Wolbachia
Wolbachia adalah salah satu genus bakteri yang hidup sebagai parasit pada hewan artropoda.[1] Infeksi Wolbachia pada hewan akan menyebabkan partenogenesis (perkembangan sel telur yang tidak dibuahi), kematian pada hewan jantan, dan feminisasi (perubahan serangga jantan menjadi betina).[1] Bakteri ini tergolong ke dalam Gram negatif, berbentuk batang, dan sulit ditumbuhkan di luar tubuh inangnya.[2] Berdasarkan studi filogenomik, Wolbachia dikelompokkan menjadi 8 kelompok utama (A-H). Bakteri tersebut banyak terdapat di dalam jaringan dan organ reproduksi hewan serta pada jaringan somatik. Inang yang terinfeksi dapat mengalami inkompatibilitas (ketidakserasian) sitoplasma, yaitu suatu fenomena penyebaran faktor sitoplasma yang umumnya dilakukan dengan membunuh progeni (keturunan) yang tidak membawa/mewarisi faktor tersebut.[3] SejarahGenus ini pertama kali diidentifikasi pada tahun 1924 oleh Marshall Hertig dan Simeon Burt Wolbach pada nyamuk Culex pipiens. Mereka mendeskripsikannya sebagai "organisme pleomorfik, berbentuk batang, Gram-negatif, intraseluler yang hanya menginfeksi ovarium dan testis". Hertig secara formal mendeskripsikan spesies ini pada tahun 1936, dan mengusulkan nama generik dan spesifik: Wolbachia pipientis. Penelitian tentang Wolbachia meningkat setelah tahun 1971, ketika Janice Yen dan A. Ralph Barr dari UCLA menemukan bahwa telur nyamuk Culex dibunuh oleh ketidakcocokan sitoplasma ketika sperma laki-laki yang terinfeksi Wolbachia membuahi telur yang bebas infeksi. Genus Wolbachia saat ini cukup menarik karena distribusinya luas, banyak interaksi evolusionernya yang berbeda, dan berpotensi sebagai agen biokontrol. Metode diferensiasi seksual dalam inangBakteri ini dapat menginfeksi berbagai jenis organ, tetapi yang paling terkenal adalah infeksi testis dan ovarium inangnya. Spesies Wolbachia umum ditemukan pada telur matang, tetapi tidak pada sperma matang. Oleh karena itu, hanya betina yang terinfeksi yang menularkan infeksi kepada keturunannya. Bakteri Wolbachia memaksimalkan penyebarannya dengan secara signifikan mengubah kemampuan reproduksi inangnya, dengan empat fenotipe berbeda:
Efek diferensi seksual pada inangBeberapa spesies inang, seperti yang ada dalam genus Trichogramma, sangat bergantung pada diferensiasi seksual Wolbachia sehingga mereka tidak dapat bereproduksi secara efektif tanpa bakteri di tubuh mereka, dan beberapa bahkan mungkin tidak dapat sintas tanpa infeksi. Satu studi pada kutu kayu yang terinfeksi menunjukkan induk dari organisme yang terinfeksi memiliki proporsi betina yang lebih tinggi daripada mereka yang tidak terinfeksi. Wolbachia, terutama yang dapat menyebabkan inkompatibilitas sitoplasma, mungkin penting dalam mempromosikan spesiasi. Galur Wolbachia yang mendistorsi rasio jenis kelamin dapat mengubah pola seleksi seksual inang mereka di alam, dan juga menimbulkan seleksi yang kuat untuk mencegah aksi mereka, yang mengarah ke beberapa contoh tercepat dari seleksi alam pada populasi alami. Efek pembunuhan dan feminisasi pria dari infeksi Wolbachia juga dapat menyebabkan spesiasi pada inang mereka. Misalnya, populasi kutu kayu, Armadillidium vulgare yang terpapar efek feminisasi Wolbachia, telah diketahui kehilangan kromosom penentu betina mereka. Dalam kasus ini, hanya kehadiran Wolbachia yang dapat menyebabkan individu berkembang menjadi betina. Spesies kriptik wētā tanah (kompleks Hemiandrus maculifrons) adalah tuan rumah bagi garis keturunan Wolbachia yang berbeda yang mungkin menjelaskan spesiasi mereka tanpa pemisahan ekologi atau geografis. Penggunaan dalam pencegahan penyakitBakteri alami Wolbachia dapat berperan dalam pencegahan penyakit melalui pengendalian vektor, terutama karena interaksinya dengan spesies-spesies Arthropoda seperti nyamuk. Wolbachia dapat memanipulasi perkembangbiakan nyamuk melalui fenomena yang disebut ketidaksesuaian sitoplasma (cytoplasmic incompatibility, CI) serta dapat menghambat replikasi berbagai patogen dalam nyamuk, termasuk virus dengue dan chikungunya serta parasit filariasis di nyamuk Aedes aegypti, maupun parasit malaria Plasmodium dalam Aedes aegypti dan Anopheles gambiae.[4][5] Sebuah uji coba di Australia dengan kota berpenduduk 187.000 jiwa menunjukkan hilangnya dengue selama empat tahun setelah dilepaskannya nyamuk ber-Wolbachia.[6] Secara garis besar terdapat dua jenis penggunaan wolbachia untuk mencegah penyakit. Singapura menggunakan nyamuk jantan Aedes aegypti yang memiliki wolbachia untuk mengontrol populasi nyamuk. Karena ketidaksamaan sitoplasma, ketika nyamuk tersebut berkembang biak dengan nyamuk Aedes aegypti betina lokal yang tidak memiliki wolbachia, telur yang diproduksi tidak akan berkembang biak atau mati. Karena itu jumlah populasi total nyamuk akan menurun. Metode ini harus dilakukan berulang-ulang seiring nyamuk jantan yang memiliki wolbachia mati.[7] Sedangkan pelepasan nyamuk Aedes aegypti yang memiliki wolbachia di Indonesia dan Australia menggunakan nyamuk betina (dan juga jantan), dengan tujuan memasukkan wolbachia dalam populasi nyamuk lokal. Karena ketidaksamaan sitoplasma, semua telur yang dihasilkan dengan perkembangbiakan nyamuk jantan yang tidak memiliki wolbachia dengan nyamuk betina yang dilepaskan akan memiliki wolbachia. Lambat laun semua populasi nyamuk Aedes aegeypti akan memiliki wolbachia. Diperkirakan ada beberapa mekanisme yang menyebabkan nyamuk ini kurang bisa menyebarkan penyakit terutama yang disebabkan virus RNA seperti Dengue, Cikungunya, dll; seperti menurunnya jumlah virus dalam inang nyamuk karena mempersiapkan sistem imun nyamuk dan persaingan sumber daya antara virus dengan bakteri seperti cholesterol.[8] Kedua strain wolbachia yang digunakan juga memperpendek umur nyamuk, ini berguna karena nyamuk penyebar penyakit adalah nyamuk yang tua dan sudah menggigit banyak individu. Ketiga fenomena bendy proboscis (proboscis yang bengkok) karena mulut nyamuk yang memiliki wolbachia mudah bengkok sehingga tidak mampu menembus kulit manusia.[9] Jurnal ilmiah Nature menyebut pada 2020 bahwa bukti terkuat dari metode ini muncul dalam uji terkontrol secara acak yang dilakukan di Yogyakarta, Indonesia selama 2016–2020. Kepala peneliti dari Indonesia untuk penelitian ini, Adi Utarini, mengumumkan pada Agustus 2020 bahwa penelitian ini menujukkan penurunan kasus dengue sebesar 77% dalam area yang diberi nyamuk ber-Wolbachia dibandingkan dengan jumlah kasus di area kontrol yang dipilih secara acak dalam rentang waktu yang sama.[10][11] Referensi
|