Yeongjo dari Joseon
Naik TakhtaPada tahun 1720, ayahandanya, Raja Sukjong meninggal dan Putra Mahkota Yi Yun, putra sulung Sukjong naik takhta sebagai Raja Gyeongjong, saat berumur 33 tahun. Namun sebelum Raja Sukjong meninggal, ia sebenarnya memberitahu Yi Yi-myoung agar mengangkat Yeoning-gun sebagai ahli waris Kyungjong, tetapi karena tiadanya pencatat sejarah atau sejarawan pada saat itu, maka tidak ada catatan mengenai hal ini. Selama masa pemerintahan Gyeongjong, terjadi pergumulan kekuasaan dan rasa tidak suka terhadap statusnya yang terlahir sebagai anak dari kalangan rendah. Faksi Noron (노론, 老論) menekan Raja Gyeongjong untuk turun takhta dan bermaksud untuk menggantikannya dengan saudara tirinya, Pangeran Yeoning (Raja Yeongjo pada masa depan). Pada tahun 1720, dua bulan setelah kenaikan takhtanya Raja Gyeongjong, Pangeran Yeoning diangkat sebagai Putra Mahkota Kerajaan, ahli waris kerajaan (Wangseje, 왕세제, 王世弟). Hal ini memperparah perebutan kekuasan dan menjadi awal dari pembantaian besar-besaran, yang dikenal sebagai Shinimsahwa (辛壬士禍). Faksi Noron mengirim pesan kepada Raja tanpa ada tanggapan sama sekali sementara Faksi Soron (소론, 少論) memanfaatkan hal ini demi keuntungan mereka - dengan dalih bahwa Faksi Noron mencoba untuk merampas kekuasaan dan bermaksud untuk menyingkirkan faksi-faksi, yang menjadi lawan mereka, dari berbagai macam posisi pejabat di istana. Anggota-anggota dari faksi Soron kemudian memunculkan ide untuk membunuh ahli waris takhta (Yeoning-gun) secara rahasia dengan berpura-pura menyelenggarakan acara berburu rubah putih, yang diisukan telah menghantui istana, tetapi Yeoning-gun mencari perlindungan pada ibu tirinya, Ibu Suri Inwon, yang kemudian melindunginya sehingga ia tetap hidup. Setelah itu, Yeoning-gun memberitahu saudara tirinya, Raja Gyeongjong bahwa ia lebih suka pergi dari istana dan hidup sebagai orang biasa. Pada 11 Oktober 1724, Raja Gyeongjong meninggal. Faksi Soron kemudian menuduh Pangeran Yeoing melakukan sesuatu sehingga menyebabkan kematian kakandanya, berdasarkan usaha Faksi Noron sebelumnya yang bermaksud membuatnya naik tahkta dan menggantikan Raja Gyeongjong. Tapi para sejarahwan sekarang sepakat bahwa Raja mungkin saja meninggal akibat keracunan makanan laut, berdasarkan dari gejala-gejala penyakit yang menyebabkannya meninggal. Homer Hulbert memaparkannya di bukunya The History of Korea, di mana ia mengatakan, "Tapi kita mungkin saja boleh meragukan kebenaran dari rumor itu, karena tak ada yang dikatakan mengenai indikasi bahwa ia mungkin melakukan tindakan seperti ini, dan hal yang kedua seseorang yang akan makan udang, yang dibawa dari laut yang berjarak 30 mil tanpa es, di tengah musim panas bisa saja dimungkinkan meninggal. Pada tanggal 16 October 1724, Pangeran Yeoning naik tahta dan bergelar Raja Yeongjo, penguasa ke-21 Joseon. Masa PemerintahanRaja Yeongjo sangat mendalami Konfusianisme, dan konon memiliki pengetahuan klasik yang lebih hebat dibandingkan dengan para pejabatnya. Selama masa pemerintahan Yeongjo dan cucunya Jeongjo, Konfusianisme mengalami masa kejayaannya, demikian juga halnya dengan pemulihan ekonomi akibat dari beberapa perang yang terjadi di akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17. Masa pemerintahannya disebut-sebut sebagai salah satu masa paling jaya di antara masa-masa pemerintahan Dinasti Joseon. Yeongjo sungguh-sungguh memperhatikan kesejahteraan rakyatnya dengan mendalam. Catatan Sejarah dari Joseon menyatakan bahwa suatu hari pada tahun ke-4 pada masa pemerintahannya, Raja Yeongjo bangun karena hujan di dini hari dan mengatakan pada para pejabatnya,
Yeongjo khawatir kalau hujan itu akan menghancurkan masa panen dan memaksa rakyatnya yang malang menjadi kelaparan. Raja kemudian memerintahkan para pejabatnya untuk mengurangi pajak dan mengurangi jumlah makanan yang dimakannya. Mengurangi jenis makanan yang ia makan merupakan keputusan yang ia buat karena rasa prihatin kepada rakyatnya yang kelaparan. Suatu dini hari, 25 tahun kemudian, sekitar tahun 1753, hujan yang terus menerus mengingatkan Yeongjo ada banjir yang terjadi pada tahun ke-4 masa pemerintahannya, ketika ia mengurangi jatah makannya: "Oh! Banjir dan masa kekeringan benar-benar terjadi karena aku kurang kebajikan. Aku sekarang sudah lebih tua daripada tahun itu, tetapi bagaimana bisa rasa prihatinku kepada rakyat dan kemauan untuk bekerja keras bagi mereka justru jauh lebih sedikit dibandingkan dahulu?" Dan begitulah, Yeongjo kemudian memerintahkan untuk mengurangi lagi jumlah makanan yang seharusnya ia makan. Orang-orang di sekitarnya menggambarkan dirinya sebagai seorang Raja yang pandai berbicara, cerdas, bajik, dan baik hati. Ia mudah memahami dalam pengamatannya dan cepat dalam menanggapi. PolitikYeongjo menyadari efek yang merugikan pada admisnistrasi kerajaan akibat dari pergumulan faksi-faksi selama pertengahan akhir abad 17, dan mencoba untuk mengakhiri pergumulan faksi-faksi segera setelah ia naik tahta. Yeongjo menerapkan kembali pajak dinas militer yang universal, yang sebelumnya sempat diterapkan tetapi berumur pendek, bahkan ia kemudian keluar dari Gerbang Istana untuk mengumpulkan pandangan dari para pejabat, sarjana terdidik, prajurit, dan rakyat biasa. Yeongjo mengurangi pajak dinas militer sebesar setengahnya dan memerintahkan untuk menggenapi kekurangannya dari pajak penangkapan ikan, garam, kapal-kapal dan pajak tambahan dari tanah. Yeongjo juga mengatur sistem keuangan dari pendapatan dan pengeluaran kerajaan dengan mengadopsi sistem akuntansi. Kebijakan-kebijakannya yang realistik mengizinkan pembayaran pajak dengan gandum di daerah terpencil area pegunungan provinsi Gyeongsang-do, sampai pada pelabuhan terdekat dengan pembayaran katun atau uang sebagai pengganti gandum. Perputaran mata uang didukung dengan peningkatan pembuatan koin logam. Perhatian Yeongjo pada usaha meningkatkan kehidupan rakyat biasa dinyatakan dengan keinginannya untuk mendidik rakyat dengan membagikan buku-buku penting dalam tulisan Korea (Hangul), termasuk Buku Teknik Pertanian (Agrikultur). Alat pengukur hujan dibuat kembali dengan jumlah yang banyak dan dibagikan kepada para pejabat administrasi lokal dan mengusahakan proyek-proyek pekerjaan umum secara besar-besaran. Yeongjo meningkatkan taraf hidup masyarakat biasa dengan membuka kemungkinan lain untuk peningkatan status sosial dan melakukan perubahan yang tak mungkin lagi terelakkan. Kebijakan-kebijakan yang dilakukan Yeongjo dimaksudkan untuk menegaskan kembali Kerajaan yang berdasarkan Konfusianisme dan suatu pemerintahan yang manusiawi, tetapi mereka tak bisa lagi mencegah gelombang perubahan sosial yang dihasilkan setelahnya. Jumlah aktivitas para pedagang meningkat dengan cepat. Pengumpulan modal melalui monopoli dan grosir berkembang melalui berbagai organisasi perkumpulan pedagang, dan banyak dari mereka berpusat di Hanyang. Pembagian secara tradisional antara toko-toko pemerintah, peyuplai barang-barang upeti berlisensi, dan para pemilik toko-toko kecil di gang-gang dan jalan-jalan menyatukan mereka dan terjalin menjadi suatu sistem monopoli dan grosir. Tak peduli dengan status, banyak para aristrokat kelas yangban dan rakyat biasa bersinggungan di semacam aktivitas perdagangan. Dan karena itulah Hanyang membuat suatu kemajuan besar sebagai suatu kota industri dan perdagangan pada abad ke-18. Permintaan yang tinggi atas kerajinan tangan dan barang-barang semacam pisau, topi dari bulu kuda, meja makan, dan barang-barang tembaga meningkat luar biasa. Aturan-aturan yang membatasi penggunaan topi bulu kuda yang aslinya untuk membedakan kelas Yangban lama-lama menghilang. Bahkan buku-buku bajakan kemudian diperdagangkan saat persaingan berkembang di antara kelas Yangban yang kaya, yang bersaing dalam publikasi koleksi karya-karya literatur dari leluhur mereka yang terkenal. Ini juga menjadi awal dari pencetakan karya-karya puisi dan fiksi populer. Orang-orang terutama sangat menghargai satire dan kritik-kritik sosial. Salah satu contohnya adalah Chunhyangjeon (Kisah dari Chunghyang) yang mengisahkan mengenai kesetiaan seorang putri dari seorang Gisaeng yang secara luas dibaca sebagai sindiran yang ditujukan untuk mengekspos keserakahan dan keangkuhan pejabat pemerintah. Anti-korupsiRaja juga diketahui sangat menghargai Park Mun-su, yang ia tunjuk sebagai Amhaeng-eosa (암행어사), seorang inspektur rahasia pemerintah di bawah perintah Raja. Park, yang melakukan jasa sangat besar dalam meredakan pemberontakan Yi In-ja, mengelilingi negara untuk menangkapi para pejabat lokal yang korupsi atas nama raja. KontroversiSatu-satunya insiden yang menyedihkan selama masa pemerintahan Yeongjo adalah kematian putranya, Putra Mahkota Sado. Sejarah mencatat kalau Sado kemungkinan besar menderita penyakit kelainan jiwa, dituduh secara membabi buta membunuh sembarang orang di dalam istana dan dianggap menderita kelainan seks. Yeongjo, karena peraturan Istana, tidak dapat membunuh putranya dengan tangannya sendiri, sehingga di suatu hari yang panas di bulan Agusutus pada tahun 1762, Sado diperintahkan untuk masuk ke dalam kotak kayu besar bekas penyimpanan beras. Setelah 8 hari, Sado mati lemas.[2] Pada abad ke-19, ada rumor bahwa Pangeran Sado sebenarnya tidak menderita kelainan jiwa, tetapi ia difitnah, namun rumor ini dibantah oleh istrinya di The Memoirs of Lady Hyegyeong. Agama KatolikYeongjo adalah tokoh pertama yang beraksi melawan aktivitas-aktivitas Katolik Roma di dalam kerajaannya. Pada abad ke-18, Agama Katolik mulai mendapat pengikutnya terutama di provinsi Gangwon dan Hwanghae. Pada tahun 1758, Yeongjo secara resmi menganggap Katolik sebagai sebuah praktik yang jahat. Kematian14 tahun kemudian Yeongjo meninggal, putra Sado, Jeongjo, naik takhta dan menjadi raja. Masa-masa awal pemerintahannya ditandai oleh intrik-intrik politik dan kecemasan para pejabat istana yang takut jika Jeongjo akan membalas dendam pada mereka atas petisi yang diajukan mereka yang menyebabkan kematian ayahandanya, Putra Mahkota Sado. Yeongjo dimakamkan di makam kerajaan di Donggureung. Ia dimakamkan bersama istri keduanya di makam kerajaan Wonneung (원릉, 元陵) di kota Guri. Keluarga
Nama Lengkap Anumertanya
Referensi
Lihat pula
|