Share to:

 

Topeng monyet

Topeng monyet

Topeng monyet adalah kesenian tradisional yang dikenal di berbagai daerah di Indonesia. Pertunjukan topeng monyet juga dapat dijumpai di India, Pakistan, Thailand, Vietnam, Tiongkok, Kamboja, Jepang, dan Korea.[1] Jenis kesenian ini melibatkan seorang pawang yang melatih monyetnya untuk melakukan berbagai aktivitas yang meniru tingkah laku manusia, misalnya mengenakan pakaian, berdandan dan pergi belanja. Monyet yang digunakan di Indonesia biasanya adalah spesies Macaca Fascicularis atau biasa disebut juga crab eating monkey atau long tailed monkey.

Topeng monyet

Monyet yang melakukan atraksi-atraksi ini diiringi dengan musik yang dimainkan olah satu atau beberapa orang. Alat musik yang dimainkan biasanya berupa gendang kecil yang dimainkan dengan satu tangan sedangkan tangan yang lain memegang tali pengikat monyet. Pertunjukan ini dimainkan secara berkeliling dari satu tempat ke tempat lain di daerah kawasan permukiman. Penontonnya kebanyakan anak-anak. Karena itu, kedatangan rombongan topeng monyet selalu disambut gembira oleh anak-anak. Kegembiraan anak-anak ini menjadi rezeki bagi rombongan topeng monyet. Uang saweran dari warga merupakan sumber nafkah mereka menghidupi keluarga.[2]

Sejarah

Foto koleksi Tropenmuseum Amsterdam, Belanda tentang topeng monyet

Topeng monyet adalah kesenian tradisional yang sejak dahulu sangat dikenal di Indonesia, terutama di daerah Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat. Dalam kebudayaan orang jawa biasa menyebut dengan Ledhek Kthek dan Tandhak bedhes yang berarti tontonan monyet, dalam bahasa Indonesia disebut dengan topeng monyet.[3]

Menurut Matthew Isaac Cohen, seorang professor budaya teater Indonesia dari Royal Holoway University of London, pertunjukan yang menampilkan monyet dan anjing direproduksi di Indonesia. Miniatur sirkus ini merupakan salah satu hiburan mengamen paling umum di pasar, jalan-jalan pedesaan, dan perkotaan di seluruh barat Indonesia. Pertunjukan akrobatik ini menjadi umum pada awal 1890-an. Cohen juga menjelaskan bahwa atraksi monyet dan anjing terkait dengan perkembangan seni pertunjukan komersial di Hindia Belanda pada akhir abad ke-19. Selain pertunjukan komersial berskala besar seperti sirkus, kelompok akrobatik Jepang, operet, dan burlesque (pertunjukan drama atau musik yang bertujuan membuat tertawa), ada juga hiburan berskala kecil: panggung pesulap Eropa, India dan Cina; balloonists (orang yang mengoperasikan wahana balon terbang), pertunjukan anjing dan monyet, serta seniman boneka.[4]

Pertunjukan topeng monyet terutama dinikmati oleh anak-anak, baik pribumi maupun Belanda dan Eropa. Hal ini bisa dilihat dari foto koleksi Tropenmuseum Amsterdam, Belanda. Foto yang bertarikh 1900-1920 ini memperlihatkan seorang dalang Arab dengan dua monyetnya yang dirantai. Foto diambil oleh Charles Breijer anggota de Ondergedoken Camera atau persatuan juru foto Amsterdam yang bekerja sebagai juru kamera di Indonesia dari 1947 sampai 1953. Beliaukerap membuat foto kehidupan sehari-hari.

Ancaman Bahaya

Pertunjukan topeng monyet dapat menimbulkan bahaya akibat kontak fisik antara kera dengan penonton–misalnya monyet menggigit atau mencakar penonton. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Lisa Jones Engel dan kawan-kawan dari Pusat Penelitian Primata, University of Washington, Amerika Serikat yang memeriksa darah dari 20 kera topeng monyet di Jakarta. Mereka menemukan bahwa sekitar setengah dari kera-kera yang diperiksa tersebut positif terkena simian foamy virus (SFV), retrovirus pada primata yang ditengarai tidak menularkan penyakit pada manusia. Dua dari kera-kera yang diperiksa positif simian retrovirus (SRV), yang dapat menular ke manusia. Baik SRV maupun SFV adalah retrovirus, yang secara tipikal bergerak perlahan dalam tubuh inangnya, sehingga memerlukan waktu tahunan sebelum dokter mengetahui dampak virus tersebut.[1]

Seekor kera yang diperiksa juga positif terkena virus simian T-cell lymphotropic, yang diyakini sebagai virus HTLV, nenek moyang virus primata yang menular pada manusia, yang kemudian diketahui penyebab leukemia. Seekor monyet positif terkena virus herpes B, diketahui sebagai CHV-1, yang jarang menjangkiti manusia. Tetapi, dari 40 kasus pada manusia, 80% rata-rata berakibat fatal.[1]

Belajar pada banyak penelitian di kawasan Afrika, Engel juga mencurigai kemungkinan monyet penghibur jadi perantara HIV—penyebab AIDS pada manusia. Untuk tindakan preventif, cairan tubuh monyet jangan sampai terkena bagian tubuh yang terluka sewaktu monyet menggigit atau mencakar kulit.[5]

Mariana Kresty Ferdinandez [6] dan team pada tahun 2018 dari Pusat Rehabilitasi Topeng Monyet Yayasan Jakarta Animal Aid Network mempublikasikan hasil pemeriksaan uji Tuberkulin kulit yang dilakukan terhadap sebanyak 87 ekor Macaca fascicularis yang digunakan sebagai monyet topeng monyet. Monyet tersebut disita oleh pemerintah dari 5 wilayah dari propinsi DKI Jakarta dan diserahkan untuk dirawat dan direhabilitasi oleh Yayasan Jakarta Animal Aid Network (JAAN). Hasil menunjukkan bahwa dari 87 ekor tersebut, ditemukan sebanyak 11.31% menunjukkan reaksi positif terhadap mamalian old tuberculine. Reaksi positif terhadap uji tuberkulin kulit ini menunjukkan bahwa individu monyet tersebut memiliki antibodi terhadap bakteri penyakit tuberkulosis. Peluang penularan TBC dari manusia ke monyet dan sebaliknya sangat mungkin terjadi, terlebih lagi bila interaksi antar keduanya sangat intensif, seperti situasi yang terjadi monyet topeng monyet.[6]

Penyiksaan monyet

Monyet yang dirantai di lehernya

Dibalik pertunjukan topeng monyet yang menghibur, ada penyiksaan binatang yang dilakukan sang pawang atau pemilik monyet. Monyet untuk atraksi topeng monyet biasanya berusia muda sekitar delapan atau sembilan bulan. Monyet muda ini dilatih dengan cara disiksa oleh pemilik dalam waktu yang lama.[7]

Agar bisa berjalan tegak, tangan monyet diikat ke belakang, digantung dan dipaksa duduk berjam-jam di jalan. Agar monyet terus berlatih, sering kali pemilik sengaja tidak memberikan makan. Salah seorang pelatih monyet ini mengaku separuh monyet yang dilatihnya mati karena tidak kuat.[8] Monyet yang telah pintar kemudian akan dijual atau disewakan oleh pemilik kepada pelaku topeng monyet.

Karena adanya penyiksaan inilah maka banyak organisasi yang menyerukan penghapusan topeng monyet baik dari dalam maupun luar negeri. Salah satu di antara Jakarta Animal Aid Network (JAAN).

Penghapusan Topeng Monyet

Gubernur Jakarta Joko Widodo (Jokowi) pada bulan Oktober 2013 menargetkan Jakarta bebas topeng monyet pada 2014. Menurutnya, permainan topeng monyet telah menyakiti fisik hewan primata itu. Untuk meniadakan topeng monyet tersebut, Jokowi menyatakan bahwa Pemprov DKI akan membeli monyet-monyet tersebut dan akan memindahkannya ke Taman Margasatwa Ragunan (TMR). Di TMR akan disediakan lahan seluas satu hektare khusus untuk menampung bintang liar. Adapun tukang topeng monyetnya akan diberi pembinaan.[9]

Kebijakan ini medapatkan kritikan dari berbagai pihak yang menyatakan gubernur lebih memperhatikan topeng monyet daripada anak jalanan, melupakan tugasnya menghadapi banjir dan macet dan topeng monyet adalah salah satu seni budaya Indonesia yang harus tetap dilestarikan. Walaupun demikian kebijakan tersebut tetap dijalankan oleh Pemprov DKI dan juga akan diikuti oleh daerah lain di Indonesia.[10]

Satuan Polisi Pamong Praja DKI berhasil merazia 67 ekor monyet yang dipekerjakan untuk topeng monyet. Dari jumlah tersebut, sebanyak 5 ekor monyet terjangkit virus TBC, seekor di antaranya terjangkit virus hepatitis C dan D, serta seluruh monyet yang dirazia terjangkit cacingan. Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo menyatakan bahwa penyakit TBC dan hepatitis monyet itu menular ke manusia, khususnya anak-anak sehingga yang terjangkit kedua virus itu harus dimusnahkan.[11]

Galeri

Referensi

  1. ^ a b c "Pertunjukan topeng monyet berpotensi membawa virus yang dapat berpindah ke manusia". Sri Nuryati, Berita Bumi. 14 Desember 2005. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-09-27. Diakses tanggal 4 September 2007. 
  2. ^ "Rezeki dari Topeng Monyet". Indosiar.com. 2 Mei 2007. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-09-27. Diakses tanggal 4 September 2007. 
  3. ^ Asdhiana, I Made, ed. (18 Agustus 2013). "Perjalanan Sejarah Topeng Monyet di Indonesia". Kompas.com. Kompas.com. Diakses tanggal 22 Oktober 2013. 
  4. ^ "Perjalanan Sejarah Topeng Monyet di Indonesia". Majalah Historia. Diakses tanggal 22 Oktober 2013. 
  5. ^ "Virus Maut di Balik Topeng". Koran Tempo. 18 Desember 2005. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-09-28. Diakses tanggal 4 September 2007. 
  6. ^ a b Ferdinandez, Mariana Kresty; Haas, Femke Den; Benvika; Schure, ML (2018-10-31). "KIVP-6 Case Report: Seroprevalensi Tuberkulosis Menggunakan Uji Tuberkulin Kulit Mammalian Old Tuberculine (MOT) pada Macaca fascicularis Hasil Penyitaan Topeng Monyet". Hemera Zoa (dalam bahasa Inggris). 0 (0). 
  7. ^ "Penyiksaan Topeng Monyet, dari Dipukuli hingga Digantung". detikcom. Detik.com. 25 Oktober 2013. Diakses tanggal 25 Oktober 2013. 
  8. ^ "Misery of Indonesia's monkeys: Chained macaques forced to dress up in doll costumes and ride scooters for tourists". dailymail.co.uk. 16 May 2012. Diakses tanggal 25 Oktober 2013. 
  9. ^ Kota, Warta (22 Oktober 2013). "Jokowi: Tahun 2014, Jakarta Bebas Topeng Monyet". Tribunnews.com. Tribunnews.com. Diakses tanggal 25 Oktober 2013. 
  10. ^ Prasetyo, Budi (24 Oktober 2013). Prasetyo, Budi, ed. "Bandung Juga Bakal Bebas Topeng Monyet". Tribunnews.com. Tribunnews.com. Diakses tanggal 25 Oktober 2013. 
  11. ^ Kuwado, Fabian Januarius (5 November 2013). Wiwoho, Laksono Hari, ed. "Terjangkit Virus, 6 Monyet Hasil Razia Dimusnahkan". Kompas.com. Kompas.com. Diakses tanggal 5 November 2013. 
Kembali kehalaman sebelumnya