Teologi praktika
Teologi Praktika adalah cabang ilmu teologi yang mempelajari bagaimana teologi terkait dengan praktik konkret di dunia.[1] Beberapa Definisi Teologi Praktika
Teologi Praktika dalam praktikTeologi Praktika memiliki banyak bagian yang dikerjakan, di antaranya homelitika, kateketika, dan poimenika[2] Gerben Heitink mengatakan Teologi Praktika adalah disiplin ilmu yang menyelidiki hubungan manusia dan Allah, peristiwa-peristiwa yang dialami manusia, kehendak Allah, yang membutuhkan interpretasi agar terjadi keselarasan.[5] Bagi Schleiermacher, Teologi Praktika bukanlah hal yang sudah sudah jadi, namun justru antiklimaks, yaitu selalu terbuka untuk memperbarui diri.[6] Selain itu teologi praktika juga adalah praktis bukan teoretis.[6] Pada prinsipnya tidak ada teori yang pasti, semua berangkat dari pengalaman sejarah dan filsafatnya.[6] Posisi Teologi Praktika dalam gerejaMenurut Schleiermacher, Teologi Praktika adalah panduan dalam melakukan pekerjaan gerejawi. Pekerjaan gereja itu mencakup:[3]
Teologi Praktika selalu mendasarkan pada aspek filosofis dan sejarah gereja.[3] Hal ini dituangkan dalam disiplin-disiplin yang teologis.[6] Teologi Praktika sebenarnya adalah jembatan antara yang ideal dan aktual.[6] Isinya sendiri adalah "cara", "aturan", "peraturan-peraturan" yang dipakai oleh gereja sebagai persekutuan orang beriman.[6] Bersarkan tugas dan sifatnya maka:
Tabiat dan tugas Teologi PraktikaTugas Teologi praktika adalah memberikan tatanan gerejawi yang bersifat panduan (terpadu).[3] Hal ini didasarkan pada sifat dari teologi yang membawa kejelasan pada kesadaran perasaan dari aspek-aspek(kesenangan maupun ketidaksenangan) kondisi gereja pada waktu tertentu.[3] Beberapa hal yang menjadi tugas dari teologi praktika adalah menyangkut:
Prinsip pelayanan gerejawi diatur dalam organisasi dan aktivitas kepemimpinan gereja.[3] Jika terjadi ketidakcocokan antara yang melayani dan yang dilayani, maka perlu dilakukan bentuk yang lebih tepat sehingga pelayanan yang dilakukan gereja dapat dirasakan manfaatnya oleh gereja kepada jemaat dan kehidupan di sekitarnya.[3] Aspek lain yang penting juga adalah menyangkut tatacara ibadah dalam kesadaran religius dan penyelenggaraan gereja yang melaknakan tugasnya bukan hanya pada panduan-panduannya saja, melainkan juga pada kehidupan individu dalam persekutuan jemaat.[3]
Tujuan dari penyelenggaraan gerejawi didasarkan pada kepemimpinan gereja yang efektif dalam setiap fungsinya dalam pelayanan.[3] Hal ini juga sangat berfariasi ukurannya, yaitu tergantung pencapaian yang ditetapkan gereja itu sendiri.[3] Di sini tugas teologi praktika dikaitkan dengan nilai-nilai teologi yang mendasarinya.[3] Semua itu dilihat dari setiap potensi dan budaya yang dimiliki warganya.[3] Biasanya prinsip-prinsip setiap gereja berdasar pada sejarah gereja setempat.[3] Tugas ini salah satunya ditentukan oleh pemimpin gereja itu (pendeta, pastor).[3] Teologi Pembebasan sebagai bentuk Teologi PraktikaTeologi Pembebasan adalah bentuk kepedulian pastoral atau penggembalaan yang menjadi salah satu cabang dari Teologi Praktika.[7] Pembebasan di sini adalah keterkaitan dengan psikis seseorang dalam tekanan hidup di dalam lingkaran penindasan.[7] Pastoral yang sering kali diidentikkan dengan penggembalaan kejiwaan tidak terlepas dari kasus sosial yang membuat jiwa seseorang tidak bebas lagi.[7] Ketidakbebasan ini menyangkut kondisi politik, sosial yang mengganggu hak manusia terkait hak-hak nya sebagai manusia.[7] Di sini Teologi pembebasan menantang Teologi Praktika dalam korelasi antara teori dan kenyataan hidup.[7] Salah satu yang dilakukan Gereja Katolik Roma adalah merumuskan Teologi Praktika dalam aksi pembebasan terhadap orang-orang miskin, penindasan dan bentuk-bentuk ketidakadilan lainnya.[8] Perumusan itu terjadi dalam Konsili Vatikan II bersamaan dengan kapitalisme yang marak di Amerika Latin dan Eropa.[8] Teologi Praktika harus memberikan perbedaan di dunia karena tugasnya mewujudkan damai sebagai anugerah Allah kepada dunia.[8] Teologi Pembebasan bukan sekadar diskursus teologi mengenai Allah, tetapi Allah yang relevan dan praksis terhadap kehidupan umat manusia.[8] Bahkan Konsili Vatikan II juga merumuskan program Pastoral yang dibentuk oleh tujuh kardinal dan 90 uskup yang terlibat dalam pertemuannya.[8] Lihat Juga
Referensi
|