Atropin
Atropin adalah obat golongan antimuskarinik (sebelumnya disebut antikolinergik) yang digunakan untuk mengurangi motilitas (pergerakan) usus. Atropin memiliki rumus kimia C17H23NO3. Obat ini juga digunakan untuk mengatasi denyut jantung yang menurun (bradikardia), gejala keracunan pestisida, dan untuk prosedur praoperatif (baik untuk operasi bedah umum maupun untuk operasi mata katarak).[2][3][4][5] Atropin dapat ditemukan di dalam tanaman Atropa Belladona. Obat ini berbentuk kristal putih, tidak berbau, berasa pahit, dan sensitif terhadap cahaya.[5][6][7] Efek samping penggunaan obat ini adalah detak jantung tidak teratur atau cepat, sakit kepala, mual, kembung, nyeri ulu hati, sembelit, sulit buang air kecil, dan mulut kering.[6][8] Sifat fisik dan kimiaAtropin adalah obat berbentuk bubuk kristal berwarna putih atau kristal berbentuk seperti jarum yang tidak berbau dan berasa pahit. Sangat mudah larut dengan berat molekul 289,38 g/mol. Sebagai alkaloid belladonna, atropin adalah gabungan L-isomer dan D-isomer hiosiamina. Rumus kimia atropin adalah C17H23NO3. Titik lelehnya 118,5 °C, daya larutnya 1 gram dalam; 2 ml alkohol, 25 ml eter, 27 ml gliserol, dan 1 ml kloroform (sangat larut dalam etanol, mudah larut dalam kloroform, dan tidak larut dalam etil eter). Di dalam air, daya larutnya adalah 2.200 mg/l pada suhu 25 °C atau kira-kira 1 gram atropin dalam 445 ml air pada suhu 80 °C. Atropin sensitif terhadap cahaya, sebaiknya disimpan pada suhu ruang, dan jangan sampai membeku (penyimpanan tidak dibawah suhu 29 °C). Hidrolisis terjadi pada pH minimal 3,5. Atropin bila dipanaskan akan mengeluarkan asap nitrogen oksida yang beracun. Konstanta disosiasi asam atau pKa-nya (ukuran ketahanan terhadap asam) adalah 9,8.[5][6][7][9][10] FarmakodinamikaAtropin digunakan untuk mengatasi kontraksi atau kejang otot pada perut, kandung kemih, usus, dan saluran empedu. Obat ini juga digunakan untuk mengatasi kolitis, divertikulitis, irritable bowel syndrome, mengurangi produksi cairan tubuh seperti asam lambung, mengurangi produksi air liur dan keringat berlebih, stabilisasi denyut jantung selama proses operasi, dan digunakan untuk mengobati keracunan pestisida golongan organofosfat.[2][4][6][10][11] Efek parasimpatolitik atropin digunakan untuk mengatasi bradiaritmia dengan cara meningkatkan kecepatan konduksi nodus sinoatrial atau NSA dan nodus atrioventrikuler NAV, meningkatkan laju pelepasan SAV, dan menurunkan periode refrakter efektif NAV. Ketiga hal ini akan menyebabkan peningkatan denyut jantung. Atropin juga menurunkan aktivitas sistem saraf parasimpatis terhadap beberapa kelenjar seperti kelenjar bronkus, kelenjar saliva, dan kelenjar keringat. Atropin dapat digunakan sebagai antidot untuk keracunan organofosfat dengan cara menghambat efek kolinomimetik dari pestisida ini.[6][12][13] Interaksi dengan obat/zat lainAtropin berinteraksi dengan berbagai obat, seperti amantadin (obat agonis dopaminergik) yang akan meningkatkan efek antikolinergiknya. Pemberian atropin dengan levodopa akan menurunkan efek atropin. Pemberiannya bersamaan dengan obat antikolinergik seperti antidepresan golongan trisiklik, antihistamin, fenotiazin, disopiramid, dan quinidine akan meningkatkan aktivitas antikolinergik sistem saraf pusat dan sistem saraf perifer. Begitupun dengan antagonis reseptor muskarinik golongan amina tersier yang digunakan untuk antispasme seperti disikloamina, oksifensiklimin, flavoksat, dan oksibutinin. Selain dengan obat, atropin juga berinteraksi dengan herba seperti Areca catechu (dikenal di Indonesia dengan nama pinang). Interaksinya dengan pinang akan menurunkan suhu dan meningkatkan efek sistem saraf pusat. Interaksi dengan Pilocarpus microphyllus atau jaborandi akan menurunkan efek atropin, interaksi dengan jimsonweed akan memberikan efek yang kurang baik untuk sistem kardiovaskular, interaksi dengan Pill-Bearing Spurge (Euphorbia Hirta atau Euphorbia pilulifera) akan menurunkan efek atropin yang serupa dengan efek pada jaborandi, dan interaksi dengan squawvine (Gaultheria procumbens) akan mengganggu metabolisme atropin karena kandungan asam tanat yang ada di dalam squawvine.[12][14] Ada empat obat yang berinteraksi mayor dengan atropin sebagai obat antikolinergik. Pemberian potasium klorida dan potasium sitrat akan meningkatkan risiko terjadinya perdarahan saluran cerna bagian atas. Hal ini terjadi karena adanya peningkatan waktu transit saluran cerna karena penurunan gerakan lambung dan usus. Kondisi ini akan menyebabkan ion potasium terlokalisasi di saluran pencernaan atas, larut, dan meningkat kadarnya di area tersebut. Kontak yang lama antara ion potasium dengan mukosa saluran pencernaan akan menyebabkan ulserasi, stenosis, perforasi, dan obstruksi.[15][16] Pemberian atropin dengan topiramat (obat antikejang) dan zonisamid (obat antikejang dan untuk penyakit parkinson) akan meningkatkan risiko oligohidrosis (berkurangnya produksi keringat) dan hipertermia. Hal ini terjadi karena kombinasi kedua obat ini akan menghambat anhidrase karbonat sehingga keseimbangan elektrolit dan cairan terganggu, menghambat proses pembentukan keringat di perifer, dan mengganggu pusat regulasi suhu tubuh di hipotalamus.[17][18] Mekanisme kerjaAtropin adalah antagonis kompetitif untuk reseptor asetilkolin muskarinik tipe M1, M2, M3, M4, dan M5, yang akan menyebabkan inhibisi parasimpatis reseptor asetilkolin di otot polos. Hal ini akan meningkatkan curah jantung dan memberikan efek antimuskarinik. Sebagai antagonis asetilkolin nonselektif, atropin meningkatkan aktivitas nodus sinoatrial (NSA) dan konduksi nodus atrioventrikular (NAV) jantung, bekerja berlawanan dengan aksi saraf vagus, memblokir tempat reseptor asetilkolin, dan menurunkan sekresi bronkus paru. Efek konstriksi pupilnya tergantung dari aktivasi reseptor kolin. Atropin menghalangi aktivasi ini sehingga menyebabkan midriasis (pelebaran pupil mata) dan aktivitas dilasi simpatis, melemahkan kontraksi otot siliaris, dan menyebabkan sikloplegia (paralisis otot siliaris).[6][19][20][21][22] FarmakokinetikaAtropin didistribusi ke seluruh tubuh dengan sangat baik. Hanya sekitar 18% dari obat ini yang berikatan dengan protein plasma yang secara klinis tidak memberikan efek samping. Atropin dimetabolisme di hati menghasilkan beberapa metabolit, dengan 30-50% dari dosis pemberian diekskresikan melalui ginjal dan sebagian kecil lagi melalui feses dan udara ekspirasi. Waktu paruhnya bersifat bifasik, dengan fase awal 2 jam dan dilanjutkan dengan waktu paruh terminal sekitar 12 jam.[5][6][12][20] Absorbsi atropin oral lebih lambat bila dibandingkan dengan atropin parenteral. Atropin diabsorbsi utamanya di jejenum dan duodenum. Pada anak, absorbsi rektal lebih lambat bila dibandingkan absorbsi atropin yang diberikan dengan cara intramuskular. Atropin atau atropin sulfat yang diberikan melalui intramuskular akan mencapai kadar maksimum plasmanya dalam 30 menit.[5][6][20] Pada pemberian melalui intravena, atropin akan didistribusikan dengan cepat dan hanya akan tersisa sekitar 5% obat di pembuluh darah dalam 5 menit. Atropin dapat melewati plasenta meskipun tidak ditemukan di dalam cairan ketuban. Sejumlah kecil atropin ditemukan di dalam ASI. Eliminasi paruh waktu atropin lebih lama pada anak di bawah usia 2 tahun dan pada mereka yang berusia tua (lebih dari 70 tahun). Metabolisme atropin di hati dilakukan oleh mikrosom monooksigenase. 5 komponen atropin yang ditemukan di dalam urine adalah atropin, noratropin, tropin, atropin-N-oksida, dan asam tropik.[5][6][20] Efek sampingEfek samping pemberian atropin bervariasi pada setiap individu tergantung pada pada kondisi penyakit, usia, berat badan, jenis kelamin, maupun kondisi kesehatan seseorang. Atropin dapat menyebabkan reaksi alergi seperti pembengkakan bibir, lidah, atau wajah, sulit bernapas, tenggorokan menyempit, atau gatal-gatal. Selain itu dapat timbul efek samping seperti detak jantung tidak teratur atau cepat, sakit kepala, pusing, penglihatan buram, mual, kembung, nyeri ulu hati, sembelit, sulit buang air kecil, bersin, hidung tersumbat, dan mulut kering.[4][6][8][10] SejarahAtropin secara alami dapat ditemukan di dalam tumbuhan Atropa belladonna. Pada tahun 1831, ahli farmasi Jerman, Heinrich F.G. Mein (1799-1864) mampu mengekstraksi atropine dalam bentuk kristal murni. Philipp Lounz Geiger (1785-1836) dari Heidelberg dan muridnya Germain Henri Hess (1802-1850) mengisolasi atropin dari daun belladonna dan hiosiamina dari henbane pada tahun 1833. Ahli kimia Jerman, Richard Willstatter menyintesis substansi ini untuk pertama kalinya, pada tahun 1901. Pada tanaman belladonna, atropine merupakan L-isomer dari hiosiamina (atropin yang digunakan dalam dunia medis saat ini adalah gabungan L-isomer dan D-isomer). Namun efek farmakologis atropin sudah diketahui jauh sebelumnya dari tanaman mandrake (akar tanaman dari genus Mandragora), Hyoscyamus niger (henbane), dan belladonna sendiri. Selain itu, atropin juga dapat ditemukan pada tanaman Datura Stramonium (rumput Jamestown atau jimsonweed). Mandrake pertama kali digunakan dalam pengobatan pada abad keempat sebelum masehi oleh Theophrastus. Tanaman ini digunakan untuk pengobatan luka, gout, sulit tidur, dan sebagai afrodisiak. Di abad terakhir sebelum masehi, Ratu Mesir Kleopatra menggunakan ekstrak henbane untuk membesarkan ukuran pupil matanya untuk menambah daya pikat. Hal ini terus dilakukan hingga zaman renaisans Italia dan fin-de-siècle Paris. Wanita-wanita pada masa ini menggunakan sari buah beri belladonna untuk tujuan yang sama seperti Kleopatra. Seorang dokter dari Yunani, Pedanius Dioscorides, mengetahui efek anestesi dan efek menidurkan yang ada di dalam mandrake sekitar tahun 60 Masehi. Kedokteran Islam dan orang Romawi menggunakan ekstrak Solanaceae dikombinasikan dengan opium untuk efek anestesi hingga ditemukannya laudanum, eter dan kloroform. Avicenna (Abu Ali Hussain ibn Abdullah ibn Sina) menuliskan di dalam al-Qānūn fī aṭ-Ṭibb tentang penggunaan opium, henbane dan mandrake untuk menciptakan kondisi tidak sadar.[19][22][23][24][25][26][27] Referensi
|