Vonis Gila pada Hukum InggrisVonis gila dalam Hukum Inggris adalah pembelaan atas tuntutan pidana bagi terdakwa yang dianggap mengalami kealpaan dalam memahami tindak kriminal yang dilakukannya. Pembelaan dapat dinyatakan dalam dua format, yakni (1) ketika terdakwa menyatakan bahwa dirinya gila saat melakukan tindak kriminal dan (2) ketika terdakwa menyatakan bahwa dirinya gila saat persidangan. Format pertama mengharuskan terdakwa untuk menunjukkan bahwa ia menderita penyakit yang merusak fungsi pikiran dan menyebabkan catat akal sehingga ia tak mampu untuk mencerna tindak kejahatannya sebagai sebuah kesalahan. Sedangkan, pada format kedua, terdakwa diharuskan membedakan putusan "bersalah" dan "tidak bersalah", memberi petunjuk kepada pengacara, dan mengenali dakwaan yang dihadapinya. Jika ia terbukti gila, maka ia akan dijerat di bawah Undang-Undang Acara Pidana (Kegilaan) 1964 (Inggris: Criminal Procedure (Insanity) Act 1964) meski hakim memiliki keleluasaan dalam memutuskan vonisnya. Vonis gila pada terdakwa awalnya muncul pada tahun 1324 dan telah diterapkan pada persidangan hingga akhir abad ke-16. Bila pembelaan itu terbutki maka terdakwa diizinkan untuk pulang atau dipenjara sementara waktu hingga ia mendapatkan pengampunan kerajaan. Setelah tahun 1542, seorang terdakwa yang menjadi gila sebelum diadili, tidak dapat diadili atas kejahatan apapun sekalipun itu tindak pengkhianatan tingkat tinggi. Sepanjang abad ke-18, tes untuk memvonis gila pada terdakwa meliputi serangkaian hal, di antaranya: terdakwa diminta untuk membuktikan bahwa ia tak mampu membedakan antara kebaikan dan kejahatan, dan membuktikan bahwa dirinya menderita penyakit mental yang membuatnya tak mampu memahami komsekuensi dari tindakannya. Aturan ini berasal dari Aturan M'Naghten, (Inggris: M'Naghten Rule) berdasarkan persidangan Daniel M'Naghten pada tahun 1843. Pembelaan atas vonis gila telah menuai kritik tajam khususnya dari Komite Butler (Inggris: Butler Committee) yang menilai bahwa aturan itu didasarkan pada sifat gangguan mental yang terlalu terbatas, interpretasi keliru dari M'Naghten Rules, dan terkait bahwa aturan itu sudah ketinggalan jaman.[1] Komite mengusulkan reformasi hukum (1975) yang dibarengi dengan rancangan undang-undang (1989) oleh Komisi Hukum. Sayangnya, kedua hal ini justru diabaikan oleh pemerintah. SejarahGagasan vonis gila dalam Hukum Inggris dimulai sejak tahun 1324, ketika Statute de Praerogativa Regis mengizinkan raja untuk mengambil alih tanah milik orang yang memiliki keterbelakangan mental dan orang gila. Beberapa kata yang digunakan untuk mengekspresikan orang-orang tersebut adalah "keterbelakangan mental", "dungu",[2] dan "gila".[2] Vonis gila dalam hukum pidana ditujukan sebagai sebuah pembelaan hingga akhir abad ke-16, di mana jika individu yang gila melakukan tindak kejahatan maka ia tidak akan diadili dengan cara yang serupa pada terdakwa waras. Hal ini terjadi karena beberapa sebab. Pertama, hukuman yang dijatuhkan sebagai sebuah konsekuensi tidak akan memberi efek yang setimpal pada orang gila. Kedua, karena kejahatan membutuhkan mens rea (niatan jahat), sehingga dalam hal ini orang gila tak memiliki mens rea. Ketiga, merujuk pada frasa "furiosus solo fitrere punitur" yang berati bahwa "seorang gila dihukum oleh kegilaannya sendiri".[2] Terdakwa yang divonis gila biasanya dibebaskan dari hukuman dan diperbolehkan pulang, di mana untuk beberapa kasus mereka dapat dipenjara sementara waktu hingga raja memberinya pengampunan. Setelah tahun 1542, seorang terdakwa yang menjadi gila sebelum diadili, tidak dapat diadili atas kejahatan apapun sekalipun itu tindak pengkhianatan tingkat tinggi.[2] Hingga awal abad ke-19, seseorang yang dinyatakan tidak bersalah karena kegilaan harus segera dibebaskan walaupun Vagrancy Act 1744 mengizinkan dua hakim perdamaian untuk mengurung orang gila yang berbahaya. Vonis gila pada terdakwa dapat diberikan bila terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak mampu membedakan kejahatan dan kebaikan, dan membuktikan bahwa dirinya menderita penyakit mental yang membuatnya tidak mampu memahami konsekuensi atas tindakannya (aturan kedua berlaku setelah persidangan John Firth tahun 1790).[3] Peradilan James HadfieldPada 15 Mei 1800, James Hadfield melakukan percobaan pembunuhan pada George III. Perciobaan pembunuhan ini dilatarbelakangi karena Hadfield percaya bahwa kedatangan kedua Kristus akan dimajukan jika ia sendiri dibunuh oleh pemerintah Inggris. Oleh karena itu, ia memutuskan untuk mencoba pembunuhan raja dan melaksanakan eksekusi yudisialnya sendiri. Hadfield menembakkan pistol ke arah raja yang berdiri di podium kerajaan di Theatre Royal, Drury Lane. Namun, tembakan itu meleset karena raja tiba-tiba membungkuk untuk memberi salam kepada penonton.[3] Hadfield kemudian diadili pada 26 Juni 1800 di Pengadilan King's Bench. Thomas Erskine selaku pengacara Hadfield, memilih untuk membela kliennya melalui tes "kegilaan" alih-alih berpendapat bahwa delusi "tidak disertai dengan kegilaan". Beberapa ahli medis bersaksi bahwa cedera kepala yang dialami Hadfield akibat pukulan pedang berulang saat pertempuran Tourcoing telah menyebabkan delusi.[3] Lord Kenyon sebagai hakim kemudian memutuskan bahwa Hadfield dinyatakan "tidak bersalah jika ia berada di bawah pengaruh delusi pada saat tindakan itu dilakukan". Peristiwa itu menjadi kali pertama bagi pengadilan untuk memaparkan alasan keputtusan tersebut dan mengenalkan frasa "tidak bersalah karena alasan penyakit jiwa".[3] Putusan dalam kasus Hadfield kemudian dikenal sebagai Criminal Lunatics Act 1800, sebuah undang-undang yang menetapkan penahanan tanpa batas pada terdakwa yang sakit mental sampai ia diberikan pengampunan oleh kerajaan.[2] Undang-undang 1800 juga memberikan batasan tentang tindak kriminal apa yang dapat dibela melalui vonis gila. Sebelum adanya UU ini, semua tindak kriminal apapun dapat dibebaskan dengan alasan kegilaan/ Namun, UU baru kini membatasi dengan hanya mengizinkan pembelaan pada pelanggaran yang didakwa.[2] Kasus M'NaghtenPada 20 Januari 1843, Daniel M'Naghten melakukan percobaan pembunuhan kepada Perdana Menteri Inggris, Robert Peel. M'Naghten mendekati seorang pria yang ia yakini sebagai Peel dan menembaknya pada bagian punggung. Orang yang ditembak M'Naghten ternyata adalah sekretaris Peel yang bernama Edward Drummond. Atas kejadian itu, M'Naghten kemudian didakwa atas pembunuhan dan diadili pada 3 Maret 1843 di Old Bailey.[3] Dalam sidang pembelaannya, M'Naghten dibantu oleh 2 pengacara, 4 barrister (termasuk Alexander Cockburn), 9 ahli medis, dan 8 saksi lainnya. Baik pihak pengadilan maupun pihak pembela sepakat bahwa M'Naghten gila. Namun, pembelaan hukum yang sah atas vonis gila kemudian diperdebatkan.[3] Para hakim memutuskan bahwa indikator gila mengacu pada pertanyaan, "Apakah terdakwa tahu apa yang ia lakukan, dan jika demikian, apa yang ia lakukan itu salah?". Hal tersebut kemudian menjadi M'Naghten Rules atau sebuah aturan yang digunakan untuk memutuskan vonis gila dalam Hukum Inggris.[2] Peradilan Lunatics Act 1883Lunatics Act 1883 menjadi perkembangan UU berikutnya. Aturan ini memungkinkan penyidik untuk mengembalikan putusan bahwa terdakwa bersalah, tetapi gila pada saat itu sehingga harus ditahan sebagai "orang gila kriminal".[2] Undang-undang ini disahkan atas permintaan Ratu Victoria yang kerap menjadi sasaran serangan individu yang sakit jiwa dan dinyatakan tidak bersalah oleh peradilan karena vonis gila. Ratu berharap bahwa UU terbaru dapat mencegah kemunculan tindakan serupa yang dilakukan individu sakit jiwa lainnya. UU ini dipakai hingga adanya Undang- Undang Acara Pidana (Kegilaan) 1964 (Inggris: Criminal Procedure (Insanity) Act 1964).[4] Aturan saat iniUndang-undang saat ini mengizinkan pembelaan atas vonis gila dalam dua format, yakni (1) ketika terdakwa menyatakan bahwa dirinya gila saat melakukan tindak kriminal dan (2) ketika terdakwa menyatakan bahwa dirinya gila saat persidangan sehingga ia tidak dapat membela diri secara efektif.[5] Pembelaan atas vonis gila kerap diadakan di Crown Court karena membutuhkan penyidik dalam penentuan keputusan akhirnya. Namun, dalam DPP v Harper [1997], diputuskan bahwa pembelaan juga dapat dilangsungkan di pengadilan magistrat.[6] Vonis gila pada saat kejahatanPada format ini, terdakwa diduga tidak waras pada saat melakukan tindak pidana. Vonis gila dapat ditentukan melalui salah satu dari tiga cara berikut: (1) terdakwa menyatakan bahwa dirinya gila, (2) terdakwa mengajukan pembelaan otomatis, dan (3) terdakwa dapat mengajukan pembelaan potensial (disebut: diminished responsibility), di mana hakim atau jaksa penuntut menunjukkan bahwa terdakwa terbukti gila.[5] Bagaimanapun cara pembelaanya, tes untuk membuktikan vonis gila terdakwa ditetapkan sesuai M'Naghten Rules: “Untuk menetapkan pembelaan atas dasar kegilaan, harus dibuktikan dengan jelas bahwa, pada saat melakukan tindakan, pihak yang dituduh bertindak di bawah cacat akal budi dari penyakit mental, sehingga tidak mengetahui sifat dan kualitas tindakan yang ia lakukan; atau, jika ia mengetahuinya, ia tidak tahu apa yang ia lakukan adalah salah".[5] "Penyakit mental" tidak termasuk istilah medis. Istilah ini justru membuat terdakwa harus menunjukkan dirinya menderita penyakit yang memengaruhi fungsi pikiran alih-alih penyakit otak. Hal ini ditegaskan dalam kasus R v Kemp (1957) 1 QB 399 yang menyoroti bahwa penyakitarteriosklerosis yang diidap terdakwa telah menyebabkan dirinya melakukan penyerangan kepada istri yang bersangkutan saat tak sadarkan diri.[1] Lalu, juga perlu ditunjukkan bahwa penyakit mental ini menyebabkan "cacat akal" yang mengganggu nalar terdakwa.[5] Selain itu, terdakwa juga dapat menunjukkan bahwa dirinya tidak mengetahui "sifat atau kualitas tindakannya adalah salah". Perlu ada bukti bahwa terdakwa tidak tahu apa yang ia lakukan terkait bahwa ia tidak menyadari tindakannya, tidak mengetahui konseukuensi dari tindakannya, atau saat ia mengetahui tindakannya tetapi mengalami delusi. Dalam konteks delusi, Jonathan Herring memberikan contoh kasus pada seorang pria yang "mengira membunuh individu yang berwajah mengerikan, tetapi ia justru membunuh orang biasa".[5] Pada argumen yang menyatakan terdakwa "tidak mengetahui tindakan itu salah", "salah" di sini berarti "tidak sah" sesuai yang diatur dalam R v Windle [1952] 2 QB 826.[5] Vonis gila pada saat persidanganVonis gila terdakwa pada saat persidangan bergantung terkait apakah terdakwa memahami tuduhan itu atau tidak, mengetahui perbedaan antara "bersalah" dan "tidak bersalah", dan mampu memberi instruksi kepada pengacaranya. Jika terdakwa tak mampu melakukan hal-hal tersebut maka ia dinyatakan "tidak layak untuk memohon" sesuai Bab 4 Undang- Undang Acara Pidana (Kegilaan) 1964 (Inggris: Criminal Procedure (Insanity) Act 1964). Dalam hal ini, hakim memiliki keleluasaan untuk memutuskan vonis terdakwa kecuali dalam kasus pembunuhan yang akan membuat terdakwa ditahan di rumah sakit jiwa.[5] Kritik dan upaya reformasiAturan ini menuai kritik terkait ketidaksesuaian standar "tidak waras" dengan pemahaman medis tentang kegilaan dan kesehatan mental, serta mengarah pada putusan yang tidak masuk akal secara medis. Dalam R v Quick and Paddison (1973) QB 910 misalnya, menyatakan bahwa terdakwa pelaku penyerangan yang menderita hipoglikemia dinyatakan tidak bersalah, padahal penggunaan insulin tidak menyebabkan gila. Sementara itu, dalam R v Hennsey (1989) 1 WLR 287 menyatakan bahwa kejahatan yang dilakukan ketika terdakwa menderita hiperglikemia merupakan kegilaan. Atas aturan itu, beberapa terdakwa yang mengidap diabetes dibebaskan dan dinyatakan gila yang menurut mendis adalah hal yang tidak masuk akal.[1] Dalam kasus R v Sullivan, seorang terdakwa dibebaskan melalui Offences against the Person Act 1861 setelah menyerang temannya saat dirinya epilepsi. House of Lords kemudian memutuskan Sullivan itu gila dan hal itu merupakan kekuasaan pengadilan dalam menentukan "kewarasan" terdakwa.[1] Beberapa kririkus menyampaikan kegelisahannya terkait putusan tersebut dan pembatasan kesehatan mental pada mens rea yang menyebabkan terdakwa dapat dibebaskan dengan status medis yang tidak relevan.[1] Pembelaan atas vonis gila telah menuai kritik tajam khususnya dari Komite Butler (Inggris: Butler Committee) yang menilai bahwa aturan itu didasarkan pada sifat gangguan mental yang terlalu terbatas, interpretasi keliru dari M'Naghten Rules, dan terkait bahwa aturan itu sudah ketinggalan jaman.[1] Komite juga mengkritik bahwa pembelaan memberikan beban pembuktian kepada terdakwa, sementara dalam kasus lainnya beban ada pada penuntut.[7] Komite mengusulkan reformasi hukum (1975) yang dibarengi dengan rancangan undang-undang (1989) oleh Komisi Hukum. Sayangnya, kedua hal ini justru diabaikan oleh pemerintah.[1] Referensi
|