Share to:

 

Definisi penyiksaan

Penyiksaan umumnya didefinisikan sebagai perbuatan yang dengan sengaja dilakukan untuk menimbulkan "rasa sakit atau penderitaan yang parah" pada seorang tahanan. Akan tetapi, apa arti konsep ini dalam praktiknya masih diperdebatkan.[1]

Tingkat internasional

Konvensi PBB Menentang Penyiksaan

Konvensi PBB Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat yang berlaku sejak 26 Juni 1987 memberikan definisi yang luas tentang penyiksaan. Pasal 1.1 Konvensi PBB Menentang Penyiksaan menyatakan:

Untuk tujuan Konvensi ini, istilah "penyiksaan" berarti setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani, pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari orang itu atau dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh orang itu atau orang ketiga, atau mengancam atau memaksa orang itu atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi, apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan, atau sepengetahuan pejabat publik. Hal itu tidak meluputi rasa sakit atau penderitaan yang semata-mata timbul dari, melekat pada, atau diakibatkan oleh suatu sanksi hukum yang berlaku.[2][3]

Definisi ini terbatas hanya untuk diterapkan pada negara-negara dan penyiksaan yang disponsori oleh negara. Definisi ini dengan jelas membatasi penyiksaan yang dilakukan secara langsung maupun tidak langsung kepada mereka yang bertindak dalam kapasitas resmi seperti personel pemerintah, personel penegak hukum, personel medis, personel militer, atau politisi. Namun, definisi ini tampaknya mengecualikan:

  1. penyiksaan yang dilakukan oleh geng, kelompok kebencian, pemberontak, atau teroris yang mengabaikan aturan nasional atau internasional;
  2. kekerasan sporadik selama perang; dan
  3. hukuman yang diperbolehkan oleh hukum nasional, bahkan jika hukuman tersebut menggunakan teknik yang serupa dengan yang digunakan oleh penyiksa seperti mutilasi, cambuk, atau hukuman fisik yang dipraktekkan sebagai hukuman yang sah. Beberapa profesional di bidang rehabilitasi penyiksaan mengatakan bahwa definisi ini terlalu membatasi dan bahwa definisi penyiksaan bermotif politik harus diperluas untuk mencakup semua tindakan kekerasan yang terorganisir.[4]

Deklarasi Tokyo

Definisi yang lebih luas digunakan dalam Deklarasi Tokyo 1975 mengenai partisipasi profesional medis dalam tindakan penyiksaan:[5]

Untuk tujuan Deklarasi ini, penyiksaan didefinisikan sebagai setiap perbuatan yang dilakukan untuk menimbulkan penderitaan fisik atau mental yang disengaja, sistematis atau tidak disengaja oleh satu orang atau lebih yang bertindak sendiri atau atas perintah otoritas manapun, untuk memaksa orang lain memberikan informasi, untuk membuat pengakuan, atau karena alasan lain.

Definisi ini mencakup penyiksaan sebagai bagian dari kekerasan dalam rumah tangga atau pelecehan ritual, serta dalam kegiatan kriminal.

Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional

Statuta Roma adalah perjanjian yang membentuk Mahkamah Pidana Internasional (ICC). Statuta tersebut diadopsi pada konferensi diplomatik di Roma pada 17 Juli 1998 dan mulai berlaku pada 1 Juli 2002. Statuta Roma memberikan definisi paling sederhana tentang penyiksaan berkenaan dengan penuntutan penjahat perang oleh Mahkamah Pidana Internasional. Paragraf 1 berdasarkan Pasal 7(e) Statuta Roma menyatakan bahwa:

“Penyiksaan” berarti ditimbulkannya secara sengaja rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik fisik atupun mental, terhadap seseorang yang ditahan atau dibawah penguasaan tertuduh; kecuali kalau siksaan itu tidak termasuk rasa sakit atau penderitaan yang timbul hanya dari, yang melekat pada atau sebagai akibat dari, sanksi yang sah;[6]

Konvensi Inter-Amerika untuk Mencegah dan Menghukum Penyiksaan

Konvensi Inter-Amerika untuk Mencegah dan Menghukum Penyiksaan yang berlaku sejak 28 Februari 1987 mendefinisikan penyiksaan lebih luas daripada Konvensi PBB Menentang Penyiksaan. Pasal 2 Konvensi Inter-Amerika berbunyi:

Untuk tujuan Konvensi ini, penyiksaan harus dipahami sebagai setiap tindakan yang dilakukan dengan sengaja agar rasa sakit atau penderitaan fisik atau mental ditimbulkan pada seseorang untuk tujuan penyelidikan kriminal, sebagai sarana intimidasi, sebagai hukuman pribadi, sebagai tindakan pencegahan, sebagai hukuman, atau untuk tujuan lain apa pun. Penyiksaan juga harus dipahami sebagai penggunaan metode pada seseorang yang dimaksudkan untuk melenyapkan personalitas korban atau untuk mengurangi kapasitas fisik atau mentalnya, bahkan jika itu tidak menyebabkan rasa sakit fisik atau penderitaan mental. Konsep penyiksaan tidak boleh mencakup rasa sakit atau penderitaan fisik atau mental yang melekat pada atau semata-mata akibat dari tindakan yang sah secara hukum, asalkan tidak termasuk pelaksanaan tindakan atau penggunaan metode yang dirujuk dalam pasal ini.[7]

Mahkamah Hak Asasi Manusia Eropa

Terkait penyiksaan, Konvensi PBB Menentang Penyiksaan dan Statuta Roma mencakup istilah-istilah seperti "rasa sakit atau penderitaan yang parah". Mahkamah Hak Asasi Manusia Eropa (European Court of Human Rights, ECHR) telah memutuskan perbedaan antara apa yang merupakan perlakuan tidak manusiawi dan merendahkan martabat dan apa itu rasa sakit dan penderitaan yang cukup parah untuk dapat dikategorikan sebagai penyiksaan.

Dalam perkara Irlandia v. Britania Raya (1979–1980) ECHR memutuskan bahwa lima teknik yang dikembangkan oleh Inggris (berdiri di dinding, berkerudung, tunduk pada kebisingan, kurang tidur, dan tidak diberi makan dan minum), seperti yang digunakan terhadap empat belas tahanan di Irlandia Utara oleh Inggris adalah "tidak manusiawi dan merendahkan" dan melanggar Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia, tetapi tidak berarti "penyiksaan".[8] Pada tahun 2014, setelah terungkapnya informasi baru yang menunjukkan keputusan untuk menggunakan lima teknik di Irlandia Utara pada tahun 1971–1972 telah diambil oleh para menteri Inggris,[9] Pemerintah Irlandia meminta ECHR untuk meninjau kembali putusannya itu. Pada 2018, dengan suara enam berbanding satu, ECHR menolak.[10]

Dalam perkara Aksoy v. Turki (1997), ECHR memutuskan bahwa Turki bersalah atas penyiksaan pada tahun 1996 dalam kasus seorang tahanan yang digantung dengan tangannya sementara tangannya diikat ke belakang.[11]

Putusan ECHR (1979-1980) bahwa lima teknik tidak sama dengan penyiksaan kemudian dikutip oleh Amerika Serikat dan Israel untuk membenarkan metode interogasi mereka sendiri,[12] yang mencakup lima teknik.[13]

Dalam perkara Ramirez Sanchez v. France, ECHR telah memutuskan bahwa setiap bentuk penyiksaan sangat dilarang dalam semua keadaan:[14]

Pasal 3 Konvensi mengabadikan salah satu nilai paling mendasar dari masyarakat demokratis. Bahkan dalam keadaan yang paling sulit, seperti perang melawan terorisme atau kejahatan, Konvensi melarang secara mutlak penyiksaan atau perlakuan atau hukuman yang tidak manusiawi atau merendahkan martabat.

Pasal 3 tidak memberikan pengecualian dan tidak boleh menguranginya berdasarkan Pasal 15 § 2 bahkan dalam keadaan darurat umum yang mengancam kehidupan bangsa (...).

Amnesty Internasional

Sejak 1973, Amnesty International telah mengadopsi definisi penyiksaan yang paling sederhana dan paling luas. Berikut bunyinya:[15]

Penyiksaan adalah tindakan secara sistematis dan disengaja untuk menimbulkan rasa sakit akut oleh satu orang pada orang lain, atau pada orang ketiga, untuk mencapai tujuan yang dimiliki penyiksa yang bertentangan dengan kehendak yang disiksa.

Referensi

  1. ^ Lewis, Michael W. (2010). "A Dark Descent into Reality: Making the Case for an Objective Definition of Torture". Washington and Lee Law Review. 67: 77. 
  2. ^ "Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment A/RES/39/46". United Nations Treaty Collection. 
  3. ^ "Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia" (PDF). Balitbang Kemenkumham. 
  4. ^ James Jaranson, "The Science and Politics of Rehabilitating Torture Survivors," in Caring for Victims of Torture, edited by Michael K. Popkin, Amer Psychiatric Pub Inc.1998.
  5. ^ World Medical Association, Declaration of Tokyo, 1975. Error in webarchive template: Check |url= value. Empty.
  6. ^ ROME STATUTE OF THE INTERNATIONAL CRIMINAL COURT, INTERNATIONAL CRIMINAL COURT, 17 July 1998.
  7. ^ Inter-American Convention to Prevent and Punish Torture, Organization of American States, 9 December 1985.
  8. ^ Ireland v. United Kingdom (1979–1980) 2 EHRR 25 at para 167.
  9. ^ "British ministers sanctioned torture of NI internees". The Irish Times. 21 March 2013. Diakses tanggal 30 May 2019. 
  10. ^ ECHR. "HUDOC - European Court of Human Rights – revision judgment on application No. 5310/71". hudoc.echr.coe.int. Diakses tanggal 9 August 2021. 
  11. ^ Aksoy v. Turkey (1997) 23 EHRR 553. The process was referred to by the Court as "Palestinian hanging" but more commonly known as Strappado.
  12. ^ "The Hooded Men – joint press release from CAJ and the Pat Finucane Centre" Error in webarchive template: Check |url= value. Empty.. Committee on the Administration of Justice. 24 November 2014. Retrieved 12 December 2014.
  13. ^ "Paper trail: from Northern Ireland's hooded men to CIA's global torture". Amnesty International. 9 December 2014. Quote: "Within months, the CIA was using the 'five techniques' in Iraq, Afghanistan and around the world".
  14. ^ ECHR 4 July 2006, no. 59450/00, Ramirez Sanchez v. France, par. 115-116.
  15. ^ "Torture in the Eighties". Amnesty International. 1973. Diakses tanggal 9 August 2021. 
Kembali kehalaman sebelumnya