Dampak pandemi Covid-19 terhadap kekerasan dalam rumah tanggaDampak Pandemi COVID-19 terhadap kekerasan dalam rumah tangga merupakan salah satu efek kebijakan stay at home atau perintah untuk tinggal di rumah. Selama pandemi dan terus berada di rumah banyak hal yang terjadi, salah satunya adalah kekerasan dalam rumah tangga. Kekerasan dalam rumah tangga terjadi akibat dari adanya pembatasan sosial yang diterapkan oleh pemerintah sebagai tindakan dari pencegahan pandemi menyebar dengan luas. Adanya karantina membuat banyak rumah tangga menjadi kacau, tidak hanya di Indonesia, dibeberapa negara seperti Arbania, Argentina, Belgia dan Kanada dan lain-lain juga mengalami peningkatan kekerasan dalam rumah tangga selama masa pandemi covid 19. [butuh rujukan] Kekerasan dalam rumah tanggaPerintah untuk tinggal di rumah di satu sisi dapat menekan penyebaran virus COVID-19. Namun di sisi lain dapat memicu konflik dan memperbesar peluang pelaku untuk melakukan kekerasan, serta mempersulit korban untuk mengakses bantuan karena korban dan pelaku lebih banyak menghabiskan waktu bersama di rumah.[butuh rujukan] Kekerasan dalam rumah tangga dapat terjadi karena berbagai faktor. Selama pandemi, ada kebijakan stay at home, hal ini dilakukan agar dapat menekan penyebaran virus COVID-19. namun, ketika seseorang terus berada di rumah sepanjang waktu di rumah, bisa memunculkan berbagai konflik, salah satunya adalah kekerasan dalam rumah tangga.[1] Kekerasan dalam rumah tangga dikaitkan dengan peningkatan cedera, kecacatan, status kesehatan yang lebih buruk, gangguan tidur, sakit kronis, penyalahgunaan zat, reproduksi gangguan pencernaan, penyakit kardiovaskular, nyeri panggul kronis, infeksi saluran kemih, dan bahkan kematian Misalnya, pada tahun 2017, tercatat 58% wanita dibunuh oleh pasangan atau anggota keluarga.[butuh rujukan] Referensi
|