Cinta kasih dalam Kekristenan
Cinta kasih dalam Kekristenan merupakan dasar bagi kebajikan teologi Kekristenan sebagaimana sistem etika lainnya. Kebajikan dalam Kekristenan secara konvensional dibagi menjadi tujuh bagian dan jika dikombinasikan dengan tujuh dosa besar dapat menjelaskan seluruh spektrum perilaku manusia. Kebajikan-kebajikan teologis tersebut tidak berasal dari manusia secara alami. Kebajikan tersebut ditanamkan Tuhan melalui Kristus dan kemudian diamalkan oleh orang yang beriman kepada-Nya. Menurut Paul Brett dalam bukunya berjudul Love Your Neighbour, cinta kasih dalam Kekristenan adalah "aku mencintaimu karena kamu adalah manusia seperti diriku". Kebajikan
Menurut Agustinus dari Hippo dan Thomas Aquinas, cinta kasih merupakan bagian dasar dari kebajikan teologi Kekristenan sebagaimana sistem etika lainnya. Kebajikan dalam Kekristenan secara konvensional dibagi menjadi tujuh bagian dan jika dikombinasikan dengan tujuh dosa besar dapat menjelaskan seluruh spektrum perilaku manusia. Mahnaz Heydarpoor dalam bukunya berjudul Wajah Cinta Islam dan Kristen mencatat bahwa tujuh kebajikan tersebut terdiri dari empat kebajikan “alami” (yang sudah dikenal di dunia pagan kuno) dan tiga kebajikan “teologis” (yang secara khusus ditemukan dalam Kekristenan). kebajikan alami dapat diperoleh melalui usaha manusia, tetapi kebajikan teologis muncul sebagai anugerah dari Tuhan.[2] Kebajikan-kebajikan teologis di sisi lain tidak berasal dari manusia secara alami. Kebajikan tersebut ditanamkan Tuhan melalui Kristus dan kemudian diamalkan oleh orang yang beriman kepada-Nya. Kebajikan-kebajikan alami tersebut adalah kebijaksanaan, kesederhanaan, keberanian, dan keadilan. Menurut Mahnaz, daftar kebajikan ini berasal dari Sokrates dan dapat ditemukan dalam pemikiran Plato dan Aristoteles. Selain empat kebajikan itu, Kekristenan menambahkan tiga kebajikan teologis, yaitu iman, harapan, dan cinta kasih.[3] Tiga kebajikan ini awalnya diperkenalkan oleh Paulus dari Tarsus, yang memilih cinta sebagai yang utama dari ketiganya.[2]
Hal ini menandakan bahwa cinta menjadi acuan yang paling menentukan umat Kristiani. Ketika banyak kewajiban berebut perhatian, cinta adalah prioritas yang harus diberikan. Sebegitu pentingnya cinta membuat seluruh perjalanan spiritual dipandang sebagai bentuk cinta. William Johnston, seperti dikutip oleh Mahnaz, menulis sebagai berikut.[2]
Ajaran dalam Kekristenan mengedepankan penekanan cinta kepada Tuhan dan sesama manusia sebagai perintah utama. Orang yang mencintai Tuhan tidak mungkin melakukan segala sesuatu yang bertentangan dengan kehendak-Nya dan selalu melakukan sesuatu yang menyenangkan-Nya. Hal inilah yang menyebabkan Agustinus mengatakan, "Cintailah Tuhan, lalu lakukan apa saja yang kamu sukai”. Ajaran utama dalam moralitas Kekristenan ini didapat dari Perjanjian Lama. Markus 12:28–31 mencatat kisah penting berikut.[2]
Berdasarkan ayat-ayat tersebut, perintah cinta kepada sesama manusia dalam Kekristenan sejajar dengan perintah yang tertinggi dan terpenting, yaitu cinta kepada Tuhan. Paulus mereduksi seluruh hukum menjadi mencintai sesama manusia. Dia berkata sebagai berikut.[2]
Perjanjian Lama juga menyebutkan sebagai berikut.[2]
KonsepTerdapat sejumlah definisi tentang konsep cinta dalam ajaran Kekristenan. Setiap definisi tersebut menekankan aspek-aspek tertentu, misalnya mendefinisikan cinta sebagai keserasian atau kesamaan dengan sesuatu apa yang dipandang – dengan cara tertentu – sebagai sesuai yang menyenangkan. Pengertian ini dapat dilihat di New Catholic Encyclopedia. Ronda Chervin, dalam bukunya berjudul Churh of Love, menyoroti tiga unsur cinta yang dapat diterima secara universal, yaitu:[2]
Ketiga ciri tersebut melekat dalam diri seorang pencinta. Dia senantiasa memasrahkan dirinya kepada orang yang dicintainya, hidup bersama tanpa ada "pembatas", dan merubah dirinya untuk selalu berbuat kebajikan – kepada Yang Kuasa maupun sesama manusia.[7] Cinta selalu mendorong pencinta untuk berbuat sesuatu yang menyenangkan bagi orang yang dicintainya – menyenangkan pula bagi Tuhan yang menciptakan cinta itu sendiri. Dalam ranah historis, terdapat pemahaman cinta dalam Perjanjian Baru yang bersifat Helenistik. Pemahaman Injil tentang cinta (agape) merujuk kepada konsep Platonisme tentang Eros.[8] Meskipun cinta erotis kerap dipahami sebagai hasrat dan nafsu seksual, makna relegius klasik dan filosofisnya adalah “dinamisme jiwa yang melampaui segalanya” atau “hasrat ideal untuk memperoleh kebaikan spiritual dan intelektual tertinggi”.[2] Perjanjian Baru Yunani dalam perkembangan selanjutnya tidak lagi menggunakan kata eros, tetapi lebih banyak menggunakan kata agape. Kata agape dalam bahasa Latin diterjemahkan sebagai caritas, yang selanjutnya muncul dalam bahasa Inggris sebagai charity dan love (cinta). Berdasarkan Perjanjian Baru, agape berarti "cinta timbal balik antara Tuhan dan manusia". Istilah itu memperluas maknanya kepada cinta sesama manusia (lihat 1 Yohanes 4:19–21).[9] Paul Brett dalam bukunya berjudul Love Your Neighbour mengungkapkan sebagai berikut.[2]
Selain itu, Mahnaz turut menguraikan jika agape juga digunakan dalam pengertian yang sama dalam "pesta cinta". Selama abad pertama Masehi, komunitas Kekristenan berkembang menjadi unit-unit mandiri dan memandang diri mereka sebagai suatu komunitas gereja. Mereka menganut dua jenis pelayanan, yaitu pertemuan model sinagoge yang terbuka bagi semua umat, berupa pembacaan kitab suci Yahudi serta agape atau "pesta cinta" yang hanya diperuntukkan bagi kaum beriman saja. Agape adalah perjamuan persahabatan yang mengundang orang-orang miskin. Kegiatan ini biasa dilakukan pada malam hari, yang di dalamnya para peserta berbagi makan dengan disertai upacara singkat – Perjamuan Malam Terakhir – untuk mengenang penyaliban dan kematian Yesus. Inilah pesta thanksgiving (pengucapan syukur) – nama Yunaninya adalah eucharist (ekaristi), yang berarti "persembahan rasa syukur".[2] Konsep charity (kemurahan hati) sendiri serupa dengan cinta. Kalimat tersebut merupakan terjemahan dari kata agape (bahasa Yunani Kuno), yang juga bermakna "cinta". Kemurahan hati adalah bentuk tertinggi cinta – timbal balik antara Tuhan dan manusia yang diwujudkan dalam bentuk cinta tanpa pamrih kepada sesama manusia. Kemurahan hati dalam teologi etika Kekristenan ditunjukkan melalui kehidupan, ajaran, dan kematian Yesus. Agustinus menjelaskan konsep kemurahan hati sebagai berikut.[2]
Para teolog Abad Pertengahan, terutama Thomas Aquinas, menggunakan definisi ini untuk menempatkan kemurahan hati dalam kebajikan teologis (bersama iman dan pengharapan), dan memosisikan kemurahan hati sebagai “dasar atau akar” dari kebajikan teologis. Kalangan reformis Kekristenan sendiri mengidentifikasikan agape Tuhan bagi manusia sebagai cinta yang tidak berbalas. Mahnaz menyimpulkan bahwa mereka mensyaratkan bahwa kemurahan hati – sebagaimana cinta manusia kepada sesamanya – seharusnya didasarkan bukan dari sesuatu yang diinginkan dari objek cinta, melainkan kepada transformasi subjek (pencinta) melalui kekuatan agape Tuhan.[2] Agustinus menggunakan istilah amor (cinta) sebagai penilaian etis yang memengaruhi perilaku. Amor adalah dinamika moral yang mendorong manusia untuk melakukan suatu tindakan. Kebaikan yang lebih rendah merupakan sarana menuju kebaikan yang lebih tinggi. Kebaikan tertinggi sajalah yang dapat “dinikmati” sebagai tujuan puncak, yang merupakan wilayah hati. Bagi Agustinus, kebaikan tertinggi – yang buahnya hanya bisa dicapai setelah manusia mampu mencapai kesempurnaan – adalah Tuhan, yang sifat dasarnya adalah cinta.[2] Lihat pula
Rujukan
Pranala luarWikimedia Commons memiliki media mengenai Christianity. |