Wilmar Eliaser Simanjorang
Wilmar Eliaser Simandjorang (lahir 11 Oktober 1954) adalah seorang akademisi dan birokrat yang menjadi penjabat Bupati Samosir dari tahun 2004 hingga 2005. Wilmar juga merupakan seorang aktivis lingkungan yang berperan dalam pelestarian Danau Toba. Masa kecil dan pendidikanWilmar Eliaser Simandjorang dilahirkan di Samosir, Sumatera Utara, pada tanggal 11 November 1954. Wilmar memulai pendidikannya di Sekolah Rakyat (setingkat sekolah dasar) Sagala dan lulus dari sekolah tersebut pada tahun 1966, lalu melanjutkan pendidikan menengahnya di Sekolah Menengah Pertama Limbong, yang ditamatkannya tahun 1966, dan Sekolah Menengah Atas 1 Pangururan, yang ditamatkannya tahun 1972.[1] Selepas kelulusannya dari Sekolah Menengah Atas Pangururan, Wilmar merantau ke Jawa Barat dan menempuh pendidikan tinggi di Fakultas Sosial Politik Universitas Katolik Parahyangan di Bandung. Wilmar lulus dari universitas tersebut pada tahun 1978 dengan gelar doktorandus.[1] Karier birokrasiWilmar memulai kariernya sebagai peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia pada tahun 1979. Ia hanya bekerja sebagai peneliti selama setahun dan mengundurkan diri pada tahun 1980. Pada tahun itu, Wilmar mulai berkarier di dalam Departemen Perindustrian dan ditugaskan sebagai Staf Khusus untuk Sosial Ekonomi di Otorita Pengembangan Proyek Asahan. Wilmar juga bertugas sebagai Penatar Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila di Badan Pembina Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila untuk Provinsi DKI Jakarta hingga tahun 1989.[2] Setelah empat tahun bekerja di otorita tersebut, Wilmar kembali ke Jakarta dan bekerja sebagai pegawai di Biro Pengumpulan Data dan Analisa hingga tahun 1990. Setelah itu, Wilmar bekerja sebagai Kepala Balai Latihan Industri Sumatera Bagian Utara di Medan.[1] Wilmar meninggalkan Departemen Perindustrian pada tahun 2000[2] dan pindah ke dalam lingkungan pemerintahan Kabupaten Toba Samosir (yang baru saja dibentuk) sebagai Kepala Badan Pembangunan Daerah (Bappeda).[3] Selama menjadi Kepala Bappeda, salah satu masalah utama yang ditangani oleh Wilmar adalah kekeringan pada sejumlah anak sungai di Pulau Samosir yang berdampak pada sulitnya pengembangan saluran irigasi teknis. Simanjorang lalu merencanakan proyek percontohan pertanian hortikultura dengan sistem irigasi tetes yang pada awalnya diterapkan untuk tanaman bawang. Alternatif lainnya yang diusulkan oleh Wilmar adalah pemberdayaan cekdam atau bendungan alam (embung) sebagai sumber air.[4] Penjabat bupatiDalam kapasitasnya sebagai Kepala Bappeda Toba Samosir, Wilmar turut terlibat dalam pemekaran kabupaten tersebut menjadi Kabupaten Samosir.[5] Setelah melalui proses birokrasi dan peninjauan oleh pemerintah pusat dan provinsi, Kabupaten Samosir ditetapkan menjadi kabupaten sendiri pada tanggal 7 Januari 2004. Wilmar ditunjuk oleh Gubernur Sumatera Utara sebagai penjabat Bupati Samosir dan dilantik untuk jabatan tersebut delapan hari setelah kabupaten tersebut diresmikan.[6] Meskipun masa jabatan Wilmar berakhir pada tanggal 15 Januari 2005,[7] Wilmar ditetapkan kembali sebagai penjabat bupati pada tanggal 21 Februari 2005 setelah ia menyatakan bahwa dirinya tidak akan mencalonkan diri dalam Pemilihan Bupati Samosir tahun 2005.[8] Ia menyerahkan jabatannya kepada Mangindar Simbolon, bupati definitif Samosir pertama, pada tanggal 13 September 2005.[5] Tenaga perantauBeberapa saat setelah Kabupaten Samosir ditetapkan sebagai kabupaten otonom, Wilmar menyatakan bahwa ia menerima dukungan dari kelompok diaspora Samosir. Para perantau tersebut memberikan dukungan moral dan finansial bagi pembangunan di kabupaten tersebut. Wilmar juga melakukan kerja sama dengan 500 perantau Samosir yang hidup di Amerika Serikat yang akan membantu pemerintah kabupaten Samosir dalam menyalurkan pemuda Samosir yang dianggap berprestasi untuk belajar di Amerika Serikat.[5] Pengolahan Hutan TeleSalah satu hutan terbesar yang terletak di Samosir adalah Hutan Tele. Selama menjadi penjabat bupati, Wilmar acap kali menerima saran dari rekan-rekannya agar menjual pohon di hutan tersebut untuk kepentingan industri, tetapi ditolaknya. Wilmar juga pernah disogok uang tiga miliar rupiah oleh seorang pemilik perusahaan yang menyatakan niatnya untuk mengolah hutan tersebut dan mengelola peternakan domba. Wilmar juga menolak pengusaha tersebut karena mengetahui bahwa pengusaha tersebut akan mengeksploitasi hutan tersebut. Ia berpendapat bahwa pohon merupakan komoditas yang tak ternilai di Samosir dan keuntungan ekonomi yang didapat melalui eksploitasi tidak akan mengganti kerugian yang timbul akibat pohon dan hewan yang hilang.[1] Aktivis lingkunganDanau TobaSetelah pensiun dari birokrasi, Wilmar aktif terlibat dalam pelestarian Danau Toba. Wilmar juga turut terlibat sebagai anggota tim penilai (analis) mengenai dampak lingkungan dari PT AJS Agro Mulya Lestari yang mengusahakan agrobisnis dan tanaman hias di Hutan Tele yang juga terletak di dekat Danau Toba. Wilmar menilai bahwa perusahaan tersebut tidak paham mengenai syarat peraturan lingkungan dan keilmuan.[1] Wilmar menerima sejumlah penghargaan melalui aktivitasnya dalam bidang lingkungan. Pertama, penghargaan Wana Lestari yang diterimanya pada bulan Agustus 2011 atas penanaman pohon sengon di Desa Huta Ginjang. Penghargaan kedua diterima Wilmar pada bulan Desember pada tahun yang sama, yakni Danau Toba Award dari Badan Pengelolaan Ekosistem dan Kawasan Danau Toba karena dianggap berjasa dalam penyelamatan lingkungan di Parapat.[1] Namun, penghargaannya yang terakhir dikembalikan pada September 2013 karena menganggap bahwa penghargaan tersebut bersifat seremonial saja dan tidak disertai komitmen pemerintah untuk pelestarian Danau Toba.[9] Pengembalian penghargaan tersebut didukung oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia yang juga meminta pemerintah untuk tidak perlu malu dan presiden agar langsung menerima penghargaan tersebut bersama dengan anggota kabinet.[10] Pada tanggal 16 Mei 2013, Wilmar menerima ancaman pembunuhan dari seorang pria dengan marga Hutasoit yang diduga merupakan karyawan Gorga Duma Sari, perusahaan pengelola Hutan Tele. Pada saat itu, Wilmar bersama dengan anaknya Laurence Ricardo Simanjorang sedang merekam truk yang keluar masuk dari Hutan Tele dengan membawa kayu. Sebelumnya, perusahaan Gorga Duma Sari telah dilarang oleh Pemerintah Samosir untuk menebang dan mengambil kayu dari hutan alam Tele dan menghentikan operasional perusahaan tersebut. Ketika sedang merekam, pria bermarga Hutasoit tersebut keluar dari mobil Escudo yang terletak di belakang sebuah truk. Pria tersebut mengancam akan membunuh Wilmar dengan kelewang yang dibawanya jika ia tidak menyerahkan rekaman tersebut. Setelah rekamannya dirampas, Wilmar dan anaknya sempat berlindung di rumah warga sebelum melaporkan kasusnya ke Polisi Resor Samosir bersama sejumlah aktivis lingkungan lainnya dan warga setempat.[11] Geopark Kaldera Danau TobaPada tahun 2016, Wilmar ditunjuk sebagai Manager Area Geopark Kaldera Danau Toba oleh Bupati Rapidin Simbolon.[3][12] Selama periode awal pekerjaannya di geopark tersebut, Wilmar menilai bahwa pemerintah Indonesia tidak serius berupaya untuk menjadikan Geopark Kaldera Danau Toba sebagai salah satu Global Geopark UNESCO. Wilmar menunjukkan bahwa pemerintah juga belum membayar gaji pengelola geopark dan kenyataan bahwa pemerintah belum memaparkan pola induk pengembangan geopark tersebut.[13] Wilmar beberapa kali mengkritik dan keluar dari rapat-rapat yang diadakan oleh pemerintah mengenai Geopark Kaldera Danau Toba.[14][15] Setelah Geopark Kaldera Danau Toba gagal diusulkan sebagai salah satu Global Geopark UNESCO pada tahun 2016, Wilmar menyarankan kepada pemerintah agar memperhatikan pengembangan Geopark Kaldera Danau Toba agar teori yang diusulkan oleh Badan Pengelola Geopark Kaldera Danau Toba dapat diterapkan.[16] Geopark Kaldera Danau Toba pun menjadi Global Geopark UNESCO pada tahun 2019[17] dan namanya berubah menjadi Badan Pengelola Toba Caldera UNESCO Global Geopark. Wilmar kembali duduk dalam badan pengelola tersebut sebagai Koordinator Bidang Edukasi dan Penelitian Pengembangan. Struktur dari badan pengelola tersebut menerima kritikan karena didominasi oleh birokrat dan unsur pemerintahan alih-alih kalangan profesional yang bebas dari kepentingan politik.[18] KasusPada bulan Januari 2019, Wilmar diduga menerima bantuan dari Toba Pulp Lestari (TPL), sebuah perusahaan yang dikritik oleh pemerhati lingkungan karena perusakan hutan di Danau Toba. Wilmar menolak tuduhan tersebut dan menyatakan bahwa ia hanya mengunjungi TPL untuk mengamati pembibitan haminjon dan membeli bibit dari TPL selaku penyedia bibit di lingkungan tersebut. Wilmar menyatakan akan memenjarakan siapa pun yang menuduhnya menerima bantuan dari TPL.[19] Pada bulan Juni 2020, Wilmar diperiksa oleh Kejaksaan Tinggi Negeri (Kejari) Samosir sebagai saksi terkait dengan kasus pengalihan Hutan Tele menjadi areal permukiman dan pertanian. Menurut Kepala Seksi Pidana Khusus Kejari Samosir Paul M. Meliala, Wilmar diperiksa karena Wilmar paham tentang sejarah areal penggunaan lahan (APL) di Hutan Tele sebagai bupati pertama Samosir. Paul menyalahkan Wilmar karena Wilmar tidak peka terhadap persoalan seputar APL di Hutan Tele.[20] Karier akademisSelama bekerja di lingkungan birokrasi, Wilmar menempuh pendidikan tinggi lebih lanjut di Fakultas Administrasi Bisnis dan Ekonomi di Scuola Superiore Enrico Mattei di Milan, Italia dan Fakultas Penerapan Rencana dan Pembangunan di The Institute of Studies For Economic Development di Napoli, Italia.[1] Wilmar ditawarkan gelar doktor honoris causa selama masa jabatannya sebagai penjabat bupati, tetapi ia menolaknya.[3] Beberapa tahun setelah ia mengundurkan diri dari jabatan bupati, Wilmar menjadi instruktur di Institut Pemerintahan Dalam Negeri.[2] Wilmar kembali menempuh pendidikan dalam bidang teologi di IAKN Tarutung pada tahun 2016 dan diwisuda pada tahun 2020 dengan predikat cum laude.[3] Wilmar lalu mulai mengajar di institut tersebut.[21] KeluargaWilmar menikah dengan Nurhaida Simarmata pada tanggal 19 November 1981. Pasangan tersebut memiliki tiga anak laki-laki yang bernama Christian Simanjorang, Laurence Ricardo Simanjorang, dan Vincent Simanjorang, dan satu anak perempuan yang bernama Helda Febrosa.[1] Referensi
|