Terorisme KristenTerorisme Kristen adalah tindakan terorisme yang dilakukan oleh kelompok atau individu yang mengakui melakukannya atas motivasi atau tujuan Kristen.[1] Teroris Kristen membenarkan taktik kekerasan yang dipakai melalui interpretasi Alkitab mereka, yang mereka sesuaikan dengan tujuan dan pandangan mereka sendiri.[2][3][4] Interpretasi semacam ini adalah berbeda dengan interpretasi denominasi Kristen pada umumnya.[2] Tindakan teroris yang dilakukan bisa ditujukan pada denominasi Kristen lain, agama lain, atau pada kelompok organisasi sekuler milik pemerintah, individu atau masyarakat.[5] Para teroris juga menyalahgunakan Kekristenan sebagai suatu alat retorika untuk mencapai baik tujuan politis atau militer mereka. Kelompok teroris Kristen terdiri memiliki berbagai bentuk, termasuk di antaranya: organisasi paramiliter, kultus sekte, dan kelompok orang yang tidak terorganisir dan berkumpul untuk mencoba meneror kelompok lain. Beberapa kelompok ini mendorong tindakan teroris melalui individu yang tidak terkait pada kelompok tersebut.[6] Kelompok paramiliter pada umumnya terikat pada kepentingan etnis atau politis serta keagamaan[7][8] dan kebanyakan dari kelompok semacam itu memiliki kepercayaan yang berbeda dengan Kekristenan konvensional pada umumnya. TerminologiPenggunaan frase terorisme Kristen secara harfiah nasih diperdebatkan.[2][9][10] Dalam literatur akademik, terorisme Kristen tampaknya mendeskripsikan tindakan-tindakan dan kepercayaan secara tidak spesifik.[2] Agama bisa saja dikutip sebagai motivasi tindakan terorisme dalam konflik-konflik yang memiliki beragam penyebab, seperti permasalahan etnis, ekonomis, dan politis, contohnya adalah konflik Bosnia.[11] Pada kasus yang serupa dengan Lord's Resistance Army atau Pemberontakan Taiping, kepercayaan para pendirinya sangat berbeda dengan kepercayaan Kristen pada umumnya.[12][13] Dalam kasus-kasus seperti yang disebut di atas, pemakaian istilah terorisme Kristen adalah problematik, meskipun terdapat klaim dari pelaku bahwa mereka termotivasi oleh kepercayaan agamanya. Istilah teroris bisa juga dipakai dengan tidak jujur untuk membuat publik menjelekkan suatu kelompok atau menjadi alasan bagi mereka untuk menerapkan hukuman yang lebih berat terhadap seorang individu atau sekelompok orang.[14][15][16] Intimidasi serta tindak kekerasan sporadis terhadap minoritas pada umumnya tidak bisa disebut sebagai tindakan terorisme.[17][18] Namun, hasil sebuah survei pada tahun 2015 mengungkapkan bahwa mayoritas warga Amerika dari dua belah pihak partai politik di Amerika Serikat menilai bahwa 'penyerangan terhadap pelaku aborsi [seharusnya] dianggap sebagai tindakan terorisme domestik'. SejarahKekristenan menjadi terkemuka di Kekaisaran Romawi secara cepat pada zaman pemerintahan Konstantin Agung (324-337 Masehi).[19] Pada saat itu, Kekristenan telah menyebar ke seluruh Asia Barat sebagai kepercayaan minoritas dan telah menjadi agama negara Armenia.[20][21] Pada masa Kekristenan awal, terdapat banyak sekte pesaing, yang sama-sama dipersekusi oleh beberapa penguasa. Namun, bagaimanapun juga, tidak tercatat adanya kekerasan atau percobaan penggunaan teror sebagai senjata keagamaan dilakukan oleh kelompok-kelompok Kekristenan mula-mula. Ketika sebuah sekte atau iman Kristen tertentu mendapatkan dukungan suatu negara, maka kekerasan religius meningkat. Kekerasan ini berbentuk persekusi terhadap penganut sekte kepercayaan Kristen lain atau penganut agama lain.[22] Di Eropa, pada Abad Pertengahan, antisemitisme pada orang Kristen meningkat, selain itu adanya gerakan Reformasi Protestan dan Kontra Reformasi menyebabkan meningkatnya kekerasan antar denominasi.[23] Pada kasus-kasus modern, masih diperdebatkan apakah tindakan-tindakan serupa termasuk pada perilaku religius atau bersumber pada hal etnis atau politis. Persekongkolan Serbuk MesiuPada masa modern awal di Inggris terjadi beberapa konflik religius yang disebabkan oleh gerakan Reformasi Protestan serta adanya cap recusant yang diberikan pad orang yang menolak gerakan tersebut.[24] Persekongkolan Serbuk Mesiu yang terjadi pada tahun 1605 adalah suatu percobaan pembunuhan terhadap Raja James I (yang merupakan penganut Kristen Protestan) melalui peledakan Istana Westminster yang pada saat itu adalah lokasi pusat pemerintahan Inggris. Persekongkolan yang gagal ini dilaksanakan oleh sekelompok penganut agama Katolik di Inggris. Meskipun konsep terorisme religius modern - atau bahkan terorisme pada umumnya - belum muncul pada abad ke-17, David C. Rapoport dan Lindsay Clutterbuck menyatakan bahwa persekongkolan tersebut, yang memakai bahan peledak, adalah pendahulu terorisme anarkis abad ke-19.[25] Sue Mahan dan Pamala L. Griset menggolongkan persekongkolan tersebut sebagai suatu tindakan terorisme religius, mereka menulis "Fawkes dan rekan-rekannya membenarkan tindakan mereka dengan alasan keagamaan." Peter Steinfels juga mencirikan persekongkolan ini sebagai salah satu kasus terorisme religius yang terkenal. PogromGerakan-gerakan yang dipengaruhi kepercayaan Kristen Ortodoks, seperti Iron Guard dan Lăncieri, digolongkan oleh Yad Vashem dan Stanley G. Payne sebagai berhaluan anti-semitik dan fasis, Gerakan-gerakan tersebut terlibat dalam pogrom Bucharest dan melakukan banyak pembunuhan dengan motivasi politis pada tahun 1930-an.[26][27][28][29] Ku Klux KlanSetelah Perang Saudara Amerika Serikat tahun 1861-1865, para mantan tentara Konfederasi mendirikan organisasi Ku Klux Klan yang pada mulanya adalah sebuah perkumpulan sosial, namun pada tahun berikutnya diambil alih oleh elemen "night rider". Organisasi tersebut kemudian mulai melakukan pembakaran, pemukulan, pengerusakan properti, penganiayaan, pembunuhan, pemerkosaan, penyiksaan ter dan bulu, pencambukan, serta intimidasi pemilih. Mereka menyasar para mantan budak yang baru saja dibebaskan, para carpetbagger (warga Amerika Serikat bagian utara yang menjadi pendatang baru ke wilayah selatan), para scalawags (warga setempat Amerika Serikat bagian selatan yang mendukung partai Republikan), serta para tentara pendudukan pihak Union. Bentuk Klan seperti itu sempat hilang pada tahun 1870-an. Pada tahun 1915 dengan identitas pimpinan Protestan,[2] bentuk tersebut muncul lagi di Georgia. Klan pada masa itu bercirikan pandangan xenofobia dan anti-katolik. Versi Klan ini memperluas jangkauannya dan sasarannya jauh melampaui versi mula-mula Klan tersebut. Karena berhaluan anti-Katolik yang keras, organisasi Klan pada tahun 1915 mengadopsi ideologi teroris Kristen Protestan yang tegas. Mereka menganggap kepercayaan mereka "berdasar keagamaan" Kristen Protestan dan menyasar Yahudi, Katolik, dan minoritas sosial atau etnis lain,[30] serta orang-orang yang melakukan tindakan "asusila" seperti perselingkuhan, pengutang yang gagal, penjudi, dan pecandu alkohol. Sejak awalnya, salah satu tujuan KKK adalah "menerapkan kembali nilai-nilai Kristen Protestan di Amerika melalui semua cara yang ada", organisasi tersebut percaya bahwa "Yesus adalah anggota Klan pertama".[31] Meskipun para anggota KKK bersumpah untuk menjunjung tinggi moralitas Kristen, semua denominasi Kristen mengutuk KKK secara resmi. Sejak tahun 1915, para anggota Klan "era kedua" melakukan pembakaran salib (yang diambil dari adegan dalam film The Birth of a Nation tahun 1915[2]), dengan tujuan mengintimidasi sasaran, serta menunjukkan penghormatan dan pemujaan bagi Yesus Kristus.[2] Sebelumnya, ritual membakar salib telah merasuk ke dalam simbolisme Kristen, seperti doa dan nyanyian himne.[2] Organisasi Klan Modern tetap erat hubungannya dengan tindakan terorisme domestik di Amerika Serikat.[32] Permulaan terorisme modernMark Juergensmeyer, seorang mantan presiden American Academy of Religion, berpendapat bahwa ada peningkatan nasionalisme religius secara global setelah Perang Dingin yang disebabkan oleh runtuhnya kepercayaan terhadap model-model nasionalisme barat serta bangkitnya globalisasi.[33][34] Juergensmeyer menggolongkan teroris Kristen kontemporer sebagai bagian dari "para aktivis religius dari Aljazair sampai Idaho, yang membenci pemerintahan-pemerintahan sekuler dengan hasrat yang nyaris transenden serta memimpikan terjadinya perubahan revolusiuner yang dapat menetapkan tatanan sosial ilahi di atas reruntuhan kebudayaan yang dipandang oleh kebanyakan warga masyarakat sekuler sebagai demokrasi modern yang egaliter". Menurut pakar terorisme [./https://en.wikipedia.org/wiki/David_C._Rapoport David C. Rapoport], sebuah "gelombang religius", atau sebuah siklus terorisme, dimulai sejak sekitar tahun 1979 sampai dengan saat ini. Menurut Rapoport, dalam gelombang ini yang tampak menonjol adalah terorisme Islam, akan tetapi dalam gelombang tersebut juga terdapat terorisme oleh penganut Kristen dan berbagai kelompok religius lainnya yang mungkin terinspirasi terorisme Islam.[35] Alasan mengklaim motivasi KristianiBanyak individu serta kelompok yang mengutip Kekristenan atau kepercayaan Kristen mereka sebagai motivasi dalam tindakan teroris mereka.[2][36] Hal ini berarti mereka melihat Kekristenan sebagai identitas mereka, serta membandingkan mereka dengan kelompok lain yang mereka lihat sebagai ancaman dan non-Kristen. Para teroris dapat mengutip interpretasi Alkitab mereka atau kepercayaan Kristiani mereka sebagai dasar motivasi.[2] Semua tipe terorisme memiliki keterkaitan yang rumit dengan permasalahan psikologi dan kesehatan mental, namun hanya sedikit pelakunya terdiagnosa dengan penyakit medis.[37] Kekristenan bisa juga diklaim sebagai motif palsu untuk mendapatkan keuntungan atau perlindungan politis. Kesemua motivasi ini tidak independen dan acap kali saling terkait dengan rumit.[36] Kekristenan sebagai suatu identitasAgama sering kali dikaitkan dengan identitas etnis, kedudukan ekonomi, serta citra diri.[38] Apabila suatu kelompok penganut Kristen merasa terancam, agama adalah suatu label yang dapat diverifikasi serta penting secara budaya untuk membentuk suatu mentalitas "mereka dan kita". Contoh kasus khusus di mana kedua kelompok yang berseteru berasal dari kelompok budaya yang relatif sama adalah terpecahnya negara Yugoslavia dan milisi Lords Resistance Army di Uganda.[11][39] Pada kasus di mana kedua kelompok yang berserteru adalah lebih majemuk, maka warna kulit atau kebudayaan terkadang dipakai untuk mengidentifikasi masing-masing pihak.[40][41] Dalam kasus berikut ini, para teroris bisa saja mengidentifikasi diri sebagai seorang Kristen, akan tetapi tidak termotivasi oleh interpretasi kepercayaan kristiani apa pun. Contohnya adalah Anders Behring Breivik, yang melihat dirinya sebagai seseorang yang "berbudaya Kristen", ia mengklaim bahwa ia tidak memiliki kepercayaan religius yang kuat, namun ia mengatakan motivasi serangannya adalah untuk menyelamatkan Eropa yang Kristen.[42] Dengan cara ini, kekristenan dipakai sebagai alat pembenaran atas kekerasan yang terjadi dan memungkinkan mereka mengklaim solidaritas pada kelompok sosial yang lebih luas.[43] Dalam kasus sedemikian Kekristenan dipakai sebagai label dan tindakan terorismenya tidak selalu memiliki keterkaitan dengan ayat-ayat, kepercayaan, atau peribadatan Kristiani. Identitas kultural Kristen ini sering kali diperkuat dalam penggambaran para teroris oleh media dan sumber pemerintah yang bertujuan untuk menjelekkan kelompok lain atau memperbesar persepsi ancaman terhadap kelompok tersebut. Politisasi ketegangan etnis dan religius adalah kontributor utama terjadinya kekerasan di Republik Afrika Tengah.[44] Ketika kelompok seteru adalah juga Kristen akan tetapi dari denominasi yang berbeda, sering kali kelompok tersebut difitnah sebagai non Kristen atau anti-kristen. Contohnya adalah tindakan pimpinan Orange Volunteers, yang menggambarkan kelompoknya sebagai fundamentalis Protestan, lalu membela serangan-serangan mereka terhadap gereja-gereja Katolik dengan alasan bahwa mereka (gereja Katolik) adalah "benteng Antikristus".[45] Interpretasi moralitas atau teologi KristenPelaku terorisme mengutip bentuk kekristenan yang sering kali sangat eksklusif bagi diri mereka sendiri sebagai pembenaran dan motivasi dalam melaksanakan tindakannya.[46] Serupa dengan serangan terhadap klinik aborsi atau komunitas LGBT, para pelaku memakai pemahaman yang bernuansa negatif [47][48] dari sebuah gereja mapan sebagai pembenaran atas perilaku kekerasan yang dilakukan tanpa persetujuan.[49] Dalam interpretasi konvensional dari Alkitab terdapat beberapa sanksi yang melawan penggunaan perilaku kekerasan sebagai senjata politik atau keagamaan. Kesehatan mentalDari berbagai macam kondisi dan penyakit kesehatan mental yang ada, sangat sedikit sekali darinya yang mengakibatkan tindakan kekerasan.[50][51] Menentukan keadaan kesehatan mental seorang teroris secara objektif kerap kali menjadi rumit karena beberapa faktor.[52][53] Terdapat sedikit sekali informasi yang kuat secara statistik secara khusus tentang teroris yang mengklaim memiliki motivasi Kristiani. Namun, satu penelitian terhadap 116 orang pelaku terorisme serigala penyendiri[37] mengklaim bahwa orientasi ideologi sampel yang diteliti adalah 30% dari pelaku terorisme sayap kanan, 52% dari pelaku terorisme politik single issue, 25% dari pelaku individual terkait al Qaeda, serta 8% dari pelaku terorisme berkelompok memiliki penyakit kesehatan mental. Penelitian tersebut juga menemukan bahwa sekitar 53% pelaku terorisme perorangan cenderung memiliki ciri-ciri sebagai orang yang terisolasi secara sosial sebelum melakukan serangan mereka.[37] Orang di dalam beberapa kelompok teroris dapat digolongkan berkemungkinan lebih kecil mengidap penyakit mental dibandingkan orang pada umumnya, hal ini disebabkan kriteria bergabung dalam kelompok tersebut.[52] Kesehatan mental tampaknya tidak berpengaruh dalam mencegah para teroris melakukan serangan yang rumit. Taktik para terorisTeroris yang mengklaim memiliki motivasi Kristiani dapat bertindak sendiri ataupun dalam kelompok. Sering kali sukar untuk menentukan bahwa seorang pelaku bertindak benar-benar sendirian atau terinspirasi oleh suatu kelompok keagamaan atau kelompok politik. Permasalahan sama terdapat pada "Terorisme Islam" atau terorisme mana pun yang dianggap bermotivasi keagamaan atau politik.[54] Kekerasan antiaborsiPada tanggal 16 Juli 2001, Peter James Knight memasuki East Melbourne Fertility Clinic, sebuah penyedia jasa aborsi swasta, membawa sepucuk senapan dan sejumlah senjata lain[55] termasuk 16 liter minyak tanah, tiga korek api, beberapa obor, 30 sumpal mulut, dan sebuah catatan dengan tulisan tangannya yang bertuliskan "Kami menyesal untuk menginformasikan bahwa karena insiden penembakan beberapa staf kami, maka kami terpaksa membatalkan semua janji temu hari ini". Knight kemudian menyatakan bahwa ia mulanya merencanakan untuk membunuh semua orang di dalam klinik tersebut, dan menyerang semua klinik aborsi di Melbourne. Ia membuat sendiri sumpal mulut dan penahan pintu yang dipakainya untuk menahan semua pasien dan staf di dalam klinik agar ia bisa menyiram mereka dengan minyak tanah. Menurut Don Sendipathy, seorang psikiater, Knight menginterpretasikan Alkitab dengan caranya sendiri dan mempercayai pemahaman Kekristenannya sendiri. Ia yakin atas kebenaran perang suci gerakan antiaborsi.[56] Eric Robert Rudolph melaksanakan pengeboman Gedung Centennial Olympic Park pada tahun 1996, serta beberapa serangan setelahnya pada sebuah klinik aborsi dan sebuah klab malam lesbian. Michael Barkun, seorang profesor pada Syracuse University, menganggap Rudolph cocok pada sebutan seorang teroris Kristen. James A. Aho, seorang profesor pada Idaho State University, berargumentasi bahwa pertimbangan keagamaan hanya sebagian saja menginspirasi tindakan Rudolph.[57] Dr. George Tiller, seorang dari segelintir dokter di Amerika Serikat yang melakukan aborsi pada masa akhir kehamilan, kerap kali menjadi sasaran kekerasan antiaborsi, ia dibunuh oleh Scott Roeder pada tahun 2009, ia ditembak di depan pintu masuk gerejanya. Seorang saksi yang melayani sebagai penerima tamu bersama dengan Dr. Tiller di gereja tersebut di hari kejadian bersaksi di persidangan dan mengatakan bahwa Roeder mendatangi pintu masuk, menodongkan pistol ke kepala Dr. Tiller dan kemudian menarik pelatuknya. Pada persidangan tersebut, Roeder mengaku membunuh Dr. Tiller dan mengatakan bahwa ia melakukannya untuk melindungi para bayi yang belum dilahirkan. Ia didakwa atas pembunuhan (first-degree murder) dan dihukum penjara seumur hidup. Saat menerima vonis ini, ia berkata pada hadirin persidangan bahwa penghakiman Tuhan akan datang "meliputi negeri ini seperti angin di padang rumput". Dr. Tiller sebelumnya sudah pernah ditembak satu kali pada tahun 1993 oleh Shelley Shannon, seorang aktivis antiaborsi yang menyamakan para penyedia jasa aborsi dengan Hitler dan mengatakan bahwa ia yakin suatu "tindakan paksa yang benar" diperlukan untuk menghentikan aborsi. Shannon dipenjara selama 10 tahun atas penembakan terhadap Dr. Tiller dan kemudian mengakui bahwa ia melakukan vandalisme dan pembakaran terhadap sejumlah klinik aborsi di California, Nevada dan Oregon James Kopp didakwa membunuh Dr. Barnett Slepian, seorang dokter obstetri yang menyediakan jasa aborsi di daerah Buffalo. Ia juga menjadi tersangka atas beberapa penembakan terhadap sejumlah penyedia jasa aborsi di Kanada. Kopp bersembuni di pepohonan di belakang rumah Slepian pada bulan Oktober 1998 lalu menembaknya dari luar jendela rumah memakai senapan berkekuatan tinggi. Slepian terbunuh saat ia berdiri di dapur bersama keluarganya. Slepian baru saja pulang dari kebaktian penghiburan kematian ayahnya saat ia terbunuh. Kopp melarikan diri selama beberapa tahun ke Mexico, Irlandia dan Perancis sebelum akhirnya tertangkap dan diekstradisi ke Amerika Serikat. Ia didakwa atas pembunuhan (second-degree murder oleh negara bagian pada tahun 2003 dan menerima hukuman 25 tahun penjara. Pada tahun 2007 ia didakwa oleh pengadilan federal atas tuntutan yang berbeda dan menerima hukuman penjara seumur hidup. Otoritas di Kanada juga mencurigai Kopp sebagai pelaku beberapa serangan pada sejumlah penyedia jasa aborsi di negara tersebut yang kesemuanya ditembak dari luar jendela rumahnya. Ia didakwa pada tahun 1995 atas percobaan pembunuhan Dr. Hugh Short, seorang penyedia jasa aborsi di Ontario, namum tuntutan tersebut ditarik kembali karena ia telah divonis oleh pengadilan di New York. Polisi di Kanada menyatakan ia tersangka atas penembakan Dr. Jack Fainman di Winnipeg pada tahun 1997 dan penembakan Dr. Garson Romalis di Vancouver pada tahun 1994, yang adalah penyerangan pada penyedia aborsi pertama di Kanada. Penembakan Planned Parenthood Colorado Springs tahun 2015, di mana tiga orang tewas dan sembilan orang lainnya terluka, digambarkan sebagai "suatu bentuk terorisme" oleh Gubernur Colorado, John Hickenlooper. Pelaku penembakan tersebut, Robert Lewis Dear, disebut sebagai seseorang dengan gangguan delusi[58] dan pernah menulis di sebuah forum internet bahwa para "pendosa" akan "terbakar di neraka" pada akhir zaman, serta menulis tentang pemakaian marijuana dan mengajak wanita berhubungan seksual.[59][60] Kekerasan antiminoritasAnders Behring Breivik didakwa atas serangan Norwegia tahun 2011, di mana ia membunuh delapan orang melalui peledakan bom mobil di tengah Regjeringskvartalet di Oslo lalu menembak 69 peserta sebuah perkemahan musim panas organisasi kepemudaan dan kepolitikan Woker's Youth League (AUF) di pulau Utøya, menyebabkan 77 orang tewas. Pada hari penyerangan tersebut, Breivik menyebarkan secara elektronik sebuah ikhtisar tulisan berjudul "2083: A European Declaration of Independence", yang menggambarkan ideologi militannya.[61] Dalam ikhtisar tersebut, ia memaparkan sebuah pandangan dunia yang berisi penentangan terhadap Islam dan menyalahkan feminisme sebagai penyebab "bunuh diri kebudayaan" Eropa.[62][63] Tulisan-tulisan yang dirangkum dalam ikhtisarnya menyerukan bahwa Islam dan "orang yang berbudaya Marxisme" adalah musuh dan mendukung pengusiran semua orang Muslim dari Eropa dengan mencontoh Dekret-dekret Beneš, serta menuduh bahwa feminisme dan Islam ada untuk menghancurkan kebudayaan Kristen Eropa.[64][65] Breivik menulis bahwa motivasi utamanya dalam melakukan kekerasan tersebut adalah untuk memasarkan manifestonya.[66] Breivik bersikeras bahwa ia melaksanakan sebuah perang suci Kristen melawan multikulturalisme dan percaya bahwa serangan yang ia lakukan adalah "diperlukan".[67] Manifestonya juga menyatakan bahwa penulisnya adalah "100 persen Kristen',[68] namun ia tidak "terlalu religius".[68] Bagaimanapun juga, ia mengatakan bahwa ia berencana untuk berdoa terlebih dahulu untuk meminta bantuan Tuhan sebelum melaksanakan serangannya.[69] Sebelum melancarkan serangannya, ia mengatakan bahwa ia berniat untuk mengikuti "Misa martir" terakhirnya di Gereja Frogner.[70] Pada tahun 2015, Breivik mengaku menjadi pengikut Odin, akan tetapi Breivik dan beberapa pelaku lainnya telah mengatakan kepercayaan religiusnya sebagai Kristen pada saat mereka melakukan penyerangan.[71] Deputi kepala kepolisian Roger Andresen mulanya mengatakan pada para reporter bahwa informasi dalam situs web Breivik menggambarkannya sebagai "boleh dikatakan, orang Kristen fundamentalis".[72][73][74] Namun, beberapa pihak lain juga telah menentang penggambaran Andresen atas Breivik sebagai seorang fundamentalis Kristen.[75] Gary Matson dan Winfield Mowder adalah pasangan gay dari Redding, California, yang tewas terbunuh oleh Benjamin Matthew Williams dan James Tyler Williams pada tahun 1999. Tetangga para pelaku mengatakan bahwa keluarga mereka dikenal sebagai penganut Kristen fundamentalis, dan suara rekaman khotbah dan musik religius sering didengar dari rumah mereka.[76] Kedua pelaku diyakini memiliiki keterkaitan dengan gerakan Christian Identity. Mereka juga diduga terlibat dalam 18 kasus pembakaran di tiga sinagoga.[77] Pada tahun 1996 tiga pria - Charles Barbee, Robert Berry, dan Jay Merelle - didakwa atas dua kali perampokan bank dan pengeboman di bank-bank tersebut, satu koran di Spokane, dan satu kantor Planned Parenthood di Washington State. Para pria tersebut adalah teroris Christian Identity yang berhaluan antisemit yang mempercayai Tuhan menghendaki mereka melaksanakan serangan kekerasan, mereka juga mempercayai bahwa serangan-serangan tersebut akan mempercepat kebangkitan ras Arya.[78] Pada tahun 2015, Robert Doggart, seorang ahli teknik mesin, didakwa menghasut orang untuk melakukan pelanggaran hak-hak sipil dengan berencana merusak atau menghancurkan bangunan religius setelah ia mengkomunikasikan bahwa ia bermaksud menimbun persenjataan untuk menyerang Islamberg, sebuah pemukiman dan komunitas religius Islam di Delaware County, New York.[79] Doggart, yang adalah anggota sejumlah kelompok milisi swasta, mengkomunikasikan pada seorang sumber FBI dalam sebuah percakapan telepon bahwa ia memiliki sepucuk senapan Karabin M4 serta "amunisi 500 peluru" yang dimaksudkannya untuk dibawa ke sebuah pemukiman di Delaware County, beserta sebuah pistol, bom molotov dan sebilah golok. Smuber FBI tersebut merekamnya mengatakan "apabila sampai harus menggunakan golok, kita akan mencabik-cabik mereka".[80] Doggart sebelumnya telah bepergian ke sebuah lokasi di Dover, Tennessee, yang disebutkannya sebagai sebuah "lokasi pelatihan mujahid" dalam serangkaian surat eleltronik, dan ditemukan bahwa tuduhan itu salah. Pada bulan April, Doggart menerima kesepakatan keringanan pengadilan dan menyatakan bahwa ia telah "dengan sadar dan sukarela mengirimkan sebuah pesan melewati batas antar negara bagian berisi ancaman nyata" untuk melukai orang lain. Kesepakatan keringanan tersebut ditolak oleh seorang hakim karena tidak tidak disertai cukup fakta untuk dianggap sebuah ancaman.[81] Tidak ada satu pun tuntutan yang ditujukan padanya yang terkait dengan terorisme, namun, beberapa kelompok melihat tindakannya adalah suatu bentuk terorisme.[81][82][83][84] Menurut Douglas Pratt, seorang Professor di University of Auckland, yang merupakan seorang pakar internasional di bidang terorisme religius, penembakan masjid Christchurch yang menewaskan 51 orang dan melukai 50 orang lain (yang kebanyakan muslim) di Masjid Al Noor dan Linwood Islamic Centre, New Zealand adalah sebuah bentuk "terorisme Kristen" dan supremasi kulit putih.[85][86] Manifesto pelaku penembakan, Brenton Harrison Tarrant, yang kelahiran Australia, yang berjudul The Great Replacement, dinamainya demikian agar sama dengan nama sebuah teori garis kanan ekstrim dari Perancis.[87] Dalam manifesto tersebut ia menuliskan tentang kematian seorang gadis berusia 11 tahun bernama Ebba Akerlund, keterlibatan NATO dalam konflik Kosovo. Pada senapannya bertaburan simbol-simbol supremasi kulit putih yang menyitir nama-nama tokoh sejarah dan peperangan antara Muslim dan Kristen seperti Karl Martell dan Pertempuran Wina pada tahun 1683.[88] Tersangka pelaku penembakan sinagoga Poway, John T. Earnest mengutip Alkitab untuk membenarkan serangannya dan pembakaran atas masjid yang dilaksanakannya di Escondido, California pada awal bulan Maret 2019.[89] Lihat juga
Referensi
|