Teori OnomatopetikTeori onomatopetik atau yang disebut juga ekoik ini merupakan teori yang membahas imitasi suara di alam semesta. Teori yang dikemukakan oleh J.G Herder ini menyatakan bahwa objek-objek akan diberi nama sesuai dengan bunyi-bunyi yang dihasilkannya.[1] Objek yang dimaksud dalam teori ini adalah binatang atau peristiwa alam yang menghasilkan bunyi-bunyi tertentu. Menurut Herder, bunyi-bunyi yang dikeluarkan oleh binatang dan peristiwa alam tersebut akan ditiru hingga menciptakan kata-kata dalam bahasa. Teori ini oleh Max Muller disebut teori bow-bow[2]. Dan Mark Muller mengomentarinya bahwa teori ini hanya berlaku pada kokok ayam dan bunyi itik, padahal kegiatan bahasa banyak terjadi di luar kandang ternak (Keraf, 1996: 3)[3] Penganut teori onomatopetikMenurut D. Whitney, salah satu penganut teori ini mengatakan bahwa ada banyak kata baru yang muncul dengan cara ini di setiap tahap pertumbuhan bahasa. Sebab, menurutnya kata-kata itu mulai timbul pada masa anak-anak yang berusaha meniru bunyi kereta api, mobil, dan lain sebagainya (Whitney, 1868: 429)[4]. Sedangkan Lafevre, seorang penganut lain teori ini juga menjelaskan bahwa binatang-binatang memiliki dua elemen bahasa yang penting, yaitu teriakan (cry) refleks dan spontan. Hal ini reaksi emosi atau kebutuhan. Ada pula teriakan sukarela yang dilakukan sebagai peringatan yang menyatakan ancaman atau panggilan. Kedua jenis ujaran ini merupakan sumber yang digunakan manusia untuk mengembangkan berbagai macam bunyi dengan menggunakan variasi tekanan, reduplikasi, dan intonasi yang disempurnakan (Lefevre, 1894: 42-43)[5]. Penentang teori onomatopetikDi sisi lain, teori ini juga banyak ditentang oleh beberapa ahli dan sarjana bahasa. Alasannya, teori ini dianggap tidak mungkin dan tidak logis. Sebab, bahasa manusia sebagai makhluk yang lebih tinggi tidak mungkin terjadi hanya karena meniru bunyi dari makhluk-makhluk lain yang lebih rendah. Salah satu penentangnya yaitu Edward Sapir mengungkapkan bahwa esensi bahasa dan imitasi itu sedikit hubungannya. Bunyi imitasi, seperti bow-bow baru akan muncul dalam bahasa itu karena perkembangan manusia yang mempelajari seni ujaran dan menjadi mahir dalam menggunakannya (Sapir, 1921: 5-6)[6]. Meskipun demikian, teori onomatopetik (teori imitasi) ini dapat dibenarkan karena pada kenyataannya unsur-unsur bahasa yang diciptakan manusia beberapa merupakan usaha dari meniru bunyi-bunyi binatang atau gejala alam di sekitarnya. Dan usaha meniru tersebut bukan berarti kedudukan manusia lebih rendah dari makhluk yang ditirunya. Manusia justru menciptakan kata-kata baru karena meniru bunyi yang dihasilkan sesamanya. Maka, yang dapat dijadikan kesimpulan adalah bahwa tiruan yang dilakukan manusia terhadap bunyi-bunyi makhluk lain merupakan usahanya untuk menciptakan bahasa.
Referensi
|