Dampak kemanusiaan dari invasi Rusia ke Ukraina 2022Dampak kemanusiaan dari invasi Rusia ke Ukraina 2022 tidak hanya dialami oleh Ukraina semata tetapi juga dirasakan hingga ke tingkat internasional. Kantor Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa mencatat bahwa per 18 Desember 2022 terdapat 6.826 orang sipil, di antaranya terdapat 428 orang anak, yang meninggal serta 10.769 orang yang terluka akibat dari invasi tersebut.[1] Invasi ini tidak hanya menimbulkan korban jiwa, tetapi juga berdampak kepada kehidupan masyarakat Ukraina dengan adanya disrupsi pasokan air, listrik, dan gas.[2][3] Selain itu, Organisasi Kesehatan Dunia mencatat bahwa per 7 April 2022 telah terjadi lebih dari 100 serangan atas fasilitas kesehatan di Ukraina, yang menyebabkan terganggunya layanan kesehatan dan pasokan obat di Ukraina.[4] Menteri infrastruktur dari Ukraina, Oleksander Kubrakov, menyatakan bahwa 30% dari infrastruktur di Ukraina, termasuk rumah, jalan raya, dan jembatan, hancur diserang oleh pihak Rusia.[5] Dampak dari krisis kemanusiaan akibat invasi ini juga dirasakan oleh negara-negara lain dengan banyaknya jumlah pengungsi Ukraina yang menyeberang ke negara-negara Eropa lain dan terganggunya pasokan pangan global.[6][7] Krisis kesehatan akibat invasiSebelum invasi Rusia ke Ukraina berlangsung, Ukraina telah memiliki berbagai masalah di bidang kesehatan, di antaranya adalah jumlah kasus baru tuberkulosis sebesar 30.000 orang per tahun. Negara ini juga tercatat memiliki kasus Tuberkulosis yang resisten terhadap pengobatan tertinggi di dunia, yaitu sebesar 29% dari kasus baru per tahun.[8][9] Ukraina juga memiliki jumlah penderita HIV/AIDS kedua tertinggi di Eropa Timur.[10] Kedua penyakit ini membutuhkan pengobatan yang bersifat kontinu, yang sulit mereka peroleh selama masa invasi Rusia ke Ukraina. Imunisasi juga menjadi salah satu masalah kesehatan yang harus dihadapi oleh Pemerintah Ukraina sebelum invasi berlangsung. Ukraina pernah menghadapi merebaknya kasus campak pada tahun 2017 hingga tahun 2020. Pada akhir tahun 2020, tercatat bahwa sekitar 82% Masyakarat Ukraina sudah menerima dua dosis vaksin campak.[10] Pada tahun 2021, Ukraina mencanangkan program vaksinasi polio yang menargetkan 100.000 anak-anak sebagai penerima vaksin.[9][10] Pada tanggal 2 Maret 2022, tercatat bahwa hanya sekitar 65% masyarakat Kyiv dan 20% masyarakat di daerah lain di Ukraina yang sudah mendapatkan vaksin Covid-19.[10] Program vaksinasi ini harus terhenti karena adanya invasi.[8] Menurut Organisasi Kesehatan Dunia, para pengungsi dari Ukraina mengalami peningkatan risiko menderita penyakit-penyakit infeksi, yang disebabkan karena kondisi tempat perlindungan yang buruk dan padat, makanan yang kurang bergizi, serta cuaca dingin di musim salju.[11] Selain itu, mereka juga beresiko tinggi mengalami masalah kesehatan mental, seperti gangguan stress pascatrauma, kecemasan, dan depresi.[11][12][13] Krisis pengungsi UkrainaKomisioner Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi mencatat bahwa jumlah pengungsi Ukraina yang tersebar di berbagai negara di Eropa adalah sejumlah 7.896.825 orang, dengan jumlah terbesar menyeberang ke Polandia. Sejumlah 4.885.650 orang pengungsi dari Ukraina mendapatkan perlindungan sementara atau skema program perlindungan serupa dari berbagai negara di Eropa.[6] Perlindungan sementara, yang merupakan salah satu bentuk dukungan Uni Eropa terhadap Rakyat Ukraina, mengizinkan para pengungsi dari Ukraina untuk mendapatkan akses ke layanan kesehatan, tempat tinggal, pekerjaan, dan kesejahteraan sosial sampai tiga tahun di negara Eropa tempat mereka mengungsi.[14] Namun, seiring dengan berjalannya waktu, para pengungsi mulai mengalami kesulitan di negara tempat mereka mengungsi. Di Spanyol, tercatat bahwa hanya sekitar 13% dari para pengungsi Ukraina yang memiliki pekerjaan dan di Jerman 10%.[13] Sementara, pemerintah Jerman dan Inggris mulai kewalahan menampung para pengungsi dari Ukraina.[15][16]
Pengungsi anakMenurut Dana Anak-Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Komisaris Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi, jumlah pengungsi anak dari Ukraina mencapai separuh dari jumlah seluruh pengungsi dari Ukraina.[17] Dengan jumlah pengungsi anak dan wanita yang mencapai 90% dari jumlah pengungsi, berbagai isu yang harus dihadapi oleh pemerintah dari negara tuan rumah adalah pemenuhan hak anak untuk memperoleh pendidikan, pemberian dukungan emosi dan psikologis kepada para pengungsi, serta meningkatnya perdagangan manusia yang mungkin terjadi.[18] Beberapa negara tuan rumah menghadapi tantangan di dalam memenuhi hak para pengungsi anak ini untuk memperoleh pendidikan yang memadai. Sebagai contoh, di Jerman, 35% dari pengungsi dari Ukraina adalah anak-anak dan remaja berusia di bawah 18 tahun yang diwajibkan untuk menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah. Namun, pemerintah Jerman menghadapi tantangan kekurangan 30.000 orang guru yang memenuhi syarat.[19] Krisis pasokan rantai pangan globalKonflik Rusia dan Ukraina mempengaruhi rantai pasokan makanan dunia, terutama di bidang produksi dan distribusi pangan dan pupuk. Produksi bahan pangan dari Ukraina dan RusiaUkraina dan Rusia memegang peranan penting di dalam rantai pangan global. Kedua negara tersebut menghasilkan sekitar 30% dari pasokan gandum dunia, 20% dari jagung, dan 70% dari minyak biji bunga matahari.[7][20] Invasi Rusia tidak hanya mempengaruhi ketersediaan bahan pangan yang dihasilkan Ukraina, tetapi juga sangat berdampak kepada akses ke bahan pangan tersebut.[21] Beberapa negara non-Uni Eropa yang sangat bergantung pada pasokan pangan dari Rusia dan Ukraina, seperti Yordania, Yaman, Israel, Lebanon, Tiongkok, India dan beberapa negara di Afrika sangat merasakan dampak dari sulitnya akses ke bahan pangan yang dihasilkan oleh Rusia dan Ukraina.[22][23] Organisasi Pangan dan Pertanian mencatat indeks harga pangan telah meningkat sekitar 20,8% di Bulan Juni 2022.[24] Diperkirakan akan ada sekitar 50 juta orang di 45 negara yang berada di dalam status darurat kelaparan akibat krisis pasokan rantai pangan global ini.[7] Selain itu, Organisasi Pangan dan Pertanian juga memperkirakan penambahan jumlah orang yang kekurangan gizi akan meningkat sebesar 19 juta orang di tahun 2023.[24] Ukraina juga tercatat sebagai produsen pupuk terbesar di Eropa, yang menyediakan 25% pasokan pupuk di benua tersebut pada tahun 2010.[25] Menurunnya produksi pupuk yang dihasilkan Ukraina meningkatkan harga pupuk di pasaran menjadi dua kali lipat dari rata-rata harga pupuk selama tahun 2020 - 2022, yang kemudian akan meningkatkan biaya produksi pangan dan menurunkan hasil produksi pangan di beberapa negara lain.[24] Prakarsa transportasi biji-bijian Laut HitamHampir semua biji-bijian dari Ukraina diekspor melalui Laut Hitam atau Laut Azov, namun selama masa invasi Rusia, semua kapal perdagangan dilarang untuk meninggalkan pelabuhan.[26] Untuk meredam kegelisahan dunia akan krisis pasokan rantai pangan global ini, Perserikatan Bangsa-Bangsa menandatangani perjanjian dengan pemerintah Turki untuk membuka Pelabuhan Laut Hitam sebagai jalur ekspor biji-bijian dari Ukraina.[27] Per 3 Januari 2023, lebih dari 16 juta ton biji-bijian dan bahan pangan lainnya telah berhasil diekspor dari Ukraina ke berbagai negara melalui Pelabuhan Laut Hitam.[28] Krisis ekonomiKrisis ekonomi menjadi sesuatu yang tidak terelakkan dari dampak invasi Rusia ke Ukraina. Krisis energiRusia adalah salah satu negara penghasil minyak bumi dan gas alam terbesar di dunia. Sebagian besar hasil produksi energi Rusia ditujukan untuk memenuhi kebutuhan dari negara-negara di Eropa.[29]
Sanksi ekonomi yang diberikan oleh negara-negara Eropa atas Rusia mendorong pihak Rusia untuk memangkas pasokan energi melalui saluran pipa Nord Stream 1, yang menghubungkan Rusia dengan Jerman melalui Laut Baltik.[31] Sementara, saluran pipa Nord Stream 2, yang menyalurkan gas alam dari bagian Barat Laut Rusia ke Jerman tanpa melalui Ukraina dan beberapa negara transit lainnya, tidak kunjung mendapatkan sertifikasi dari pihak Jerman akibat invasi Rusia ke Ukraina.[32] Harga minyak mentah sempat mencapai US$120 per barel dan harga energi meningkat sebanyak 50% di tahun 2022.[24] Kenaikan harga energi dan gas ini membuat tekanan inflasi di berbagai negara di dunia meningkat.[33] Organisasi Kerjasama dan Pembangunan memperkirakan rata-rata inflasi dunia sebesar 6,6% dengan catatan banyak negara akan memberlakukan kebijakan moneter yang lebih ketat.[34] Pembatasan eksporGangguan pasokan pangan dan energi membuat beberapa negara di dunia mengadopsi pembatasan ekspor, yang berujung pada guncangan pasar.[22] Sejak 24 Februari 2022, tercatat 63 negara telah memberlakukan pembatasan untuk mengekspor pupuk dan bahan pangan tertentu.[24] Pembatasan ekspor ini telah meningkatkan harga gandum sebesar 7% dan dapat berujung kepada meningkatnya jumlah kemiskinan di dunia.[35] KemiskinanDana Anak-Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa mencatat bahwa kemiskinan anak-anak di kawasan Eropa dan Asia Tengah meningkat sebesar 19% akibat perang Ukraina dan resesi ekonomi.[36] Sementara, Bank Dunia memperikirakan bahwa invasi Rusia ke Ukraina akan membawa sekitar 95 juta orang ke dalam jurang kemiskinan ekstrem.[24] Referensi
|