De KlassiekerDe Klassieker adalah sebutan bagi persaingan dan permusuhan antara dua klub sepak bola Belanda, yakni Ajax Amsterdam dan Feyenoord Rotterdam.[1] Rivalitas kedua klub sepak bola tersukses di Belanda ini bukan hanya soal gengsi dan prestasi, tetapi ada masalah sosial, budaya, dan politik yang menyertainya.[2] Duel Ajax dan Feyenoord bahkan disejajarkan dengan duel El Clásico di Spanyol dan Superclásico di Argentina.[3] Latar BelakangAwal permusuhan antara Ajax dan Feyenoord mirip seperti awal permusuhan Manchester United dan Liverpool, yakni persaingan sebagai kota pelabuhan. Secara geografis sebenarnya antara Amsterdam dan Rotterdam terbilang cukup jauh untuk ukuran negara Belanda, Amsterdam ada di sisi utara sementara Rotterdam ada di selatan, yakni sekitar 70 kilometer.[4] Namun kedua kota tersebut adalah dua kota terbesar di wilayah Belanda.[5] Masalah EkonomiSebenarnya Rotterdam sudah terkenal sebagai kota pelabuhan pada abad-14, itu karena mereka memiliki kanal yang bersejarah. Selain itu pelabuhan Rotterdam juga terkenal akan kesibukkannya sebagai tempat bongkar muat barang dari luar Eropa. Namun semua infrastruktur kebanggaan Rotterdam itu hancur saat Jerman Nazi menginvasi Belanda pada 1941.[5] Di sisi lain, kota Amsterdam juga sebenarnya memiliki kanal yang menghubungkannya dengan kota-kota lain. Kanal-kanal Amsterdam mampu menghubungkan 90 pulau dan sekitar 1.500 jembatan. Secara geostrategis, Amsterdam memang terlihat lebih menguntungkan bagi pengusaha.[5] Kondisi ini membuat Amsterdam terlihat lebih maju dibandingkan Rotterdam. Semakin buruk bagi warga Rotterdam ketika mereka harus kehilangan kanal yang hancur sejak Perang Dunia II. Maka sejak itu pendukung Feyenoord selalu membanggakan diri sebagai warga pekerja keras.[5] Selain masalah pelabuhan, ada sentimen ekonomi yang muncul antara Amsterdam dan Rotterdam. Pada abad ke-13 muncul sentimen bahwa Amsterdam merupakan kota yang lebih baik secara ekonomi dibanding Rotterdam, hal ini kemudian memunculkan prasangka buruk terhadap Rotterdam. Prasangka-prasangka itu yang kemudian membuat warga Rotterdam menjadi membenci Amsterdam, begitu pula sebaliknya.[5] Masalah BudayaKota Rotterdam memang terkenal sebagai kotanya kaum pekerja, sementara Amsterdam lebih terkenal sebagai kota kelas menengah dan kelas atas, seperti intelektual dan seniman.[4] Selain dilekatakan dengan identitas borjuis, Ajax Amsterdam dianggap sebagai klub milik orang Yahudi. Sentimen-sentimen sektarianisme itu kemudian melahirkan antisemitisme di kubu pendukung Feyenoord Rotterdam. Meskipun demikian para pendukung Feyenoord Rotterdam enggan disebut sebagai ultras neo-Nazi, mengingat mereka juga menjadi korban dari serangan Jerman pada Perang Dunia II.[5] Adu GengsiAjax Amsterdam dan Feyenoord Rotterdam sudah bertemu sejak akhir Perang Dunia I, yakni pada 1920. Namun persaingan kedua klub itu semakin meruncing dan mengkristal sejak era Eredivisie, khususnya pada periode 1950-an, 1960-an, dan puncaknya pada 1970-an.[3] Di kompetisi lokal saja, baik Ajax maupun Feyenoord sudah bersaing dengan ketat. Ajax memang dapat dikatakan lebih berprestasi, mereka berhasil memenangkan 71 gelar juara lokal, sementara Feyenoord baru 37 gelar.[2] Persaingan Ajax dan Feyenoor berlanjut ke kancah sepak bola Eropa, terutama pada periode 1970-an. Feyenoord yang memulai lebih dahulu berprestasi di Eropa dengan menjadi juara Liga Champions UEFA pada musim 1969/70. Kemudian Ajax menyusul dengan juara tiga kali beruntun pada musim 1970/71, musim 1971/72, dan musim 1972/73. Perolehan Ajax kemudian dibalas lagi oleh Feyenoord dengan menjadi juara Liga Eropa UEFA 1973/74.[2] Referensi
|