Share to:

 

Agustinus Yu Chin-gil

Agustinus Yu Chin-gil (1791-1839) adalah seorang martir Katolik Korea yang berasal dari keluarga pejabat pemerintahan. Diantara para martir dari Korea, dia adalah salah satu dari tiga orang yang memegang jabatan pemerintahan dan juga adalah ayah dari seorang martir yang berusia 13 tahun yaitu Santo Petrus Yu Tae-chol yang juga menjadi martir termuda dalam 103 Martir dari Korea.

Dia dikenal sebagai orang yang memiliki kontemplasi yang mendalam. Dia ingin tahu tentang asal usul dan makna dari fenomena alam, secara khusus filosofi dan kebenaran agama tentang asal usul manusia, dia menghabiskan waktu di malam hari memeriksa teks-teks Neo-Konfusianisme untuk mencari jawaban. Namun demikian, semakin banyak dia mempelajari tulisan klasik itu, semakin tidak puas dengan Tae-geum-eum-yang (pejelasan tradisional Korea tentang realitas). Pencariannya membawa dia untuk menyelidiki ajaran Taoisme dan Buddhisme. Apa yang menjadi asal muasal dari alam semesta? Apakah Li (prinsip dasar) yang dikatakan dalam Neo-Konfusianisme atau Kong (kehampaan) dalam Buddhisme atau Mu (ketidakadaan) dalam Taoisme?

Dalam masa mudanya, dia mendengar tentang umat Katolik yang ditangkap dan dibunuh. Dia mulai bertanya-tanya apakah buku yang mereka pelajari dapat membantu dia. Suatu hari, dia menemukan sebuah peti tua yang tersembunyi di sudut rumah. Di dalamnya tertumpuk lembaran kertas dengan kata-kata seperti “roh kehidupan”, “roh pengertian”, dan juga “jiwa” yang tertulis di sana. Hal tersebut tidak pernah dia temukan di dalam buku yang sudah dia baca. Ketika merobek lembaran-lembaran itu dan menyatukan lembaran-lembaran menjadi satu bagian, dia menemukan bagian buku yang berjudul Cheon-ju-sil-ui (Makna yang Benar dari Tuhan di Surga).

Tulisan pertama Katolik yang dibawa ke Korea oleh para utusan atau penerjemah yang pergi ke Beijing untuk melakukan urusan resmi. Karena anggota keluarga Yu Chin-gil telah mengunjungi Tiongkok sebagai seorang penerjemah ada di antara mereka yang membawa kembali buku itu. Namun, karena penganiayaan tahun 1801, ketika orang-orang diperintahkan untuk menghancurkan semua buku Ajaran Barat, keluarga Yu memerlukan buku itu dengan alasan memperbaiki kotak penyimpanan yang rusak.

Yu Chin-gil memeriksa berkali-kali halaman-halaman yang rusak. Mereka tersentuh dengan pertanyaan yang mengusiknya. Namun telalu banyak halaman yang sobek tidak cukup memuaskannya. Sehingga dia berharap untuk menemukan sebuah salinan yang lengkap, dia mulai menanyakan di mana untuk berteme dengan umat Katolik. Suatu haru dia bertemu dengan Paulus Yi Kyong-on yaitu adik dari Karolus Yi Kyong-do dan Lutgardis Yi Soon-i, mereka berdua menjadi martir pada tahun 1801. Setelah pembicaraan panjang dan mereka berpikiran sama. Yu meminjam buku “Makna yang Benar dari Tuhan di Surga” dan buku-buku lainnya tentang Ajaran Barat. Dia menemukan bahwa ada yang tunggal yang menciptakan dan memelihara dunia. Yang tunggal itu bukan prinsip dasar yang dibicarakan oleh para Neo-Konfusianis ataupun Kong dalam Buddhisme atau Mu dalam Taoisme. Namun, Tuhan yang berada di Surga. Manusia tidak hanya memiliki tubuh, tetapi juga roh, sehingga ketika manusia meninggal tubuhnya hancur namun jiwa mereka tetap abadi dan diadili di Penghakiman Terakhir Allah.

Dia berlutut dan merasa kagun, “Sifat dasar manusia bukan untuk tumbuh dan menjadi gemuk, tetapi untuk memoles jiwa mereka supaya menjadi bersinar dan indah. Sesungguhnya inilah kebenaran yang tepat.” Dia seolah-olah mata jiwanya terbuka dan dia mulai melihat matahari bersinar melalui awan yang gelap.

Dia kembali ke Paulus Yi, dari dialah dia belajar doa Bapa Kami dan Salam Maria serta Sepuluh Perintah Allah. Tak lama kemudian, dia siap untuk memasuki Gereja. Melalui suatu titik temu antara pemikiran Barat dan Timur, Yu Chin-gil memecahkan pertanyaan yang paling mengusik dia. Dia dikenalkan dengan Paulus Chong Ha-sang dan umat Katolik lainnya.

Pada saat itu, berlanjut dengan penganiayaan tahun 1801, ketika Pastor Chu Mun-mo manjadi martir, beliau adalah seorang imam dari Tiongkok yang dikirim dari Beijing karena tidak ada seorang imam pun di Korea. Umat Katolik yang selamat dari penganiayaan, berjuang untuk membangun kembali Gereja dan juga ingin seorang imam lainnya yang dikirim dari Tiongkok. Walaupun dia belum dibaptis, melalui bimbingan Paulus Chung Ha-sang, dia membacakan doa pagi dan doa malam setiap harinya dan dengan setia mengikuti Sepuluh Perintah Allah.

Pada bulan Oktober 1824, delegasi diplomatik musim dingin bersiap-siap untuk pergi ke Tiongkok. Yu Chin-gil tidak ingin melewatkan kesempatan ini, sehingga dia berusaha supaya dia dimasukkan sebagai seorang penerjemah dan menemani Paulus Chung Ha-sang yang seorang kelahiran bangsawan dan menyamar sebagai hambanya.

Para delegasi tiba dengan selamat di Beijing. Menghindari teman-teman mereka, kedua orang Katolik ini memisahkan diri untuk bertemu dengan Uskup Beijing. Dalam bahasa Mandarin, Yu meminta kepada beliau untuk dibaptis. Uskup merasa senang untuk menerima tamu dari tempat yang jauh, namun beliau perlu bertanya kepada Yu Chin-gil untuk mengetahui seberapa banyak dia tahu tentang ajaran Gereja. Yu Chin-gil menjawab dengan jawaban yang tepat sebagaimana tertulis dalam Katekismus. “Mengapa manusia lahir ke dunia? Untuk mengetahui dan menghormati Allah dan juga untuk menyelamatkan jiwa mereka …” Uskup merasa kagum akan umat beriman yang semangat dan dibimbing dengan baik ini berasal dari sebuah Gereja yang dianiaya dan tanpa kaum klerus. Uskup berseru, “Ini memang suatu mukjizat dari Allah.”

Yu Chin-gil dibaptis dalam suatu Misa istimewa. Ketika imam mengucapkan, “Terimalah dan makanlah. Inilah Tubuh-Ku yang dikurbankan bagimu,” dia merasa seakan-akan darah Yesus mengalir dalam nadinya.

Dia kembali ke penginapannya, namun dia tidak dapat tidur. Dia merasa seolah-olah hatinya bersinar dengan terang dalam ruangan yang gelap. Dia merasa tersentuh oleh pengalaman rohani yang dalam. Dia berlutut dan berdoa.

“Ya Allah, saya bersyukur atas jalan yang luar biasa yang Engkau membawa saya untuk dibaptis. Kirimkanlah imam-imam ke tanah air kami sehingga orang-orang yang tinggal dalam kegelapan dapat merasakan sukacita dengan menerima Ekaristi. Semoga hamba yang bodoh ini, apapun penderitaan dan penganiayaan yang akan datang, dapat menjadi saksi bagi Engkau dengan mempersembahkan hidup saya dalam karya Allah untuk membuka mata bangsa kami. Berikan kami iman yang dalam, kuat dan berani yang kami butuhkan. Amin.”

Para utusan Korea belajar tentang ilmu pengetahuan praktis dan penemuan-penemuan Barat dari para imam di Beijing. Dalam diskusi mereka dengan para imam dari Barat membuat mereka menjadi mengetahui berbagai aspek ajaran Barat. Mereka sangat terkejut mengetahui bahwa Tiongkok bukanlah pusat dunia ataupun sebagai negara yang paling tercerahkan di dunia. Mereka terkejut mendengar bahwa manusia tidak diciptakan sebagai bangsawan atau rakyat biasa, namun pemisahan itu adalah suatu sistem sosial dimana para bangsawan menindas rakyat biasa. Manusia sama di hadapan Allah dan semua adalah saudara dan saudari dalam Kristus, Putera Allah.

Dengan kara-kata seperti kesetaraan, kasih yang universal dan kebebasan, terngiang di telinganya, Agustinus Yu Chin-gil merasa seolah-olah ajaran para orang bijak dari Tiongkok runtuh di sekitarnya. Seolah-olah dia merasa mendengar gemuruh guntur dan melihat Yesus bangkit dari Golgota. Itulah tanda iman dan penemuan akan Allah. Bahkan sebelum dia berangkat ke Beijing, dia memiliki iman yang tidak takut mati, namun setelah setelah bertemu dengan para imam dari Barat, pemahamannya semakin dalam dan matanya semakin cerah.

Orang Katolik Korea, karena imannya telah memandu mereka dalam perubahan yang besar dalam kesadaran orang-orang Korea. Di sebuah negara yang tidak mengenal Allah, mereka menaburkan benih yang akan mengubah hidup mereka. Hal ini disebabkan, mereka memiliki cinta akan kebenaran dan penyelenggaraan Ilahi. Agustinus Yu Chin-gil dan Paulus Chong Ha-sang meminta kepada para imam untuk bertemu dengan uskup yang kemudian menerima mereka dan bertanya tentang kebutuhan Gereja di Korea. Agustinus Yu Chin-gil bercerita kepada beliau tentang kesulitan yang harus diatasi dalam usaha mereka untuk bertemu dengan uskup. Gereja mereka berada dalam keadaan yang menyedihkan. Hampir selama 20 tahun tanpa seorang imam. Agustinus Yu Chin-gil beruntung dapat pergi ke Tiongkok dan menerima baptisan, namun para katekumen di Korea yang tidak dapat menerima baptisan, dan banyak umat Katolik yang tidak dapat menerima Sakramen Krisma, Pengakuan Dosa, Ekaristi dan sakramen-sakramen lainnya. Uskup merasa hatinya tergerak oleh apa yang mereka katakan. Beliau menjawab dengan menyesal, karena penganiayaan di Tiongkok, para imam tidak dapat keluar masuk ke negara itu (Tiongkok) dengan bebas, sehingga beliau tidak mempunyai seorangpun untuk dikirimkan ke Korea. Namun demikian, jika mereka menulis surat langsung kepada Paus dengan menjelaskan situasi uskup, Paus akan melakukan semua yang dapat beliau bisa untuk mendukung permintaan mereka. Agustinus Yu Chin-gil dan Paulus Chong Ha-sang mendapat keberanian dari janji uskup untuk membantu mereka. Mereka kembali ke penginapan mereka dan membuat surat berikut ini untuk meminta imam. Mereka tahu bahwa jika surat ini ditemukan oleh pihak berwenang Korea akan menimbulkan suatu penganiayaan lagi, mereka menandatangani surat itu dengan nama “Ambrosius.”

“Bapa Suci,

Dengan hati yang resah kami menyapa Yang Mulia dan mencari bantuan Anda. Sejak Pastor Zhou Mun-mo menjadi martir, penyebaran Injil menjadi terhambat oleh penganiayaan. Sekitar seribu umat beriman masih dalam persembunyian dan hanya dapat melakukan hal-hal kecil dalam menjadi saksi atau penginjilan.

Tidak peduli seberapa banyak kebenaran ajaran dalam Gereja Korea, jika Gereja terus menerus dalam keadaan saat ini, kebenaran itu akan menjadi sia-sia. Karena pemikiran kami tidak pandai, ajaran Gereja tidak menghasilkan buah dan rahmat Allah menjadi terhalang. Mereka yang sekarat karena lanjut usia atau sakit, tidak dapat menerima Ritual Terakhir dan mereka menuju ke kuburan mereka dengan kesedihan. Dan orang yang mereka tinggalkan, harus bertahan dalam kedukaan dan merasa lelah dalam menghadapi hidup. Kedukaan dan rasa sakit perlahan-lahan memakan hati kami. Oleh karena itu, meskipun kami terlibat dalam bahaya, kami dalam beberapa kesempatan meminta Uskup Beijing untuk membantu kami. Uskup bersimpati bersama kami dalam kecemasan kami ini dan ingin mengirimkan imam untuk memberikan kehidupan baru bagi jiwa-jiwa yang telah jatuh ke dalam dosa, namun Beliau tidak memiliki seorangpun.”

Setelah menjelaskan situasi di Korea dengan cara ini, mereka menyarankan bahwa mungkin ada misionaris di Makau yang bisa datang dengan bantuan dari mereka (Agustinus Yu dan Paulus Chong). Mereka melanjutkan dengan menyatakan cara yang sebaiknya imam-imam itu datang, jika mereka datang dengan menggunakan perahu, berapa orang pelaut yang dibutuhkan, bahaya-bahaya apa yang perlu dihindari, tempat terbaik untuk berlabuh, dan bagaimana menangani para pejabat pemerintahan jika bertemu dengan mereka.

Ketika mereka selesai menulis surat kepada Paus, mereka memberikannya kepada uskup. Uskup mengirimkan surat itu ke perwakilan Kongregasi bagi Penginjilan di Makau yaitu Pastor Umpierres, yang menerjemahkan surat itu ke bahasa Latin dan mengirimkannya kepada Paus pada tanggal 3 Desember 1826. Ketika mereka kembali ke Korea, Agustinus Yu Chin-gil dan Paulus Chong Ha-sang memberikan laporan lengkap kepada Nam Myong-hyok dan para pimpinan lainnya. Berita tentang surat yang telah dikirim kepada Paus memberikan harapan baru dan juga keberanian kepada Gereja yang rapuh ini. Ketika Agustinus Yu Chin-gil pulang, kabar baik menunggu dia. Dia sekarang memiliki seorang putra yang dia beri nama Petrus Tae-ch’ol.

Karena permohonan Agustinus Yu Chin-gil dan teman-temannya, pada tanggal 9 September 1831, Paus Gregorius XVI mendirikan Korea sebagai Vikariat Apostolik yang terpisah dengan Beijing dan menunjuk Bartholomew Bruguiere dari Serikat Misi Paris (Paris Foreign Missions Society / Société des Missions étrangères de Paris disingkat menjadi M.E.P.) sebagai uskup pertama. Inisiatif ini terjadi karena surat tahun 1826 yang membuat hati Paus tergerak.

Uskup Bruguiere yang sedang bekerja di Bangkok, Thailand, menerima kabar pengangkatannya sebagai uskup pertama Korea, beberapa saat setelah tanggal 25 Juli 1832. Sayangnya, dalam usahanya memasuki Korea, Uskup Bruguiere jatuh sakit di Yodong ketika dia dalam perjalanan menuju Korea dan meninggal pada tanggal 20 Oktober 1835. Tak lama kemudian berita ini sampai ke Korea. Agustinus Yu Chin-gil dan teman-temannya semakin merasa sedih, namun mereka bertekad untuk tetap berusaha untuk membantu imam-imam lainnya untuk memasuki negaranya. Sementara itu, Agustinus Yu Chin-gil bertindak seperti seorang imam dan mempertobatkan orang-orang terkemuka dan para sarjana. Namun demikian, dia tidak dapat mempertobatkan istrinya dan putri-putrinya sendiri walaupun putranya mengikuti dia dalam iman. Putranya yang berusia 13 tahun yaitu Petrus Yu Tae-c’hol menjadi martir paling muda dalam 103 santo-santa martir dari Korea.

Agustinus Yu Chin-gil ditangkap di rumahnya pada bulan Juli 1839. Banyak kerabatnya memohon kepada dia supaya dia menyangkal agamanya, namun dia menolak untuk melakukannya. Kerabat-kerabatnya mengingatkan dia apa yang akan terjadi terhadap keluarganya, jabatannya dan kekayaannya, namun Agustinus Yu Chin-gil berkata kepada mereka bahwa lebih penting untuk menyelamatkan jiwa daripada memelihara tubuh, walaupun demikian dia meminta maaf karena menyebabkan masalah bagi mereka. Kepala polisi melakukan interogasi. “Sebagai seorang pejabat pemerintahan, bagaimana mungkin Anda menaati agama yang dilarang oleh pemerintah? Beritahu kami di mana umat Katolik dan di mana buku-buku itu disembunyikan.” Agustinus Yu Chin-gil tidak memberitahukan apapun, sehingga dia disiksa dengan berat sebanyak lima kali, dan dagingnya terkoyak.

Kepala polisi bertanya kepada Agustinus Yu Chin-gil tentang Uskup Imbert dan kedua misionaris lainnya. Agustinus berkata kepada kepada kepala polisi bahwa mereka datang ke Korea untuk mengajar orang Korea tentang Allah dan menyelamatkan jiwa-jiwa orang Korea. Dia berkata bahwa para misionaris tidak mencari kejayaan, kekayaan dan kesenangan. Kepala polisi mempeertanyakan tentang siapa yang membawa mereka ke Korea. Agustinus Yu Chin-gil berkata bahwa dia yang membawa mereka. Kemudian, kepala polisi membawa masuk Uskup Imbert dan menanyai mereka bersama. Uskup memberi tahu Agustinus Yu Chin-gil bahwa pemerintah sudah mengetahui bahwa Pastor Maubant dan Pastor Chastan berada di Korea.

Namun demikian, Agustinus Yu Chin-gil menolak untuk memberitahukan nama-nama pemimpin Gereja di Korea. Kedua kakinya dipelintir dan diikat dengan tali, dan mengucurkan banyak darah. Polisi terus melanjutkan interogasi, “Kejahatan semacam ini bukanlah dilakukan sendirian oleh orang yang bodoh dan rendahan seperti kamu. Siapa di antara umat Katolik yang mendalangi ini? Karena kamu sudah meninggalkan adat dan ritual yang indah dari negerimu dan menerima cara-cara yang berbahaya dari negeri asing, bahkan jika kamu dijatuhi hukuman mati sepuluh ribu kali, apakah hukuman itu tidak akan terlalu ringan? Ini adalah interogasi yang serius. Jadi jawablah dengan hati-hati tanpa adanya kebohongan.” Mereka menekankan bahwa ajaran Katolik itu sesat, berbahaya dan anti-sosial, dan bagi mereka yang membawa imam asing masuk ke negara ini telah melakukan pengkhianatan.

Namun demikian, Agustinus Yu Chin-gil menjawab mereka dengan tenang, “Saya sudah mengatakan kepada para penyidik, semua yang sudah saya lakukan. Sepuluh tahun yang lalu, saya bergabung dengan Paulus Chong Ha-sang dan kelompoknya dalam mempelajari Gereja Katolik. Ketika saya merenungkan apa yang telah saya pelajari, saya menyadari bahwa ada berbagai sakramen dan prosedur dalam Gereja yang hanya dapat dilakukan oleh seorang imam. Karena Allah adalah Tuhan Mahatinggi pemilik langit dan bumi, kami harus percaya kepada-Nya dan memuji Dia. Satu-satunya kejahatan yang saya lakukan adalah membohongi raja karena ajaran ini dilarang oleh negara. Saya sudah berada di dalam penjara selama tiga bulan. Di antara umat Katolik yang saya ketahui, beberapa dari mereka telah menderita karena dihukum mati, beberapa lagi ditahan di penjara, dan sisanya terpencar seperti angin. Karena saya lahir dan hidup di ibu kota bagaimana saya bisa tahu apapun tentang orang-orang di negara ini? Jika saya melakukan kejahatan besar, saya sendiri yang bertanggung jawab.” Kepala polisi bertanya kembali, “Bagaimana kamu bisa berubah menjadi melanggar hukum negara dan jatuh ke dalam tindakan pengkhianatan?” Dia manjawab, “Bagaimana Anda dapat membandingkan antara menderita karena hukuman mati dengan pergi ke neraka setelah kematian? Mana yang lebih buruk? “Agustinus Yu Chin-gil berkata dan tidak ingin berdebat lebih panjang lagi. Sehingga dia berkata demikian, “Tidak ada yang ingin saya katakan lagi. Satu-satunya dosa saya yaitu membohongi raja. “

Sesudah itu, Agustinus Yu Chin-gil disiksa sebanyak dua kali di dua penyiksaan yang berbeda. Dagingnya terkoyak dan tulang-tulangnya sangat remuk. Namun imannya tidak goyah dan dia menerima hukuman mati.

Pada tanggal 22 September 1839, Agustinus Yu Chin-gil dan Paulus Chong Ha-sang dibawa ke bagian luar Pintu Gerbang Kecil Barat di Seoul. Di perjalanan menuju tempat eksekusi, Agustinus Yu Chin-gil tidak menunjukan tanda-tanda ketakutan. Seolah-olah dia tidak tertarik dengan dunia dan larut dalam kontemplasi. Dia dipenggal dengan wajah yang tenang. Agustinus Yu Chin-gil dibeatifikasi pada tanggal 5 Juli 1925 dan dikanonisasi pada tanggal 6 Mei 1984 di Yoido, Seoul oleh Paus Yohanes Paulus II.[1]

Referensi

Kembali kehalaman sebelumnya