Teori tapal kudaTeori tapal kuda (bahasa Inggris: horseshoe theory) merupakan salah satu teori politik yang menyatakan bahwa kubu kiri ekstrem dan kanan ekstrem pada dasarnya berada di dalam kubu yang sama di dalam peta spektrum politik sedangkan kubu moderat (tengah) justru terletak pada sisi yang berlawanan (berseberangan) dengan kubu kiri ekstrem dan kanan ekstrem, menurut filsuf Prancis Jean-Pierre Faye.[1] Teori ini menyanggah skema garis lurus spektrum kiri dan kanan dalam dunia perpolitikan[2] karena menganggap pada suatu peristiwa perpolitikan terdapat kemungkinan kubu kiri ekstrem dan kanan ekstrem dapat bersatu menjadi suatu kekuatan yang mampu menandingi kelompok tengah (moderat).[3][4] PenjelasanSebagai contoh ambil filosofi komunisme dan fasisme.[5] Meskipun masing-masing berada di dalam spektrum kiri (komunisme) dan kanan (fasisme), tetapi kedua filosofi politik ini memiliki persamaan yaitu setiap orang wajib bekerja demi suatu kumpulan kebaikan bersama (common good) dan perlunya/adanya suatu pemerataan/distribusi pendapatan.[1] Dapat juga disimpulkan bahwa teori ini mendukung serta menganggap bahwa spektrum tengah / sentris merupakan spektrum yang ideal di dalam dunia perpolitikan di dalam menjalankan tatanan kehidupan kemasyarakatan sehingga suatu pergerakan politik akan dianggap bermasalah apabila meninggalkan spektrum tengah / sentris.[6] Contoh Peristiwa di mana Kubu Sayap Kiri dan Sayap Kanan Melawan Kubu ModeratTeori ini menjelaskan mengenai beberapa fenomena politik pada tahun 2016-2017 seperti Pemilihan Presiden Amerika Serikat 2016, Pemilihan Presiden Prancis 2017, Referendum Keanggotaan Britania Raya di Uni Eropa 2016 Pada Pemilihan umum Presiden Prancis 2017, spektrum ini menjelaskan mengapa beberapa pendukung calon presiden seperti Jean-Luc Melenchon yang memiliki pandangan kiri ekstrem (dikenal sebagai eks-Trotskyisme[7]) cenderung mendukung calon presiden Marine Le Pen pada pemilihan kedua dibandingkan mendukung calon terpilih, Emmanuel Macron[8][9](fakta bahwa 65 persen pendukung Melenchon menolak memilih Macron pada pemilihan kedua). Hal ini diperkuat dengan persamaan kampanye baik oleh Melenchon dan Le Pen yang menyerang hal-hal seperti sistem perbankan internasional (IMF dan World Bank), globalisasi dan institusi supranasional seperti Uni Eropa (UE).[7] Hal yang sama juga menjelaskan kondisi yang terjadi ketika Pemilihan umum presiden Amerika Serikat 2016, ketika Konvensi Partai Demokrat yang memutuskan Hillary Clinton terpilih sebagai calon presiden mengalahkan calon kuat, yang dianggap memiliki pandangan kiri ekstrem, Bernie Sanders, banyak pendukung Bernie Sanders menyatakan keengganannya memilih Hillary Clinton bahkan ada yang mengganti dukungan ke calon Presiden yang memiliki pandangan yang jauh berbeda dari Bernie Sanders, Donald Trump.[9][10] Salah satu survey menunjukkan bahwa 12 persen pendukung Bernie Sanders pada cenderung memilih Donald Trump (menurut the Cooperative Congressional Election Study), bahkan ada yang menyebut mencapai 6 persen.[10][11] Pada referendum ini, terdapat kecenderungan pemilih ekstrem kiri dari Partai Komunis Britania Raya memilih posisi keluar dari Uni Eropa, hal yang senada dengan pemilih dari ekstrem kanan (Partai Nasional Britania Raya dan UKIP). Ini terlihat dari polaritas di kedua partai yang di dalam sejarah Britania Raya menguasai pemerintahan (baik Partai Konservatif maupun Partai Buruh).[12] Hal ini juga terlihat di dalam Partai Buruh ketika dipimpin oleh Jeremy Corbyn.[4] Banyak yang menganggap Corbyn sangat menyukai pola kepemimpinan yang cenderung totaliter, otoritarian, dan memelihara antisemitisme di dalam Partai Buruh, sesuatu yang sangat berbeda di era Blair dan Miliband.[4] Referensi
|