Share to:

 

Tjhit Liap Seng

Tjhit Liap Seng
Sampul
PengarangLie Kim Hok
NegaraHindia Belanda
BahasaMelayu
PenerbitLie Kim Hok
Tanggal terbit
1886
Halaman500

Tjhit Liap Seng (EYD: Chit Liap Seng, bahasa Hokkien yang berarti Tujuh Bintang; 七粒星) adalah novel karya Lie Kim Hok tahun 1886. Novel ini dianggap sebagai novel Tionghoa Melayu pertama.

Alur

Di Kanton, tujuh pelajar yang menyebut dirinya tujuh bintang menemukan seorang bayi perempuan ketika sedang kopi darat. Mereka memberinya nama Tjhit Seng Nio dan setuju membesarkannya bersama-sama. Delapan tahun kemudian, setelah mereka lulus, Seng Nio masuk sekolah perempuan. Ayah adopsinya sudah bekerja semua, tetapi masih terus berhubungan. Setelah Seng Nio menginjak usia 14 tahun, orang tua asuhnya membicarakan apakah ia akan dijodohkan atau dibiarkan memilih sendiri suaminya.

Sementara itu, salah satu orang tua asuh Seng Nio, Tjin Hoe, terlibat dalam Pemberontakan Taiping setelah ia salah mengira bahwa dirinya bangkrut. Meski Tjin Hoe meminta teman ayahnya Ong Thaj (nama aslinya Thio Giok) untuk membunuhnya, Ong Thaj tidak sanggup melakukannya dan meminta pemimpin pemberontak Lauw Seng untuk melakukannya. Setelah Tjin Hoe sadar bahwa ia sebenarnya tidak bangkrut, ia berupaya mencegah kematiannya dengan melacak Lauw Seng sampai Tembok Besar Tiongkok. Pemimpin pemberontak menangkap Tjin Hoe dan mengatakan bahwa karena Tjin Hoe benar-benar niat datang, ia harus mati. Lauw Seng pun mengunci Tjin Hoe di peti mati dan mengirimkannya ke Shanghai dengan kapal. Di sana Ong Thaj sadar bahwa tantangan tersebut bertujuan membuat Tjin Hoe lebih menghargai nyawanya.

Setelah menyelesaikan studinya, Seng Nio dikirim ke tempat lain untuk menjadi guru pribadi. Muridnya, Bwee Phek, jatuh cinta dengannya, namun karena keluarga Seng Nio tidak jelas – sehingga tidak jelas pula apakah ia dan Bwee Phek memiliki marga yang sama – orang tua asuh Seng Nio mengirimkannya ke sekolah lain agar kisah asmara ini tidak berkelanjutan. Di rumah Sie Boen Tong, Seng Nio diperlakukan secara tidak pantas dan akhirnya diusir oleh istri Boen Tong yang cemburu. Ia berlindung di rumah Entjim Tjoene yang membantunya dalam perjalanan. Seng Nio pun sadar bahwa rumah itu adalah tempat pelacuran. Atas bantuan salah satu orang tua asuhnya, Na Giam, ia berhasil kabur dan menghindari hasrat tinggi Lauw Khok si tukang rayu.

Di kota lain, Seng Nio tinggal di rumah Goat Nio, wanita miskin yang suaminya ditangkap oleh pemberontak Taiping. Seng Nio membantu seorang pria tua, Thio Tian, yang terpesona melihat kemiripan Seng Nio dengan istrinya yang sudah meninggal. Saat Seng Nio sakit, ia sepakat membawanya dan Goat Nio untuk tinggal di rumahnya. Setelah lama mencari, Thio Tian mengetahui bahwa Seng Nio adalah cucunya yang lahir dari pasangan Goat Nio dan Thio Giok. Akhirnya identitas Seng Nio terungkap dan Thio Tan pun menyetujui pernikahannya dengan Bwee Phek. Meski Lauw Khok tidak terima, para orang tua asuh Seng Nio mengusirnya supaya ia tidak bisa mengganggu Seng Nio lagi. Lauw Khok meninggal dunia tidak lama kemudian.

Penulisan

Tjhit Liap Seng ditulis oleh Lie Kim Hok (1853–1912), penulis Tionghoa kelahiran Buitenzorg. Karena disekolahkan oleh misionaris, Lie sangat menguasai sastra Eropa, termasuk karya para penulis Belanda seperti Anna Louisa Geertruida Bosboom-Toussaint dan Jacob van Lennep,[1] dan penulis Prancis seperti Jules Verne, Alexandre Dumas, dan Pierre Alexis Ponson du Terrail.[2] Lie sebelumnya menulis syair empat volume berjudul Sair Tjerita Siti Akbari pada tahun 1886. Buku yang berkisah tentang prajurit penyamar kelamin yang menaklukkan Kesultanan Hindustan demi menyelamatkan suaminya ini menjadi salah satu karya terbaik Lie.[3] Pakar sastra Tionghoa Melayu Claudine Salmon menganggap Tjhit Liap Seng sebagai novel Tionghoa Melayu pertama.[4]

Dalam biografi Lie tahun 1958, Tio Ie Soei mengungkapkan bahwa novel ini adalah gabungan dua karya sastra Eropa: Klaasje Zevenster (1865) karya Jacob van Lennep dan Les Tribulations d'un Chinois en Chine (1879) karya Jules Verne.[5] Ini bukan satu-satunya karya Lie yang diadaptasi tanpa menyebutkan sumbernya. Sair Tjerita Siti Akbari ternyata diadaptasi dari Syair Abdul Muluk yang terbit 25 tahun sebelumnya.[6] Lie bukan satu-satunya penulis Tionghoa kontemporer yang mengadaptasi cerita-cerita Eropa untuk pembaca di Hindia Belanda. Thio Tjin Boen juga terinspirasi oleh La Dame aux camélias karya Alexandre Dumas, fils, saat menulis Sie Tjaij Kim, sedangkan Chen Wen Zwan terinspirasi oleh Kreitzerova Sonata karya Leo Tolstoy saat menulis Setan dan Amor.[7]

Claudine Salmon, dalam artikel "Aux origines du roman malais moderne: Tjhit Liap Seng ou les «Pléiades» de Lie Kim Hok (1886–87)", membanding-bandingkan Tjhit Liap Seng dengan karya van Lennep dan Verne. Ia menemukan beberapa perbedaan, termasuk nama tokoh (misalnya Tjhin Hoe menjadi Kin Fo) dan kombinasi kedua cerita. Perbedaan yang paling mencolok adalah kesimpulan novelnya. Di Klaasje Zevenster, Nicolette (Seng Nio di Tjhit Liap Seng) tidak mendapatkan status awalnya maupun kehidupan yang bahagia. Ia justru meninggal setelah menikah dan masih membawa aib. Adaptasi dari Les Tribulations d'un Chinois en Chine umumnya mirip dengan karya aslinya, sedangkan adaptasi dari Klaasje Zevenster cenderung diringkas.[8]

Gaya

Tidak seperti karya-karya Hindia kontemporer yang berlatar di Tiongkok dan merupakan terjemahan sastra Tiongkok, bab-bab Tjhit Liap Seng tidak diawali dengan dua kalimat paralel yang meringkas isi babnya.[9] Bagian akhir novelnya menunjukkan bahwa novel ini dipengaruhi cerita-cerita detektif.[10]

Publikasi

Tjhit Liap Seng diterbitkan antara 1886 dan 1887 dalam delapan volume dengan total 500 halaman untuk versi bahasa Inggrisnya.[11]

Di kata pengantar cetakan kedua novel Boenga Roos dari Tjikembang (1927), penulis Kwee Tek Hoay menyebut Tjhit Liap Seng sebagai contoh karya sastra Tionghoa Melayu berkualitas tinggi dan komersial pada waktu itu.[12]

Referensi

  1. ^ Koster 1998, hlm. 102.
  2. ^ Salmon 1994, hlm. 127.
  3. ^ Tio 1958, hlm. 46–47; Koster 1998, hlm. 98–99.
  4. ^ Salmon 1994, hlm. 126.
  5. ^ Tio 1958, hlm. 72–73.
  6. ^ Zaini-Lajoubert 1994, hlm. 103.
  7. ^ Nio 1962, hlm. 43.
  8. ^ Salmon 1994, hlm. 130–33.
  9. ^ Nio 1962, hlm. 40.
  10. ^ Salmon 1994, hlm. 131.
  11. ^ Tio 1958, hlm. 84–86.
  12. ^ Kwee 1930, hlm. II.

Sumber

Kembali kehalaman sebelumnya