VickynisasiVickynisasi atau Vickinisasi adalah sebuah fenomena kebahasaan yang berasal dari gaya berbahasa Vicky Prasetyo, seorang pembawa acara dan pelawak berkebangsaan Indonesia. Istilah ini digunakan untuk menunjuk penggunaan bahasa campuran Indonesia-Inggris dan perpaduan kata-kata yang tidak lazim. Fenomena kebahasaan ini sempat populer pada tahun 2012 dan ramai digunakan dalam dunia hiburan sebagai lelucon.[1][2] Meskipun demikian, fenomena ini dipandang tidak hanya sebatas gejala linguistik, tetapi lebih pada gejala sosial. Orang berbahasa dengan gaya Vickynisasi memiliki tujuan prestise, supaya dipandang pintar oleh masyarakat.[3] Vickynisasi adalah sebuah usaha untuk meniru gaya bahasa yang dimiliki oleh kalangan berstatus sosial dan berpendidikan tinggi/cendekiawan, walaupun pada akhirnya gagal mencapai gaya bahasa tersebut dan malah terdengar aneh dan sulit dimengerti.[4] SejarahFenomena kebahasaan Vickynisasi bermula ketika wawancara Vicky Prasetyo sebagai tunangan Zaskia Gothik mulai disiarkan di saluran-saluran televisi. Cara dan gaya berbahasa Vicky yang tidak lazim membuat masyarakat ramai memperbincangkannya. Setelah video wawancara tersebut viral di internet, kepopuleran fenomena kebahasaan ini bertambah marak. Fenomena kebahasaan Vickynisasi sempat sangat populer pada tahun 2012 dan ditiru sebagai kelakar baik oleh sesama kalangan selebritas ataupun masyarakat awam.[5][6] Pada tahun 2017, sebuah acara gelar wicara di JakTV disiarkan dengan judul Vickynisasi, menampilkan Vicky Prasetyo sebagai pembawa acaranya.[7] Ciri-ciriFenomena kebahasaan Vickynisasi memiliki ciri-ciri yang membedakannya dengan fenomena kebahasaan yang lain, yakni di antaranya:
ContohBeberapa contoh kata-kata yang umumnya dicap sebagai Vickynisasi:[10]
TanggapanGejala Vickynisasi menuai banyak tanggapan negatif.[2] Berbagai pakar bahasa, budayawan dan sastrawan angkat bicara tentang fenomena ini. Budayawan Goenawan Mohamad disebut sebagai yang memberi nama fenomena kebahasaan ini sebagai ”vickinisasi”. Ia memandang fenomena ini sebagai puncak gunung es dari gejala kemalasan berbahasa, baik menelaah maupun menerjemahkan kata asing. Penyair Sitok Srengenge berpendapat bahwa gaya berbahasa tersebut tak jauh berbeda dari gaya bahasa para pejabat yang ingin tampak intelek tetapi sebenarnya amburadul. Memiliki pendapat yang serupa, sutradara Iman Brotoseno menyebut gaya bahasa seperti Vicky sebenarnya sudah lama diterapkan di dunia politik.[6] Fadli Zon menuliskan dalam opininya bahwa gejala vickynisasi ini merupakan peringatan terhadap kondisi bahasa Indonesia yang memprihatinkan.[11] Sementara itu, Sugiyono (Kepala Pusat Pengembangan dan Perlindungan Badan Bahasa Kemendikbud) berpendapat bahwa fenomena Vickynisasi bisa hilang begitu saja dan tidak perlu melarang atau membatasi.[3] Tidak hanya dalam dunia linguistik, Vickynisasi juga mendapat tanggapan dari bidang pencitraan merek atau branding. Pakar pencitraan mengklasifikasikan model pencitraan diri yang ngasal atau sembarangan sebagai pencitraan vickynisasi atau "Vickynisasi branding". Model pencitraan ini adalah fenomena pencitraan yang asal-asalan dan menghalalkan segala cara demi mendapatkan kemasyhuran instan, sehingga model pencitraan ini tidak peduli akan nilai muatan, kualitas pribadi ataupun prestasi.[12] Dari sudut pandang psikologis, penggunaan gaya bahasa ini mengindikasikan pribadi yang pembohong dan manipulatif.[8] Lihat jugaCatatan kaki
|