Dalem SeganingDalem Seganing adalah raja Bali yang berkuasa pada paruh pertama abad ke-17. Tanggal tepatnya masih belum jelas. Ia berasal dari dinasti yang merupakan keturunan dari seorang perwira Kerajaan Majapahit di Jawa. Ia menetap di puri Gelgel. Naik takhtaDalem Seganing disebut sebagai raja dalam teks religius Usana Bali dan Rajapurana Besakih. Akan tetapi, sebagian informasi perihal masa kekuasaannya berasal dari Babad Dalem, sebuah kronik abad ke-18.[1] Ia adalah putra termuda dari penguasa Gelgel, Dalem Baturenggong, dan putri Dukuh Seganing. Ia setia mendukung kakaknya, raja Dalem Bekung, yang kekuasaannya tergulingkan akibat pemberontakan dan peperangan. Menurut sejumlah versi, ia naik takhta justru sebelum kematian kakaknya.[2] Ia diduga sebagai raja Bali yang pertama kali bertemu pendatang Belanda pada tahun 1597. Dalem Seganing dibantu oleh dua kepala menteri, Kiyayi Agung dan Kiyayi Ler (Lor). Kiyayi Ler diduga identik dengan 'Kiljoer', menteri tertinggi Bali pada masa kunjungan 1597. Menurut sebuah teks Belanda, "Si Kiljoer ini, selain rajanya, menempati jabatan tertinggi di seluruh pulau Bali, dan tidak satupun yang dapat bertemu raja di istana kecuali atas izinnya selain si Kiljoer ini".[3] Masa kekuasaanMasa kekuasaan Dalem Seganing sempat terganggu oleh pemberontakan yang dipimpin bangsawan Pinatih yang dalam teks Bali tercatat tahun 1605. Menteri Kiyayi Agung berhasil meminta Pinatih menyerahkan diri. Kronik tersebut menyebut masa kekuasaan Dalem Seganing dipenuhi perdamaian dan kesuksesan.[4] Kematiannya tercantum tahun 1623 dalam sebuah teks, namun ada juga yang menduga ia mangkat tahun 1651. Ia memiliki 14 putra; Dalem Di Made menggantikannya sebagai Raja Bali.[5] Dalam teks sejarah Babad Buleleng (1920), pendiri Kerajaan Buleleng di Bali Utara, Gusti Panji Sakti, diklaim sebagai anak Dalem Seganing.[6] Silsilah serupa juga diklaimkan pada Dewa Manggis I, nenek moyang raja-raja Gianyar.[7] Ancaman luar dan hubungan dagangDi beberapa teks Belanda, dari luar bisa dilihat bahwa Kerajaan Gelgel di Bali relatif stabil dan kuat pada paruh pertama abad ke-17. Para penguasanya kehilangan kontrol atas Blambangan di Jawa Timur, Lombok, dan Sumbawa. Akan tetapi, aktivitas perang Kerajaan Makassar di Sulawesi Selatan membuat penguasa Gelgel kehilangan Sumbawa pada sekitar tahun 1618-19 dan mengacaukan kekuasaannya di Lombok.[8] Vereenigde Oost-Indische Compagnie atau VOC tertarik dengan potensi ekonomi dan posisi strategis Bali, karena Bali adalah kerajaan Hindu yang berbeda dengan Kesultanan Mataram Islam di Jawa. Barang-barang yang dibeli VOC adalah beras, ternak, dan budak wanita. Sebuah pos dagang sempat didirikan sekitar tahun 1620. Pos tersebut kemudian ditutup dan perdagangan Bali dengan dunia luar akhirnya dilakukan dengan pedagang swasta Belanda, Tiongkok, dan berbagai suku di Indonesia.[9] Referensi
Lihat pulaBacaan lanjutan
|