Din Minimi
Nurdin bin Ismail Amat (lahir 10 Agustus 1979), lebih dikenal sebagai Din Minimi, adalah mantan militan Gerakan Aceh Merdeka yang memimpin kelompok bersenjata yang bermarkas di Aceh selama tahun 2010-an. Lahir di Aceh Timur, ia bergabung dengan gerakan separatis pada tahun 1997. Setelah proses perdamaian di Aceh, Minimi menghabiskan beberapa waktu melakukan berbagai pekerjaan sebelum memimpin sekelompok penjahat bersenjata, karena kecewa dengan pemerintahan provinsi Aceh yang baru. Pada bulan Oktober 2014, ia secara terbuka menyatakan pendiriannya, dan setelah kematian dua personel TNI, ia terlibat konflik dengan Polri dan Angkatan Darat. Pada akhir tahun 2015, Minimi setuju untuk menyerah kepada pemerintah pusat dengan imbalan amnesti. Pemberian amnesti tersebut menimbulkan beberapa kontroversi, dan hingga tahun 2018, amnesti tersebut belum diberikan secara resmi. BiografiMasa kecil dan GAMNurdin bin Ismail Amat merupakan anak sulung dari empat bersaudara yang lahir di desa Keude Buloh, kecamatan Julok, kabupaten Aceh Timur pada tanggal 10 Agustus 1979.[1] Ayahnya seorang pejuang GAM yang terbunuh sebelum kejatuhan Soeharto, dan dijuluki "Minimi" dari nama senapan mesin FN Minimi. Julukan Minimi ini terwariskan ke anaknya, yang berhenti sekolah saat kelas 3 SD dan bergabung dengan GAM tahun 1997.[2] Minimi menikahi istrinya pada tahun 2000 selagi ia masih bagian dari GAM. Pasangan ini mempunyai tiga anak.[3] Dalam internal GAM, Minimi ditugaskan di sekitar kecamatan Peureulak, Aceh Timur.[4] Ia ditangkap oleh TNI Angkatan Darat pada tahun 2003 dan dipenjara selama setahun di Langsa. Konflik di Aceh tersebut merenggut nyawa salah seorang adik laki-lakinya pada tahun 2004, dan satu lagi saudaranya hilang.[2] Pasca GAMSetelah perjanjian damai antara GAM dan pemerintah Indonesia, Minimi berkerja sebagai operator forklift di suatu kilang kayu milik mantan perwira GAM. Setelah pabrik tersebut tutup karena kekurangan bahan mentah, Minimi sempat menjadi operator alat berat sebelum diperkerjakan oleh koleganya di GAM Adi Maros dalam proyek konstruksi drainase di Aceh Timur sebagai operator buldoser. Menurut Maros, mereka masih saling kontak seusai proyek tersebut.[2][5] Pada tahun 2012, ketika pemilihan gubernur diselenggarakan di Aceh, Minimi berselisih pendapat dengan anggota-anggota Komite Peralihan Aceh - badan yang dibentuk untuk menormalisasi Aceh seusai konflik. Anggota-anggota KPA mendukung mantan pemimpin GAM Zaini Abdullah. Minimi awalnya ikut mendukung, namun belakangan mendukung Muzakir Manaf. Seusai perselisihan tersebut, Minimi menghilang dari mata publik.[2][6] Minimi kemudian memimpin suatu kelompok kriminal bersenjata (KKB) di Aceh Timur yang melakukan penculikan dan perampokan, termasuk penculikan seorang WNA pada tahun 2013, merusak kotak suara pileg 2014 dan menyerang truk-truk pengangkut kelapa sawit.[2][7][8] Pendukung Minimi menyatakan bahwa hasil aksi Minimi diberikan kepada rakyat miskin - sejalan dengan cerita Robin Hood - meskipun belakangan kesaksian dari anggota-anggota kelompok Minimi menunjukkan bahwa hasil tersebut dibagi dalam kelompok.[2][9] Pada akhir tahun 2014, dua kelompok separatis Aceh - satu di Norwegia dan satu di Aceh - menghubungi Minimi dan menyediakan pendanaan dan SDM.[2] Bulan Oktober tahun itu, Minimi memberikan suatu pernyataan publik bahwa kelompoknya berjuang melawan pemerintah provinsi Aceh yang dipimpin oleh Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf.[10] Deklarasi tersebut dirilis melalui media lokal, yang diundang Minimi untuk mengambil fotonya saat memegang senapan AK-47. Pernyataan tersebut juga menjelaskan alasan perjuangan - terutama kehidupan bekas anggota GAM yang melarat. Minimi menambahkan bahwa dirinya bukan separatis dan berjuang melawan Pemprov Aceh, bukan pemerintah Indonesia.[8] Pada bulan Maret 2015, dua personil intelijen TNI AD diculik dan dibunuh ketika mereka melacak kelompok Minimi di Aceh Utara. Meskipun awalnya Minimi menyatakan tidak bertanggung jawab,[11] kelompok Minimi kemudian diburu, dan Minimi dicari hidup atau mati.[12][13] TNI AD dan Polri terlibat dalam beberapa baku tembak dengan kelompok Minimi selama 2015 - dua kali di Pidie selama bulan Mei dimana empat militan terbunuh,[14][15] seorang lagi di bulan Juli, dan satu lagi di bulan Agustus.[2][16] Pihak berwenang menyatakan pada akhir Oktober bahwa 38 orang telah ditahan dan 6 telah tertembak mati, dan 25 lagi masih dicari.[17] Institut Analisis Kebijakan Konflik LSM menulis bahwa polisi dan tentara bersaing dengan pendekatan berbeda untuk mencoba menetralisir Minimi terlebih dahulu.[2] AmnestiSetelah berbincang dengan Panglima Kodam Iskandar Muda yang menjamin keselamatannya, Minimi sempat pulang ke rumah sebentar pada bulan itu, namun terpaksa melarikan diri ketika Kapolsek setempat muncul di sana.[2] Pada bulan Juni 2015, komandan distrik militer setempat telah mengunjungi rumah Minimi, menyerukan agar dia menyerah kepada pihak berwenang, dan sekali lagi menjamin keselamatannya.[2][18] Panglima Kodam Iskandar Muda Mayor Jenderal Agus Kriswanto pun sempat berbincang melalui telepon dengan Minimi.[19] Pada akhir Desember 2015, Minimi dikunjungi oleh Kepala Badan Intelijen Negara Sutiyoso, yang akhirnya setuju untuk meletakkan senjata setelah negosiasi. Kontak antara keduanya difasilitasi oleh negosiator Finlandia Juha Christensen – yang memainkan peran penting dalam proses perdamaian tahun 2005.[20] Menurut Minimi, dia berbicara dengan Presiden Indonesia Joko Widodo selama perundingan melalui telepon Sutiyoso.[21] Selain memberikan amnesti bagi anggota kelompok tersebut, Minimi juga meminta Komisi Pemberantasan Korupsi aktif memantau pemerintahan Aceh.[22] Amnesti yang dilakukan Minimi mendapat tentangan dari berbagai pihak, termasuk anggota DPR dari Komisi I DPR yang berpendapat bahwa kelompok Minimi adalah kelompok kriminal biasa, bukan kelompok separatis, sehingga tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan amnesti.[23] Kapolri Badrodin Haiti mencatat bahwa polisi akan tetap memproses kelompok tersebut secara hukum, meskipun ia mencatat bahwa keringanan hukuman akan dipertimbangkan.[24] Jokowi sendiri memastikan amnesti akan diberikan.[25] Selain kontroversi tersebut, beberapa perselisihan hukum juga terjadi mengenai rincian amnesti – terutama, apakah para militan harus menjalani proses hukum terlebih dahulu atau apakah proses tersebut harus diabaikan sama sekali. Komisi yang bertanggung jawab di DPR mengeluarkan pendiriannya seperti yang pertama.[26] Pada bulan Juli 2016, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan menyatakan bahwa 70 anggota kelompok Minimi akan menerima amnesti.[27] Hingga Maret 2018, Minimi dan kelompoknya belum diberikan amnesti – setidaknya dua anggotanya masih dipenjara.[28] Meski belum mendapat pengampunan resmi, Minimi bergabung dengan Pemuda Pancasila pada April 2016.[29] Dalam sebuah insiden di bulan itu, seorang pria yang diculik oleh kelompok Minimi pada tahun 2013 menyerangnya dengan meninju wajahnya ketika keduanya secara tidak sengaja bertemu setelah menonton pertandingan sepak bola.[30] Saat KPK menangkap Gubernur Aceh Irwandi Yusuf dan Bupati Bener Meriah Ahmadi pada tahun 2018, Minimi menyatakan dukungannya.[31] KeluargaMinimi menikah dengan Herlinawati, dan pada tahun 2020 memiliki tiga orang anak. Putra sulungnya diterima di sekolah calon bintara (Secaba) di Tentara Nasional Indonesia pada tahun 2020.[32] Referensi
|