67,4 miliar, sedangkan pemasukannya hanya Rp 53 miliar (iuran Rp 43 miliar dan subsidi pemerintah Rp 10 miliar).[53] TVRI pun memulai era penurunannya sejak itu, dan hal tersebut bahkan terjadi sebelum era televisi swasta. Dengan kehadiran open-sky policy (kebijakan langit terbuka) pasca peluncuran Satelit Palapa sejak 20 Agustus 1986,[24] penduduk yang bisa menggunakannya pun lebih memilih menonton siaran asing menggunakan parabola. Di daerah perbatasan, penduduk di sana lebih memilih menonton luberan siaran luar negeri;[54] sedangkan di daerah perkotaan, beberapa penduduk kelas atas banyak yang menyewa kaset-kaset VHS/Betamax film-film impor sebagai tontonannya. Lahirnya televisi swasta pun makin memukul TVRI: diperkirakan pada 1990-an, penontonnya tidak lebih dari 6% penonton siaran televisi di Indonesia.[4][41][55] 1998-2006: RestrukturisasiPeriode pasca kejatuhan Orde Baru memberikan peluang dan tantangan besar bagi TVRI. Di satu sisi, TVRI bisa melepaskan diri dari status sebagai "agen/corong propaganda" pemerintah dan mulai mengarahkan operasionalnya menjadi public service broadcasting (penyiaran publik).[56] Namun, di sisi lain perubahan juga membuat TVRI berada dalam ketidakpastian selama hampir 7 tahun, yang sempat cukup pelik karena ditambah masalah keuangan akibat pengaruh krisis moneter. Salah satu akar masalah itu muncul dari penghapusan Departemen Penerangan pada tahun 1999, di bawah Presiden Abdurrahman Wahid. Walaupun didasari bagi menciptakan kebebasan pers, tetapi langkah ini sempat memicu ketidakpastian status TVRI. Hal ini karena sebelumnya TVRI merupakan bawahan dari departemen tersebut. Kehadiran Badan Informasi dan Komunikasi Nasional (BIKN) lewat Keputusan Presiden No. 153/1999 tidak memperjelas statusnya, karena TVRI tidak disebutkan bernaung di sana. Akibatnya, TVRI harus sementara bernaung di bawah Departemen Keuangan dan mengoordinasikan operasionalnya bersama BKN, Direktorat Radio, dan lembaga lainnya untuk menjaga kesinambungan kepegawaian dan anggaran. TVRI kemudian memasuki periode transisi menjadi Perusahaan Jawatan (Perjan) sejak 12 Desember 1999, meskipun tidak terlalu mengganggu siarannya yang masih berjalan secara normal.[57] Akhirnya, status Perjan resmi melekat pada TVRI di tanggal 7 Juni 2000 dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 36/2000, yang berarti juga menggantikan statusnya sebagai yayasan sejak 1963. TVRI dalam aturan tersebut disesuaikan dengan prinsip-prinsip televisi publik, independen, netral, mandiri, dan berorientasi pada kepentingan masyarakat.[11][58][59] Status Perjan dipilih karena belum mandirinya keuangan TVRI (masih banyak didukung APBN) dan belum selesainya pengaturan tentang aset-asetnya. Diharapkan, dengan perubahan status tersebut TVRI mampu mempersiapkan dirinya untuk menjadi perseroan terbatas (PT).[11] Bahkan, pemerintah pada saat itu juga direncanakan hendak menggaet investor strategis dalam membantu pembenahannya.[56] Selanjutnya, pada Oktober 2001, diterbitkan Peraturan Pemerintah No. 64/2001 tentang pembinaan Perjan TVRI di bawah kantor Menteri Negara BUMN untuk urusan organisasi dan Departemen Keuangan RI untuk urusan organisasi keuangan.[58] Setelah hampir dua tahun berstatus Perjan, di tanggal 17 April 2002, diterbitkan Peraturan Pemerintah No. 9/2002 yang mengubah status TVRI menjadi PT TVRI (Persero) di bawah pengawasan Departemen Keuangan RI dan Kementerian Negara BUMN.[58] Melalui status ini pemerintah mengharapkan direksi TVRI dapat melakukan pembenahan-pembenahan baik di bidang manajemen, struktur organisasi, sumber daya manusia, dan keuangan. Pembenahan yang dilakukan seperti dengan konsolidasi dan restrukturisasi di bidang pemasaran, pemrograman serta khususnya mengenai karyawan TVRI. Karyawan PT TVRI (Persero) diharapkan bisa ditata sesuai kualifikasi dan keahlian yang jelas oleh pihak direksinya, dan jikalau perlu, merekrut tenaga profesional dari luar. Walaupun sejak perubahan menjadi PT Persero tersebut TVRI boleh menerima iklan kembali,[60] bukan berarti kondisinya langsung membaik setelah dikeluarkannya kebijakan tersebut. Justru, karena pada saat itu (2002-2003) secara internal TVRI kekurangan dana mandiri, status persero yang mewajibkan agar perusahaan bisa mencari pendapatan sendiri makin menyulitkan TVRI mencari dana karena acara-acaranya kurang pengiklan. Jikalau diberi anggaran dari pemerintah pun, jumlahnya amat kecil (dari pengajuan Rp 1,3 T pada 2002, tetapi hanya diberi Rp 150 miliar atau 1/10-nya saja). Karut-marut TVRI bertambah dengan konflik antara Direktur Utama TVRI saat itu, Sumita Tobing dengan DPR mengenai audit pendanaan dan permodalan TVRI; polemik perjanjian dengan televisi swasta mengenai komitmen 12,5% pendapatan mereka ke TVRI (pada era Orde Baru), yang walaupun sudah diakhiri pada 19 Oktober 2001 namun hutangnya tidak kunjung dibayar;[61] langkah radikal Sumita yang justru mengganggu status quo orang-orang lama; adanya tudingan korupsi, dan ikut campurnya kepentingan politik dalam perencanaan transisi dari Perjan ke PT tersebut. Hal ini sempat mengakibatkan masalah dalam dihentikannya siaran sejumlah stasiun daerah TVRI, seperti di Medan. Awal transisi menjadi PT pun terkesan setengah-setengah: TVRI selama setahun tidak memiliki anggaran dasar dan akta notaris. Baru pada 15 April 2003, akhirnya TVRI resmi menjadi PT Persero. Dengan perubahan status yang mulai berlaku secara formal dan di bawah manajemen baru, TVRI mulai berusaha memperbaiki masalah-masalahnya.[11][22][62] Seiring perkembangan teknologi, di era ini TVRI juga mulai meningkatkan siarannya menggunakan kanal UHF, setelah sebelumnya hanya bisa ditangkap di kanal VHF. Terdapat dua kota awal di mana TVRI disiarkan menggunakan kanal UHF, yaitu Bandung dan Surabaya.[56] Belakangan, siaran berbasis UHF tersebut diperluas ke beberapa kota lain, seperti di Medan, sejumlah kota di Kalimantan dan Jawa Timur, serta Jakarta dan sekitarnya. Khusus yang terakhir, siaran TVRI dalam kanal UHF resmi dimulai pada 18 Mei 2002, setelah pemancar Gunung Tela di Bogor selesai dibangun yang berkekuatan pancar 80 kW.[63] Selain itu, bertepatan dengan peringatan Hari Kebangkitan Nasional tanggal 20 Mei 2003, TVRI juga mulai mengoperasikan kembali seluruh pemancar stasiun transmisinya, yang kala itu sebanyak 395 buah[51] setelah sempat ada yang rusak[56] dan terhenti operasionalnya. Melalui Undang-Undang No. 32/2002 tentang Penyiaran, TVRI ditetapkan sebagai Lembaga Penyiaran Publik yang terpisah dari kementerian mana pun. Dengan perubahan status TVRI ke lembaga penyiaran publik, maka TVRI diberi masa transisi selama 3 tahun. Selama masa transisi ini, TVRI benar-benar diuji untuk belajar mandiri dengan menggali dana dari berbagai sumber antara lain dalam bentuk kerjasama dengan pihak luar baik swasta maupun sesama BUMN serta meningkatkan profesionalisme karyawan. Dengan adanya masa transisi selama 3 tahun ini, diharapkan TVRI akan dapat memenuhi kriteria yang disyaratkan oleh undang-undang, yaitu sebagai televisi publik dengan sasaran khalayak yang jelas. Undang-undang ini kemudian diperkuat dengan Peraturan Pemerintah No. 13/2005. Klausul dua peraturan tersebut mengenai status TVRI akhirnya resmi berlaku pada 24 Agustus 2006, ketika di hari ulang tahunnya ke-44, TVRI resmi menyandang status sebagai Lembaga Penyiaran Publik sampai saat ini. Perubahan status ini resmi mengakhiri polemik tentang status PT TVRI (Persero) yang dirasa menyimpang dari Undang-Undang Penyiaran; dan berarti juga menyelesaikan permasalahan status TVRI sejak 1999. 2006-kini: Modernisasi dan penyempurnaan siaranMengikuti rencana pemerintah untuk memperkenalkan televisi digital di Indonesia, TVRI meluncurkan siaran digitalnya pada 21 Desember 2010 dengan cakupan awal di Jakarta, Surabaya dan Batam. Pada waktu yang sama, TVRI juga meluncurkan dua saluran terestrial digital yang merupakan saluran terestrial digital pertama di Indonesia: TVRI 3 (kini TVRI World) dan TVRI 4 (kini TVRI Sport). Peluncuran dihadiri oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring.[64][65] Meskipun demikian, hingga pertengahan 2010-an, TVRI layaknya hidup segan mati tak mau.[66] Berganti-ganti pimpinan, bahkan sampai dipecat dari DPR, TVRI tampak selalu kalah pamor dari televisi swasta, belum lagi kontroversi yang beberapa kali dibuat, seperti penayangan acara Partai Demokrat pada 2013, konflik internal, dan beberapa kali tuduhan korupsi.[67] Bagi beberapa pihak, hal ini disebabkan oleh kombinasi internal dan eksternal TVRI. Dari internal, TVRI memiliki PNS yang jumlahnya berkali-kali lipat lebih banyak dari televisi swasta, dan kebanyakan sudah berusia tidak muda lagi. Belum lagi anggaran-anggaran seperti konsumsi yang terlihat tidak efisien, dan perangkat-perangkat siaran yang berusia tua. Di satu sisi, pemerintah selama ini cenderung tidak bersikap "manis" pada TVRI: misalnya dengan tidak memberikan anggaran mencukupi (di bawah Rp 1 triliun/tahun, sangat jauh jika dibandingkan misalnya dengan BBC dan NHK), melarangnya memberhentikan pejabat secara mandiri, dan kebanyakan memilih petingginya yang didasarkan pada kepentingan politis. Akibatnya cukup buruk, seperti TVRI mendapatkan opini disclaimer dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada laporannya selama 2013-2017.[62][68][69][70] Di tahun 2017, "raja kuis" Helmy Yahya terpilih sebagai Direktur Utama TVRI menggantikan Iskandar Achmad yang sudah habis masa jabatannya, begitu juga Apni Jaya Putra (mantan Direktur Program Kompas TV) yang menjadi direktur pemograman TVRI. Di era kepemimpinan Helmy dan Apni, TVRI mulai merombak acara maupun siaran secara besar-besaran, yang ditujukan agar TVRI bisa mendapat hati di kalangan pemirsa muda (kekinian) dan tampak modern.[71] Upaya menghapus citra jadul juga dilakukan dengan merubah logo TVRI (dan 29 stasiun daerahnya) untuk yang kedelapan kalinya pada 29 Maret 2019 pukul 20.20 WIB, saat acara Konser Musik: Menggapai Dunia sedang berlangsung di Auditorium TVRI Jakarta.[72] Langkah Helmy dan Apni yang out of the box dengan memikirkan rating memicu kontroversi yang berakhir dengan pemberhentiannya, karena cara pandang umum yang ada adalah TVRI sebagai lembaga penyiaran publik seharusnya tidak memikirkan soal rating.[73][74] Walau demikian, pada masa kepemimpinannya TVRI berhasil memperoleh opini "wajar tanpa pengecualian" dari BPK,[75] pencapaian yang dapat dipertahankan pada tahun-tahun berikutnya. Pada Agustus 2019, TVRI bersama dua televisi swasta nasional (MetroTV dan Trans7) dan Kemenkominfo secara resmi meluncurkan siaran televisi digital untuk wilayah-wilayah perbatasan Indonesia di Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara. Hal ini bertujuan agar masyarakat di seluruh wilayah Indonesia bisa menyaksikan acara televisi dengan kualitas gambar dan suara yang lebih baik, sekaligus mempersiapkan migrasi (peralihan) TV analog ke digital dalam rangka menghadapi ASO (Analog Switch Off) yang akan diberlakukan pemerintah Indonesia dalam waktu dekat.[76] Selain diwarnai kepemimpinan baru, untuk membantu menyempurnakan kinerjanya, sejak 2010-an beberapa kalangan sudah mengusulkan penggabungan TVRI dengan RRI yang sama-sama merupakan Lembaga Penyiaran Publik, menjadi LPP Radio Televisi Republik Indonesia (RTRI).[77] IdentitasLogoLogo TVRI pada era 1960-an hingga 1990-an berbentuk segi empat, kemudian menjadi segi lima. Terjadi tiga kali perubahan logo dalam era ini, sehingga rata-rata perubahan terjadi dalam kurun waktu kurang dari sepuluh tahun.[28] Dari kedua logo pertama, tercermin fungsi dasar TVRI yang mengacu pada tiga fungsi media (disimbolkan kotak TV) yakni informasi, edukasi dan hiburan. Perbedaannya terletak pada simbol kotak yang setara dengan "RI" pada logo pertama yang menyatu dalam bingkai pada logo kedua; juga hadirnya nuansa warna merah, hijau dan biru sebagai cerminan TVRI memasuki era teknologi berwarna. Pada logo ketiga, nuansa keindonesiaan makin kentara dengan bentuk segi lima yang mencerminkan simbol Pancasila; namun ditambah ilustrasi bola dunia yang memosisikan TVRI sebagai "pembawa gawang khatulistiwa". Sejak 1999, dalam waktu kurang dari dua dekade, logo TVRI berubah sebanyak lima kali. Walau demikian, gaya huruf TVRI tetap sama, begitu juga bentuknya yang sekilas berupa segi empat yang menyimbolkan televisi. Perbedaan yang ada kebanyakan hanya pada nuansa pemakaian warna. Biasanya ada pemaknaan spesifik pada setiap upaya pergantian logo, seperti di tahun 1999 yang menandai citra TVRI yang baru sebagai televisi publik di era Reformasi[78] dan pada tahun 2003 yang menandakan pergantian statusnya dari Perjan ke PT Persero. Di tahun 2007, gaya huruf TVRI dimodifikasi dengan menambah "cakar" atau "gancu" pada logo, yang digunakan hingga Maret 2019.[28] Adapun logo ini secara resmi diinterpretasikan menggambarkan "layanan publik yang informatif, komunikatif, elegan dan dinamis dalam upaya mewujudkan visi dan misi TVRI sebagai TV Publik yaitu media yang memiliki fungsi kontrol dan perekat sosial untuk memelihara persatuan dan kesatuan bangsa". Bentuk lengkung yang berawal pada huruf T dan berakhir pada huruf I dari huruf TVRI, diintepretasikan sebagai huruf "P" yang merupakan tanda 5 lima makna layanan informasi dan komunikasi menyeluruh.
Selain itu, bentuk lengkung dengan ekor yang runcing dan dinamis tersebut dapat dibaca juga melambangkan komet yang bergerak cepat dan terarah, menandakan gerakan perubahan yang cepat dan terencana menuju televisi publik yang lebih sempurna. Bentuk tipografi TVRI memberi makna elegan dan dinamis, siap mengantisipasi perubahan dan perkembangan zaman serta tuntutan masyarakat. Warna biru dipiih sebab mempunyai makna elegan, jernih, cerdas, arif, informatif dan komunikatif; sedangkan warna jingga dan merah yang searah (dari kiri ke kanan) melambangkan sinar atau cahaya yang membawa pencerahan untuk ikut bersama mencerdaskan kehidupan bangsa serta mempunyai makna semangat dan dinamika perubahan menuju arah yang lebih sempurna.[79] Pada 29 Maret 2019, logo TVRI berganti kembali dalam rangka upaya penjenamaan kembali (rebranding). LPP TVRI tidak lagi mengganti logo dengan pola sayembara atau dibuat secara internal, oleh karena TVRI menganggap logo juga merupakan "bagian dari gambaran korporasi yang dapat mempengaruhi budaya korporasi".[28] Sebagai gantinya, kali ini pergantian logo dilakukan dengan bantuan sebuah agensi penjenamaan, DM ID yang dipersiapkan selama 6 bulan.[80][81] Logo dan rebranding tersebut dilakukan demi memenuhi visi TVRI sebagai "penyiar publik kelas dunia" yang menuntut adanya identitas baru yang lebih modern, simpel dan berkelas dunia. Selain itu, diharapkan dengan logo barunya, TVRI selalu menjadi televisi pemersatu bangsa dan menyuarakan kehebatan Indonesia, serta menjadi suara yang memotivasi, menginspirasi, dan membanggakan Nusantara hingga ke seluruh Indonesia. Sebenarnya logo TVRI yang baru direncanakan akan dirilis pada kuartal keempat tahun 2018, tetapi karena satu dan lain hal, maka diundur pada akhir Maret 2019.[82] Secara resmi, logo baru (yang sekilas nampak mirip dengan logo perusahaan penyiaran asal Jerman, Deutsche Welle)[81] ini diinterpretasikan sebagai "Lingkaran Penyambung Dunia" yaitu satu siaran, satu suara, dan satu Indonesia untuk dunia.[82] Adapun pemaknaan dari komponen-komponennya adalah:
Selain perubahan logo, juga dilakukan perubahan grafis yang diambil dari logo TVRI. Grafis TVRI menggunakan tiga bulatan, satu bulatan besar, satu bulatan sedang dan satu bulatan kecil, yang melambangkan semesta. Tiga bulatan juga menelaskan satu dunia, satu Indonesia dan satu LPP TVRI. Grafis ini diaplikasikan dengan lima warna, yaitu biru dan turunannya untuk semua program yang berbasis informasi; hijau dan turunannya untuk program berbasis ilmu pengetahuan, agama dan kebudayaan; merah untuk olahraga; warna ungu dan turunannya untuk program hiburan; dan warna jingga dan turunannya untuk program anak-anak.[83]
Slogan
LayananTelevisiSaluran nasionalSaat ini stasiun pusat TVRI mengoperasikan tiga saluran, yakni:
Stasiun daerahSelain stasiun pusat yang berada di Jakarta, TVRI juga memiliki 35 stasiun daerah yang tersebar di seluruh di Indonesia. Stasiun-stasiun ini secara kolektif kerap disebut TVRI Daerah,[87] dan, pada urutan saluran terestrial digital, biasa ditempatkan setelah saluran utama TVRI. Saat masih bersiaran di terestrial analog, TVRI stasiun daerah bisa dikatakan merupakan jaringan TVRI Nasional dengan merelai siaran pusat TVRI. Umumnya, siaran TVRI Nasional dan stasiun TVRI daerah menempati kanal yang sama. Namun, di sebagian sejumlah lokasi, stasiun TVRI Daerah memiliki saluran terpisah dari TVRI Nasional, yang pernah disebut dengan istilah Programa 2. Terdapat dua daerah yang tercatat pernah menerapkan saluran TVRI yang terpisah dari saluran utama TVRI Nasional, yaitu Programa 2 Jakarta dan Programa 2 Surabaya. Siaran Programa 2 di dua kota ini ditargetkan bagi masyarakat perkotaan dengan titik berat acara hiburan, sehingga saat itu diharapkan menjadi pesaing televisi swasta saat muncul di awal 1990-an.[88] Namun, kemudian ide ini tampak kurang berhasil dikembangkan. Praktik berjaringan di siaran terestrial analog perlahan-lahan dikurangi dengan keberadaan siaran digital yang memberikan tempat bagi siaran stasiun daerah secara mandiri. Istilah Kanal 2 lalu pernah digunakan untuk menyebut saluran stasiun TVRI daerah yang siarannya terpisah dari TVRI Nasional (sehingga tidak merelai/berjaringan lagi), yang mulai nampak setelah munculnya siaran digital.[65] Sistem ini diterapkan di televisi digital terestrial untuk seluruh Indonesia. Stasiun TVRI daerah menyiarkan acara yang bersifat lokal, termasuk berita daerah. Program-programnya diproduksi oleh stasiun TVRI daerah dan dapat bekerja sama dengan pihak lain. Siaran stasiun TVRI daerah pada umumnya juga direlai oleh stasiun relai di wilayah provinsi tersebut, yang kini berjumlah 172 stasiun transmisi digital. Berikut ini adalah daftar stasiun TVRI daerah saat ini, masing-masing dengan lokasi stasiun: Catatan:
Pada saat Provinsi Timor Timur (kini Timor Leste) masih berintegrasi dengan Indonesia, TVRI mempunyai stasiun bernama TVRI Dili yang berpusat di kota Dili. Stasiun tersebut ditutup pada tahun 1999 setelah provinsi tersebut lepas dari Indonesia. Dari asetnya didirikan TV UNTAET, saat ini berupa RTTL. Layanan daringSitus web TVRI (dengan alamat www.tvri.co.id) telah ada setidaknya pada bulan September 2001.[96] Situs ini mulanya berbentuk portal berita dan informasi terkait siaran TVRI. Pada tahun 2018, menurut arsip Wayback Machine, alamat tersebut dialihkan menjadi www.tvri.go.id. TVRI saat ini mengoperasikan dua layanan daring. TVRI Klik adalah layanan yang fokus pada streaming daring seluruh saluran TVRI serta stasiun-stasiun daerah.[97][98] TVRI VoD adalah layanan video sesuai permintaan (video-on-demand) yang berisi program-program TVRI. Keduanya dapat diakses melalui situs web serta aplikasi Android dan iOS. Selain TVRI Klik, layanan streaming dari seluruh saluran nasional dan stasiun daerah TVRI juga dapat diakses melalui situs web TVRI. TVRI memiliki portal berita di TVRINews.com. Situs ini telah muncul setidaknya sejak 2014,[99] dan telah mengalami beberapa perubahan sejak saat itu. Selain itu, TVRI – bersama Antara dan RRI – juga mengelola Redaksi Nasional, sebuah portal berita bersama yang digunakan sebagai pusat berita tentang agenda-agenda nasional tertentu, seperti Pekan Olahraga Nasional dan Konferensi Tingkat Tinggi G20 tahun 2022 lalu.[100] LainnyaKantor pusat TVRI berada di Gelora, Tanah Abang, Jakarta Pusat, berdekatan dengan Gelora Bung Karno. Kompleks kantor pusat ini meliputi studio utama berlantai empat yang memiliki luas lantai 24 ribu meter persegi dan dibangun dari 1976—1983; gedung pusat operasional berlantai 12 seluas 11.509 meter persegi yang dibangun pada Agustus 1983—April 1985;[101] dan Menara TVRI berketinggian 144,7 meter yang dibangun pada tahun 1975—1977. Khusus Menara TVRI, menara ini menggantikan menara lama yang beroperasi sejak 1962 dan berketinggian 85 meter,[102] namun kemudian digantikan lagi saat ini oleh menara 300 meter di Joglo, Kembangan, Jakarta Barat. Tiga menara tersebut, dalam sejarahnya, memancarkan siaran TVRI ke Jabodetabek dan sekitarnya. TVRI memiliki Pusat Pendidikan dan Pelatihan (Pusdiklat TVRI)[103] yang memberikan pelatihan di bidang pertelevisian. Selain itu, TVRI juga mengelola Studio Alam TVRI di Kecamatan Sukmajaya, Depok, Jawa Barat. Studio ini berupa alam terbuka hijau yang digunakan sebagai tempat produksi beberapa acara TVRI dan juga dimanfaatkan sebagai area rekreasi. OrganisasiTugas dan kelembagaanStatus TVRI sebagai lembaga penyiaran publik ditegaskan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 11 dan 13 Tahun 2005, yang merupakan penjabaran lebih lanjut dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002. TVRI saat ini menjadi lembaga tersendiri dan tidak berada di bawah kementerian mana pun. Pasal 14 Undang-Undang No. 32/2002 menyatakan bahwa TVRI, sebagai LPP, adalah lembaga penyiaran yang berbentuk "badan hukum yang didirikan oleh negara; (bersifat) independen, netral, tidak komersial, dan berfungsi memberikan layanan untuk kepentingan masyarakat". Peraturan Pemerintah No. 13/2005 menetapkan bahwa tugas TVRI adalah "memberikan pelayanan informasi, pendidikan dan hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial, serta melestarikan budaya bangsa untuk kepentingan seluruh lapisan masyarakat melalui penyelenggaraan penyiaran televisi yang menjangkau seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia".[104] Struktur kelembagaan TVRI terdiri dari lima dewan pengawas dan lima dewan direksi. Keduanya mempunyai masa kerja lima tahun, dan dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali masa kerja berikutnya. Dewan PengawasDewan pengawas TVRI ditetapkan oleh Presiden atas usul Dewan Perwakilan Rakyat; setelah melalui uji kepatutan dan kelayakan secara terbuka atas masukan dari pemerintah dan/atau masyarakat. Menurut Peraturan Pemerintah No. 11/2005, dewan pengawas berfungsi mewakili masyarakat, pemerintah, dan unsur lembaga penyiaran publik yang menjalankan tugas pengawasan untuk mencapai tujuan lembaga penyiaran publik. Struktur dewan pengawas TVRI saat ini adalah sebagai berikut:
Dewan DireksiDewan direksi TVRI diangkat dan ditetapkan oleh dewan pengawas. Dewan direksi berwenang dan bertanggung jawab atas pengelolaan TVRI. Struktur dewan direksi TVRI saat ini adalah sebagai berikut:[105]
Daftar Direktur UtamaCatatan: Hingga menjadi Perjan pada 2000, jabatan dari pemimpin TVRI adalah "Direktur TVRI" atau "Direktur Televisi".
PendanaanMenurut Undang-Undang No. 32/2002, sumber pendanaan TVRI dapat berasal dari iuran penyiaran, APBN, sumbangan masyarakat, siaran iklan, dan usaha lain yang sah yang terkait dengan penyelenggaraan penyiaran. Usaha lain tersebut, yang saat ini digabungkan dalam Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) seperti diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 66/2020, meliputi jasa digitalisasi penyiaran (iklan di situs web), jasa pendidikan dan pelatihan pertelevisian, jasa sertifikasi profesi penyiaran televisi, jasa penggunaan sarana dan prasarana (sewa tempat di pemancar dan lahan aset), jasa produksi acara, jasa multipleksing, dan royalti produksi acara.[138] TVRI pernah menayangkan iklan dalam satu tayangan khusus dengan judul acara Mana Suka Siaran Niaga (sehari dua kali). Sejak April 1981 TVRI tidak diperbolehkan menayangkan iklan, dan akhirnya TVRI baru kembali menayangkan iklan pada awal dekade 2000-an seiring dengan perubahan struktur kelembagaan dan pengesahan Undang-Undang No. 32/2002. Iklan di TVRI berubah dari waktu ke waktu. Di era 1970-an, saat masih menerima iklan, cukup banyak perusahaan besar yang mengiklankan produknya di TVRI (seperti Fujifilm dan Unilever).[4] Bagaimanapun, banyaknya pengiklan yang didominasi perusahaan asing tersebut menimbulkan kritik banyak pihak saat itu dengan alasan mendorong konsumtivisme, yang akhirnya berbuah pelarangan iklan produk mewah serta pelarangan total iklan di TVRI masing-masing pada tahun 1975 dan 1981.[19] Kondisi berbeda muncul ketika TVRI dapat menerima iklan lagi sejak 2002, dengan lebih banyak menayangkan iklan dari institusi pemerintah maupun iklan layanan masyarakat dan tampak selalu berada dalam posisi "buncit" dalam perolehan iklan televisi di Indonesia.[139] Akibatnya, TVRI pusat dan daerah pernah menyiarkan beberapa jenis iklan kontroversial, seperti iklan pengobatan alternatif[140] ataupun SMS premium demi mencari dana.[141] Walaupun demikian, seiring dengan adanya beberapa acara yang cukup populer (biasanya event besar), TVRI juga mulai dilirik oleh beberapa perusahaan besar kembali.[42] Pemerintah mengatur tarif iklan TVRI dalam Peraturan Pemerintah No. 33/2017, dengan besaran yang cenderung lebih rendah dibanding televisi swasta.[69] Selain itu, Undang-Undang No. 32/2002 juga membatasi persentase iklan di TVRI sebesar 15% jam siarnya (televisi swasta 20%), dengan 30% iklannya adalah iklan layanan masyarakat. Antara dekade 1960-an hingga 1990-an, TVRI (melalui Yayasan TVRI) juga pernah menarik "iuran televisi" kepada setiap pemilik televisi. Walaupun sampai saat ini dalam peraturan perundang-undangan masih diperbolehkan menerima iuran, tetapi saat ini TVRI tidak melakukannya. Direktur Program dan Berita TVRI 2017-2020 Apni Jaya Putra pada tahun 2018 mengatakan pihaknya tidak menarik iuran karena dianggap sulit diterima publik.[69] Selain itu, iuran televisi – seperti halnya sumbangan masyarakat – belum pernah diatur sebagai PNBP untuk TVRI. KaryawanPada tahun anggaran 2007, karyawan TVRI berjumlah 6.099 orang (5.085 orang pegawai negeri sipil (PNS) di bawah Kemenkominfo dan 1.014 orang tenaga honor/kontrak) yang tersebar di seluruh Indonesia, dengan sekitar 1.600 orang di antaranya adalah karyawan TVRI pusat. Namun, hingga tahun 2018 karyawan TVRI tinggal sebanyak kurang lebih 4.300 orang, dengan sekitar 1.800 orang adalah karyawan TVRI pusat dan sekitar 90% di antaranya merupakan PNS.[68] Kondisi ini disebabkan adanya kebijakan moratorium penerimaan pegawai baru TVRI oleh pemerintah selama lebih dari 16 tahun.[142] Kritik dan kontroversiMasalah strukturalBeberapa masalah struktural sampai saat ini masih sering kali menghambat kinerja TVRI. Hal ini seperti jumlah karyawan yang banyak, tetapi sudah berumur sehingga tidak efisien, yang sayangnya tidak bisa dipecat oleh TVRI secara independen karena status PNS; ataupun karena jika dilakukan dikhawatirkan akan membuat pergolakan internal.[68] Kemudian ada juga soal tumpang-tindihnya kewenangan Dewan Pengawas (Dewas) dan Direksi di beberapa bidang sehingga sering kali menyebabkan saling tuduh ikut campur dan konflik antara keduanya (seperti kasus pemecatan dirut Farhat Syukri dan Helmy Yahya pada 2013 dan 2019);[122][143] belum lagi ditambah pemilihan anggota Dewas oleh DPR sering kali menyebabkan pertimbangan politis lebih dipentingkan dibanding kualitas.[125] State Media Monitor, situs web dari lembaga riset asal Eropa Media and Journalism Research Center yang menilai media-media terafiliasi negara, per tahun 2023 menggolongkan TVRI sebagai State-Controlled (media yang dikendalikan negara). Menurut lembaga tersebut dengan merujuk pada "jurnalis dan pakar setempat", meskipun pemerintah berniat mengubah TVRI menjadi lembaga penyiaran publik yang independen secara editorial, TVRI "tetap sejalan dengan kepentingan pemerintah, mempromosikan kebijakan-kebijakannya, dan jarang mengkritik orang-orang di dalamnya atau tindakan mereka". Selain itu, lembaga itu menilai undang-undang yang menetapkan independensi TVRI "belum ada", begitu pula badan atau mekanisme yang secara independen memvalidasi independensi editorialnya.[144] Kasus korupsiPada masa direksi pimpinan Sumita Tobing mulai tahun 2001, permasalahan keuangan mulai bermunculan. Salah satunya pada pembangunan stasiun pemancar di Gunung Tela, yang dinilai bermasalah oleh Badan Pemeriksa Keuangan dan turut menyumbang permasalahan pada kondisi keuangan TVRI.[62][63] Belakangan pada 2014, Sumita Tobing dinyatakan melakukan korupsi pengadaan peralatan siar TVRI yang merugikan negara sebesar Rp 12,4 miliar. Ia dijatuhi pidana penjara selama 1 tahun 6 bulan dan pidana denda Rp 250 juta.[62] Pada tahun 2013, Direktur Keuangan TVRI Eddy Machmudi Effendi diberi hukuman penjara 8 tahun 6 bulan atas kasus pengadaan program siap siar tahun 2012 yang bernilai Rp 47,8 miliar. Kasus ini melibatkan Direktur Berita dan Program Irwan Hendarmin, Direktur Utama PT Media Arts Image Iwan Chermawan, pejabat pembuat komitmen yang merupakan pejabat tinggi TVRI Yulkasmir, dan komedian senior yang juga direktur Viandra Productions Mandra, yang menyebabkan kasus ini juga dikenal sebagai "Mandragate".[62][145] Maraknya budaya korupsi ini, salah satunya ditengarai oleh minimnya akuntabilitas TVRI ke publik.[68] Tayangan politikTVRI masa Orde Baru kerap dikritik karena menonjolkan organisasi Golongan Karya daripada dua partai politik lain dalam pemberitaan seputar pemilihan umum. Dalam penelitian mengenai Pemilu 1992, dilaporkan bahwa 4 menit 25 detik berita TVRI ditujukan untuk Golkar, Partai Demokrasi Indonesia 56 detik, dan Partai Persatuan Pembangunan 41 detik. Golkar banyak mendapatkan pemberitaan yang positif, sedangkan PDI dan PPP lebih condong pada isu-isu negatif. Karyawan TVRI pun dipaksa mendukung Golkar dalam pemilu dengan adanya asas monoloyalitas pasca status mereka diubah menjadi PNS di tahun 1980.[26] Pada tanggal 6 Juni 2013, TVRI menayangkan siaran tunda acara Muktamar Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) di Senayan Jakarta.[146] Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Idy Muzayyad menilai TVRI sebagai lembaga penyiaran publik telah "mengalami disorientasi kebangsaan dengan menayangkan hal ini karena ideologi HTI yang mempermasalahkan ideologi negara, nasionalisme dan menolak demokrasi", tetapi juru bicara HTI Ismail Yusanto menyatakan bahwa TVRI adalah penyiar publik dan HTI termasuk bagian dari publik, sehingga ia mendukung TVRI menayangkan siaran itu karena hal itu "bagian dari hak publik untuk disiarkan dan diperdengarkan".[147] Selain itu, juga datang kritik dalam bentuk surat terbuka yang ditulis 19 LSM dan sejumlah tokoh masyarakat.[148] TVRI dipanggil dan terbuka kemungkinan dijatuhkan sanksi.[149] Dalam pemanggilan yang diadakan pada 10 Juni 2013 itu, TVRI menyatakan permohonan maafnya kepada masyarakat dan berjanji tidak akan menyiarkan acara sejenis kembali.[150] Kemudian pada 15 September di tahun yang sama, TVRI menayangkan siaran tunda konvensi Partai Demokrat, partai politik yang didirikan oleh presiden saat itu Susilo Bambang Yudhoyono, selama lebih dari 2 jam. Tayangan itu kembali mendapatkan sanksi KPI, karena melanggar prinsip independen sesuai dengan Undang-Undang Penyiaran.[151] Sekretaris manajer direksi TVRI Usi Karundeng sempat mengatakan bahwa pihaknya tidak pernah diintervensi atau dibayar oleh Partai Demokrat.[152] Meskipun demikian, laporan dari Tempo.co justru menyatakan bahwa Direktur Utama TVRI saat itu, Farhat Syukri-lah yang memaksakan acara itu agar disiarkan walaupun mendapat penolakan dari internal TVRI.[153] Pada tahun tersebut (Maret, Mei dan Agustus 2013), TVRI juga sempat menyiarkan acara ulang tahun Fraksi Partai Golkar, Kongres Luar Biasa Partai Demokrat, ulang tahun SOKSI (organisasi sayap Golkar) dan ulang tahun Partai Amanat Nasional yang semuanya ikut mendapat kritik banyak pihak.[148] Diduga, TVRI saat itu tengah menjual jam siarnya dalam bentuk blocking time untuk kepentingan politis segelintir pihak tertentu.[154] Pemecatan Helmy Yahya, kisruh internalKejadian ini sebenarnya sudah ada pada tanggal 4 Desember 2019, di mana Direktur Utama TVRI saat itu Helmy Yahya dinonaktifkan sementara oleh Dewan Pengawas TVRI pimpinan Arief Hidayat Thamrin dan digantikan dengan Pelaksana Tugas (Plt)/Direktur Sementara, Supriyono. Menurut sumber berita di hampir seluruh media massa pada tanggal 16 Januari 2020, Helmy resmi diberhentikan jabatannya oleh Dewan Pengawas secara permanen dan sepihak karena beberapa hal; seperti pembelian hak siar Liga Inggris yang dinilai terlalu mahal,[155][156] penayangan blok acara Discovery Channel,[157] dan kecenderungan mengutamakan popularitas acara melalui rating. Hal itu membuat sebagian besar publik (termasuk warganet) kecewa dan ingin membela Helmy Yahya agar tetap memimpin TVRI hingga 2022, tetapi Dewan Pengawas tetap menolak pembelaan Helmy hingga terpilihnya direktur utama baru yang menggantikannya.[158] Per tanggal 27 Maret 2020, tiga direktur TVRI (termasuk Direktur Program sekaligus Pemimpin Redaksi, Apni Jaya Putra) diberhentikan sementara selama kurang dari sebulan oleh Dewan Pengawas TVRI terkait kasus Helmy Yahya. Sayangnya, setelah pemberhentian ketiga direktur dicabut konflik tersebut masih belum selesai.[159] Pada 13 Mei, Apni diberhentikan secara permanen.[160] Pada tanggal 27 Mei 2020, Dewan Pengawas TVRI telah menunjuk praktisi periklanan, wartawan, dan sineas/sutradara film Iman Brotoseno sebagai Direktur Utama baru TVRI sisa periode 2017-2022,[161] setelah dilakukan seleksi terbuka. Penunjukkan tersebut menimbulkan kontroversi karena proses seleksi yang melanggar peraturan yang berlaku.[162] Selain itu, dukungan Iman pada presiden petahana Joko Widodo pada pemilihan presiden 2019 juga disorot, walau ia menyatakan bahwa dirinya "akan independen dan imparsial".[163] Tak lama berselang Iman Brotoseno dihujat oleh sebagian besar publik (termasuk warganet) karena kutipan yang disampaikan di media sosialnya tidak pantas.[164] Namun Iman membantah, bahwa ucapan tersebut adalah "kenangan pahit yang pernah dideritanya".[165] Kontroversi tersebut dianggap telah berakhir setelah Dewan Perwakilan Rakyat memecat Ketua Dewan Pengawas Arief Hidayat Thamrin pada Oktober 2020.[166] Lihat pulaReferensi
Pranala luar
|