Share to:

 

Wayang

Wayang
ꦮꦪꦁ
JenisTeater boneka Tradisional
Seni pendahuluSuku Jawa
Budaya awalIndonesia
Awal berkembangHindu-Buddha
Teater Wayang
Pertunjukan wayang kulit oleh dalang terkenal Indonesia, Ki Manteb Soedharsono
NegaraIndonesia
KriteriaSeni pertunjukan, Kerajinan tradisional
Referensi063
KawasanAsia dan Pasifik
Sejarah Inskripsi
Inskripsi2008 (sesi ke-3rd)
DaftarDaftar Perwakilan

Wayang kulit, wayang klithik, dan wayang golek
Batara Guru (Siwa) dalam bentuk seni wayang Jawa.
Wayang Bali.

Wayang (berasal dari bahasa Jawa: ꦮꦪꦁ, translit. wayang, har. 'bayangan') adalah seni pertunjukkan tradisional asli Indonesia yang berasal dan berkembang pesat di pulau Jawa dan Bali.

UNESCO, lembaga yang membawahi kebudayaan dari PBB, pada 7 November 2003 menetapkan wayang sebagai pertunjukan boneka bayangan tersohor dari Indonesia, sebuah Warisan Mahakarya Dunia yang Tak Ternilai dalam Seni Bertutur (bahasa Inggris: Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity).[1][2][3]

Sampai saat ini, catatan awal yang bisa didapat tentang pertunjukan wayang berasal dari Prasasti Balitung pada abad ke-10. Pada 903 M, prasasti yang disebut Prasasti Balitung (Mantyasih) diciptakan oleh Raja Balitung dari Dinasti Sanjaya, dari Kerajaan Medang Kuno. Mereka menyatakan Si Galigi Mawayang Buat Hyang Macarita Bimma Ya Kumara, yang artinya 'Galigi mengadakan pertunjukan wayang untuk dewa dengan mengambil kisah Bima Kumara'.[4] Tampaknya fitur-fitur tertentu dari teater boneka tradisional telah bertahan sejak saat itu. Galigi adalah seorang artis keliling yang diminta untuk tampil untuk acara kerajaan yang istimewa. Pada acara itu ia menampilkan cerita tentang pahlawan Bima dari Mahabharata.

Mpu Kanwa, pujangga istana Airlangga dari Kerajaan Kahuripan, menulis pada 1035 M dalam kakawinnya Arjunawiwaha: santoṣâhĕlĕtan kĕlir sira sakêng sang hyang Jagatkāraṇa, yang artinya, "Ia tabah dan hanya layar wayang yang jauh dari ' Penggerak Dunia'." Kelir adalah kata dalam bahasa Jawa untuk layar wayang, syair yang dengan fasih membandingkan kehidupan nyata dengan pertunjukan wayang di mana Jagatkāraṇa (penggerak dunia) yang maha kuasa sebagai dalang (guru wayang) tertinggi hanyalah layar tipis dari manusia. Penyebutan wayang sebagai wayang kulit ini menunjukkan bahwa pertunjukan wayang sudah dikenal di istana Airlangga dan tradisi wayang telah mapan di Jawa, mungkin lebih awal. Sebuah prasasti dari periode ini juga menyebutkan beberapa pekerjaan sebagai awayang dan aringgit.[5]

Ketika agama Hindu masuk ke Indonesia dan menyesuaikan kebudayaan yang sudah ada, seni pertunjukan ini menjadi media efektif menyebarkan agama Hindu. Pertunjukan wayang menggunakan cerita Ramayana dan Mahabharata.

Para Wali Songo di Jawa, sudah membagi wayang menjadi tiga. Wayang Kulit di timur, wayang wong di Jawa Tengah dan wayang golek di Jawa Barat. Adalah Raden Patah dan Sunan Kalijaga yang berjasa besar. Carilah wayang di Jawa Barat, golek ana dalam bahasa Jawi, sampai ketemu wongnya isinya yang di tengah, jangan hanya ketemu kulitnya saja di Timur di wetan wiwitan. Mencari jati diri itu di Barat atau Kulon atau kula yang ada di dalam dada hati manusia. Maksud para Wali terlalu luhur dan tinggi filosofinya. Wayang itu tulen dari Jawa asli, pakeliran itu artinya pasangan antara bayang-bayang dan barang aslinya. Seperti dua kalimah syahadat. Adapun Tuhan masyrik wal maghrib itu harus diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa dulu yang artinya Wetan kawitan dan Kulon atau kula atau saya yang ada di dalam. Carilah Tuhan yang kawitan, pertama, dan yang ada di dalam hati manusia. berikutnya.

Demikian juga saat masuknya Islam, ketika pertunjukan yang menampilkan “Tuhan” atau “Dewa” dalam wujud manusia dilarang, muncullah boneka wayang yang terbuat dari kulit sapi, di mana saat pertunjukan yang ditonton hanyalah bayangannya saja. Wayang inilah yang sekarang kita kenal sebagai wayang kulit. Untuk menyebarkan Islam, berkembang juga wayang Sadat yang memperkenalkan nilai-nilai Islam.

Perkembangan wayang pada dari abad 19 hingga abad 20 tidak lepas dari para dalang yang terus mengembangkan seni tradisional ini. Salah satunya almarhum Ki H. Asep Sunandar Sunarya yang telah memberikan inovasi terhadap wayang agar bisa mengikuti perkembangan zaman dan dikenal dunia.

Sebenarnya, pertunjukan boneka tidak hanya ada di Indonesia karena banyak pula negara lain yang memiliki pertunjukan boneka. Namun, pertunjukan boneka (Wayang) di Indonesia memiliki gaya tutur dan keunikan tersendiri, yang merupakan mahakarya asli dari Indonesia. Untuk itulah UNESCO memasukannya ke dalam Daftar Representatif Budaya Tak Benda Warisan Manusia (Intangible Cultural Heritage) pada 2003.

Tak ada bukti yang menunjukkan wayang telah ada sebelum agama Hindu menyebar di Asia Selatan. Diperkirakan seni pertunjukan dibawa masuk oleh pedagang India. Namun, kegeniusan lokal dan kebudayaan yang ada sebelum masuknya Hindu menyatu dengan perkembangan seni pertunjukan yang masuk memberi warna tersendiri pada seni pertunjukan di Indonesia.

Ketika misionaris Katolik, Bruder Timotheus L. Wignyosubroto, FIC pada tahun 1960 dalam misinya menyebarkan agama Katolik, ia mengembangkan Wayang Wahyu, yang sumber ceritanya berasal dari Alkitab.

Jenis-jenis wayang

Jenis-jenis wayang menurut bahan pembuatan

Wayang Kulit

Wayang Bambu

  1. Wayang Bambu
  2. Wayang Golek Langkung

Wayang Kayu

  1. Wayang Golek/Wayang Thengul
  2. Wayang Menak
  3. Wayang Papak/Wayang Cepak
  4. Wayang Klithik
  5. Wayang Timplong
  6. Wayang Golek Techno
  7. Wayang Ajen

Wayang Orang

  1. Wayang Gung
  2. Wayang Topeng

Wayang Motekar

Wayang potehi

Wayang Rumput

Wayang suket merupakan bentuk tiruan dari berbagai figur wayang kulit yang terbuat dari rumput (bahasa Jawa: suket). Wayang suket biasanya dibuat sebagai alat permainan atau penyampaian cerita perwayangan pada anak-anak di desa-desa Jawa.

Untuk membuatnya, beberapa helai daun rerumputan dijalin lalu dirangkai (dengan melipat) membentuk figur serupa wayang kulit. Karena bahannya dari rumput, wayang suket biasanya tidak bertahan lama.

Seniman asal Tegal, Slamet Gundono, dikenal sebagai tokoh yang berusaha mengangkat wayang suket pada tingkat pertunjukan panggung.

Bahkan jika menyebut wayang suket, sekarang sudah lekat dengan pertunjukan wayangnya Slamet Gundono lulusan STSI (sekarang ISI Surakarta)Pedalangan yang kini menetap di Surakarta. Wayang suket Slamet Gundono, awalnya bermediakan wayang yang terbuat dari suket, tetapi Slamet Gundono lebih mengandalkan unsur teatrikal dan kekuatan bercerita. Dalam pementasan wayang suketnya, Slamet Gundono menggunakan beberapa alat musik yang terdiri dari gamelan, alat petik, tiup dan beberapa alat musik tradisi lainnya.

Slamet juga dibantu beberapa pengrawit, penari yang merangkap jadi pemain, untuk melengkapi pertunjukannya. Latar panggungnya berubah-ubah sesuai tema yang ditentukan.

Media bertutur Slamet Gundono tidak hanya wayang suket, tetapi juga wayang kulit dan kadang memakai dedaunan untuk dijadikan tokoh wayang.

Kehebatan bertutur (pendongeng) dalang satu ini sudah tidak diragukan lagi. Banyak kalangan dalang muda yang memuji kemampuan bertutur Slamet Gundono. Misalnya Ki Sigit Ariyanto; " Jangankan dengan wayang, dengan pecahan genteng atau serpihan plastik Gundono dapat mendalang dengan baik". Bahkan menurut Ki Bambang Asmoro, dengan media yang ada, Slamet Gundono bisa menuntun penonton ke dalam imajinasi yang lebih dalam sehingga roh atau esensi wayang sebagai pertunjukan bayangan "wewayanganing aurip" menjadi lebih bermakna dan multitafsir.

Wayang Motekar

Wayang Motekar adalah sejenis pertunjukan teater bayang-bayang atau di dalam kebudayaan Sunda, Jawa, dan Indonesia pada umumnya dikenal dengan sebutan wayang kulit.

Bedanya, jika wayang kulit atau seperti semua bentuk shadow puppet itu berupa pertunjukan bayang-bayang (shadow) satu warna hitam; sedangkan Wayang Motekar telah menemukan teknik baru sehingga bayang-bayang wayang itu bisa tampil dengan warna penuh. Kemungkinan itu terjadi karena prinsip dasar Wayang Motekar menggunakan bahan plastik, pewarna transparan, dan sistem cahaya dan layar khusus.

Wayang Motekar ditemukan dan dikembangkan oleh Herry Dim setelah melewati eksperimen lebih dari delapan tahun (1993 - 2001). Kali pertama dipentaskan di Bandung pada 30 Juni 2001, saat itu diberi nama oleh Arthur S Nalan dengan sebutan “gambar motekar,” dan pada perkembangan berikutnya Prof. Dr. Yus Rusyana menambahkan sebutan “teater kalangkang” sehingga menjadi “Teater Kalangkang Gambar Motekar.”

Kini, demi mendapatkan nama yang lebih singkat serta langsung terhubung kepada induk keseniannya maka disebut Wayang Motekar. Pada awalnya adalah pertunjukan Meta Teater (1991-1992) yang antara lain menggunakan alat OHP (Overhead Projector). Setelah pertunjukan tersebut, Herry Dim melakukan uji-coba membuat sejumlah wayang untuk dimainkan di atas OHP.

Seluruh eksperimen berlangsung di Studio Pohaci, Bandung, bersama penggagas utamanya yaitu Herry Dim. Di kemudian hari, 1997, barulah eksperimen ini melibatkan pula M. Tavip hingga kemudian ditemukan moda “wayang motekar” seperti yang kita kenal sekarang, yaitu tidak menggunakan lagi OHP melainkan dengan lampu dan layar khusus.

Setelah ditemukan inilah kemudian kita mengenal “Wayang Tavip” yang dikembangkan oleh M. Tavip; wayang “Kakufi” (kayu, kulit, dan fiber) yang dikembangkan oleh Arthur S. Nalan; sementara Herry Dim bersama Studio Pohaci tetap menggunakan nama Wayang Motekar.*

Jenis-jenis wayang menurut asal daerah

Pertunjukan wayang kulit.

Beberapa seni budaya wayang selain menggunakan bahasa Jawa, bahasa Sunda, dan bahasa Bali juga ada yang menggunakan bahasa Melayu lokal seperti bahasa Betawi, bahasa Palembang, dan bahasa Banjar. Beberapa di antaranya antara lain:

  • Wayang Kulit Gaya Surakarta
  • Wayang Kulit Gaya Yogyakarta
  • Wayang Kulit Gaya Jawa Timuran
  • Wayang Kulit Gaya Kedu
  • Wayang Kulit Gaya Kaligesing Bagelen
  • Wayang Kulit Gaya Banyumasan
  • Wayang Kulit Gaya Pesisiran

Karakter

Lihat pula

Referensi

  1. ^ ""Wayang puppet theatre", Inscribed in 2008 (3.COM) on the Representative List of the Intangible Cultural Heritage of Humanity (originally proclaimed in 2003)". UNESCO. Diakses tanggal 10 Oktober 2014. 
  2. ^ "Wayang: Indonesian Theatre". Encyclopaedia Britannica. 2012. 
  3. ^ "History and Etymology for Wayang". Merriam-Webster. Diakses tanggal 22 Desember 2020. 
  4. ^ "Keragaman Wayang Indonesia". indonesia.go.id. Diakses tanggal 12 December 2020. 
  5. ^ Drs. R. Soekmono (1973). Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2, 2nd ed. 5th reprint edition in 1988. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. hlm. 56. 

Pranala luar

Kembali kehalaman sebelumnya