Suku Bali
Suku Bali (bahasa Bali: ᬳᬦᬓ᭄ᬩᬮᬶ, translit. anak Bali; disebut juga wong Bali atau krama Bali dalam bahasa halus) adalah suku bangsa mayoritas di pulau Bali, yang menggunakan bahasa Bali dan mengikuti budaya Bali. Menurut hasil Sensus Penduduk Indonesia 2010, ada kurang lebih 3,9 juta orang Bali di Indonesia.[1] Sekitar 3,3 juta orang Bali tinggal di Provinsi Bali dan sisanya terdapat di Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Tengah, Lampung, Bengkulu dan daerah penempatan transmigrasi asal Bali lainnya.[1] Asal usulAsal usul suku Bali terbagi ke dalam tiga periode atau gelombang migrasi:
KebudayaanPara gadis memakai sabuk, baju Bali asli Para gadis Bali memakai kebaya modern Kebudayaan Bali terkenal akan seni tari, seni pertujukan, dan seni ukir. Miguel Covarrubias mengamati bahwa setiap orang Bali layak disebut sebagai seniman, sebab ada berbagai aktivitas seni yang dapat mereka lakukan—terlepas dari kesibukannya sebagai petani, pedagang, kuli, sopir, dan sebagainya—mulai dari menari, bermain musik, melukis, memahat, menyanyi, hingga bermain lakon. Dalam suatu desa yang bobrok sekalipun dapat dijumpai sebuah pura yang indah, pemain gamelan andal, dan bahkan aktor berbakat.[3] Bahkan sesajen yang dibuat wanita Bali memiliki sisi artistik pada jalinan potongan daun kelapa dan susunan buah-buahan yang rapi dan menjulang.[4] Menurut Covarrubias, seniman Bali adalah perajin amatir, yang melakukan aktivitas seni sebagai wujud persembahan, dan tidak peduli apakah namanya akan dikenang atau tidak.[5] Seniman Bali juga merupakan peniru yang baik, sehingga ada pura yang didekorasi dengan ukiran menyerupai dewa khas Tionghoa, atau dihiasi relief kendaraan bermotor, yang mereka contoh dari majalah asing.[6] Gamelan merupakan bentuk seni musik yang vital dalam berbagai acara tradisional masyarakat Bali. Setiap jenis musik disesuaikan dengan acaranya. Musik untuk piodalan (hari jadi) berbeda dengan musik pengiring acara metatah (mengasah gigi), demikian pula pernikahan, ngaben, melasti, dan sebagainya.[7] Gamelan yang beraneka ragam pun disesuaikan dengan berbagai jenis tari yang ada di Bali. Menurut Spies, seni tari membuat utuh kehidupan masyarakat Bali sekaligus menjadi elemen penting dalam serangkaian upacara adat maupun pribadi yang tidak ada habisnya.[8] Sebagaimana di Jawa, suku Bali juga mengenal pertunjukan wayang, tetapi dengan bentuk wayang yang lebih menyerupai manusia daripada wayang khas Jawa. Suku Bali juga memiliki aspek-aspek unik yang terkait dengan tradisi religius mereka. Kehidupan religius mereka merupakan sinkretisme antara agama Hindu-Buddha dengan tradisi Bali. KepercayaanSebagian besar suku Bali beragama Hindu. Sebanyak 3,2 juta umat Hindu Indonesia tinggal di Bali,[1] dan sebagian besar menganut kepercayaan Hindu aliran Siwa-Buddha, sehingga berbeda dengan Hindu India. Para pendeta dari India yang berkelana di Nusantara memperkenalkan sastra Hindu-Buddha kepada suku Bali berabad-abad yang lalu. Masyarakat menerimanya dan mengkombinasikannya dengan mitologi pra-Hindu yang diyakini mereka.[9] Suku Bali yang telah ada sebelum gelombang migrasi ketiga, dikenal sebagai Bali Aga, sebagian besar menganut agama berbeda dari suku Bali pada umumnya. Mereka mempertahankan tradisi animisme. Eksistensi kepercayaan suku Bali tak lepas dari campur tangan serta dukungan pemerintah kolonial Belanda, beberapa naturalist, elit Bali dan masyarakat Belanda. Pemerintah kolonial melarang misionaris beroperasi di Bali pada 1881. Pada 1924, misi Katolik Roma ke Bali ditolak elite Bali dan pegawai kolonial mendukung hal itu. Selain itu, misionaris Protestan Belanda yang mau masuk ke Bali pada 1931 juga ditentang.[10] Setelah beberapa kali dilakukan penolakan, pada tanggal 11 November 1931 ketua Christian and Missionary Alliance (CMA), R. A. Affray, membaptiskan 12 orang Bali asli di Yeh Poh, sungai kecil dekat dusun Untal-untal di Desa Dalung. Dari sinilah sebagian suku Bali mulai menganut agama Kristen Protestan dengan gerejanya yaitu Gereja Kristen Protestan Bali (GKPB). Desa Blimbingsari di Kecamatan Melaya, Kabupaten Jembrana adalah salah satu desa di mana penduduknya mayoritas suku Bali yang beragama Kristen.[11] Tata cara penamaanSuku Bali memiliki cara tersendiri dalam menamai anak-anak mereka. Dengan penamaan yang khas ini, masyarakat Bali dapat dengan mudah mengetahui kasta dan urutan lahir dari seseorang. Tidak jelas sejak kapan tradisi pemberian nama depan ini mulai ada di Bali. Menurut pakar linguistik dari Universitas Udayana, Prof. Dr. I Wayan Jendra, S.U. Nama depan itu pertama kali ditemukan muncul pada abad ke-14, yakni saat raja Gelgel, yang saat itu bergelar "Dalem Ketut Kresna Kepakisan", yang merupakan putra keempat dari "Sri Kresna Kepakisan" yang dinobatkan oleh Mahapatih Majapahit, Gajah Mada, sebagai perpanjangan tangan Majapahit di Bali. "Dalem Ketut Kresna Kepakisan" kemudian dilanjutkan oleh putranya, yakni "Dalem Ketut Ngulesir". Namun, Prof. Jendra belum dapat memastikan apakah tradisi pemberian nama depan itu sebagai pengaruh Majapahit atau bukan. Tetapi, hal ini telah menjadi tradisi di Bali dan hingga akhir abad ke-20, masyarakat Bali pun masih menggunakannya. Sistem Strata SosialSistem kehidupan masyarakat Bali disebut Wangsa berbeda dengan catur warna di Weda, wangsa yaitu sistem kekeluargaan yang diatur menurut garis keturunan. Meski saat ini tidak lagi diberlakukan secara kaku sebagaimana pada masa lampau, tetapi dalam beberapa hal masih dipertahankan. Misalnya dalam tradisi upacara adat dan perkawinan masih dikenal pembedaan berdasarkan galur keturunan leluhur yang mengarah pada wangsa di masa lalu. Sistem wangsa ini bermula pada abad XIV saat Kerajaan Bali ditundukkan oleh Majapahit. Pada mulanya wangsa ini dibuat dan dimaksudkan untuk membedakan antara kaum penguasa asal Majapahit dari Jawa yang diberi kuasa memerintah di Bali, dengan masyarakat lokal yang ditaklukkan. Mereka dan keluarganya yang berasal dari Majapahit meski berjumlah minoritas, tetapi memegang penuh semua urusan kehidupan bernegara. Mereka membentuk sendiri strata sosial kelas atas yang berpuncak pada Dinasti Kepakisan, yang berasal dari Majapahit. Mereka menguasai seluruh Pulau Bali dengan membagi kekuasaan di antara mereka, para panglima dan keturunannya. Para raja, bangsawan, pendeta, pembesar Keraton, punggawa militer, abdi Keraton, beserta keluarga mereka yang berasal dari Jawa (Majapahit) menciptakan 3 kelas teratas untuk kalangan mereka.
Sistem wangsa ini pada awalnya juga dibuat sebagai alur pembagian profesi yang berhak diturunkan kepada generasi penerusnya dan tidak boleh diambil oleh wangsa lainnya. Selain itu juga berlaku dalam upacara keagamaan sesuai kedudukan wangsa mereka, terkait besar upacara dan jumlah sesajen yang diwajibkan kepada mereka. Dalam praktiknya diberlakukan pula pada perkawinan, di mana wanita yang berasal dari tri wangsa menikahi pria dari jaba akan kehilangan hak wangsanya serta keturunannya. Begitu juga sebaliknya, para istri diberikan hak naik Wangsa dengan upacara adat pada Wangsa suaminya. Wanita yang telah naik Wangsa karena perkawinan ini kemudian disebut Jero. Seluruh keturunan sah mereka berhak menyandang wangsa yang sama dengan ayahnya sesuai aturan Paternalisme. Sistem wangsa ini masih kuat dipertahankan dalam sistem penamaan masyarakat Bali. Mereka memberikan awalan nama yang menunjukkan wangsa keluarga mereka.[12] [13] Tokoh suku BaliGaleri
Catatan kakiWikimedia Commons memiliki media mengenai Suku Bali.
Daftar pustaka
|