Share to:

 

Ekspedisi Papua Selatan (1907)

Potret peserta dan pengangkut.

Ekspedisi Papua Selatan (1907) adalah percobaan pertama dari 3 rangkaian ekspedisi Belanda menuju pantai selatan dari puncak gunung yang diselimuti salju abadi di Papua Tengah. Ekspedisi ini diorganisasi di bawah bantuan Indisch Comité voor Wetenschappelijke Onderzoekingen dan Maatschappij ter Bevordering van het Natuurkundig Onderzoek der Nederlandsche Koloniën.

Tujuan

Ekspedisi penjelajahan Dataran Tinggi Tengah ini diselenggarakan oleh lembaga-lembaga ilmiah, sebagian juga bertujuan komersial dan membentuk mitra independen dalam lingkup penjelajahan militer yang diselenggarakan pemerintah pada masa tersebut telah dilakukan dengan bantuan detasemen militer ke pantai tak dikenal dan pemetaan beberapa bagian pedalaman.

Peserta

Pimpinan ekspedisi adalah hakim dan biolog amatir Hendrikus Albertus Lorentz yang laporannya berisi tentang zoologi dan etnografi. Perwira AL Jan Willem van Nouhuys meneliti tentang geologi, topografi, dan meteorologi, dan dokter tentara Gerard Martinus Versteeg yang bertanggung jawab untuk pengawasan kesehatan dan antropologi, sementara "naturalis" J.M. Dumas juga ikut serta karena kecakapannya sebagai peserta ekspedisi penjelajahan sebelumnya di bagian Papua yang tak dapat dimasuki. Tentunya Lorentz dan Versteeg banyak membuat foto ekspedisi.

Let. C. Schultz memegang komando atas kawalan 45 militer, 60 NaPi terhukum yang dijadikan tukang angkut barang dan 60 orang Dayak dari Kalimantan, penghuni asli hutan yang bertugas sebagai pengangkut, pemasang jerat, penunjuk jalan, pembuat bivak dan tukang yang ahli. Dalam kelompok itu juga ada 3 mandor, pengawas orang hukuman, dan sejumlah staf 's Lands Plantentuin di Buitenzorg (sekarang Kebun Raya Bogor) yang ahli dalam keterampilan dan perawatan kumpulan spesimen botani.

Jalannya ekspedisi

Dengan menumpangi kapal uap Valk, ekspedisi itu berangkat dari Surabaya pada bulan April 1907. Kapal marinir Zwaluw yang rusak tanpa mesin ditarik dan menjadi kapal bivak, yang selama perjalanan dimuati makanan untuk peserta ekspedisi dan sebagai gudang untuk koleksi ilmiah dalam perjalanan pulang. Melalui muara Sungai Utara (Noordrivier) bagian selatan, yang jauh dari pedalaman bergunung dan dekat dengan Puncak Wilhelmina (kini Puncak Trikora) yang diselimuti salju abadi yang di situlah hulu Sungai Utara, mereka berlayar melawan arus menuju Pulau Bivak di tengah sungai yang lebar itu, dan di sini Zwaluw ditinggalkan dengan sebuah kapal pengawal kecil. Dari sana, para penjelajah masuk lebih jauh ke pedalaman menggunakan perahu dan kano kecil. Di berbagai tempat sepanjang tepian sungai, bivak-bivak kecil didirikan yang akhirnya juga ditinggalkan. Kemudian, di antara kapal bivak dan permukiman sementara sepanjang sungai terjadi pengiriman bahan makanan dan perbekalan lainnya. Pada bulan Juli, mereka kembali berjalan ke hulu dan Kamp Alkmaar dibangun oleh Lorentz dan Van Nouhuys dan tak jauh dari sana dapat ditemui dataran tinggi besar dari pegunungan di tengah. Karena sungai tidak mungkin dilayari, para penjelajah harus melanjutkan perjalanan menembus hutan dengan berjalan kaki. Punggung gunung yang besar dijelajahi, namun sebelumnya dataran tinggi tak terlihat agar perjalanan ke salju abadi dapat dihentikan. Perjalanan itu lebih panjang dan berat daripada yang diduga. Kelelahan dan penyakit mulai memakan korban. Di saat bersamaan, sebagian besar tukang angkut terserang beri-beri, bahan makanan menipis dan minuman segar. Tak pelak lagi mereka harus berjalan balik, meninggalkan bivak dan sekitar pertengahan bulan Oktober semua peserta kembali ke P. Bivak dan kedua kapal. Pada tanggal 22 Oktober, Valk berlayar ke kota pelabuhan Merauke dan setelah beristirahat lewat sebulan, pada tanggal 1 Desember rombongan itu kembali ke Surabaya.

Hasil ilmiah

Karena tujuan ekspedisi itu, memasuki wilayah salju abadi di Papua Tengah, tak tercapai, oleh penggagasnya ekspedisi itu dikatakan gagal. Di situ, Lorentz mengatakan bahwa usaha itu memang tak diperlukan. Koleksi ilmiah dikumpulkan dan dalam perjalanan pulang mereka membawa informasi kartografi perjalanan yang akurat. Topografi yang terperinci membuat percobaan berikutnya ke puncak gunung yang diselimuti salju itu jauh lebih mudah.

Bagaimanapun juga, kekurangan terbesar dalam organisasi penyelidikan itu adalah tiadanya ahli di bawah staf ilmiah yang, dengan pengetahuan tertentu atas bahasa dan budaya setempat, sebelumnya bersentuhan dengan kelompok suku setempat yang kebanyakan belum dikenal.
Terjadi juga serangan orang Papua ke bivak, karena tentara yang bosan yang akhirnya pergi dari kamp yang berada di tanah asal penduduk setempat. Sebuah serangan bersenjata orang Papua ke Kamp Alkmaar pada tanggal 28 Juli mengakibatkan kedua belah pihak saling tempur - panah melawan senapan - dan setidaknya seorang Papua tewas tertembak, sehingga Lorentz menyampaikan protes keras pada GubJend. di Batavia (kini Jakarta) ketika laporan ekspedisi tampak di depan mata. Rincian menarik: orang Papua yang terbunuh dimakamkan, namun Lorentz kemudian membolehkan menggali kubur itu untuk koleksi antropologis di Universitas Utrecht. Tentang rangka tersebut, pada tahun 1918 diterbitkan studi meluas oleh Arnoldus Johannes Petrus van den Broek, profesor anatomi di Utrecht.

2 tahun setelah ekspedisi ini, diluncurkan lagi ekspedisi berikutnya.

Literatur

  • Ballard C, Vink S, Ploeg A. 2001. Race to the Snow: Photography and the Exploration of Dutch New Guinea 1907-1936. Amsterdam: KIT Publishers.
  • Van den Broek AJP. "Das Skelett eines Pesechem", dalam: Nova Guinea 7, buku 3, hal. 233-276. Leiden: E.J. Brill, 1918.
  • Lorentz HA (1907). "De N. Guinea-expeditie van de Mij. ter bevordering van het Natuurk. Onderzoek der Ned. koloniën". Tijdschrift van het Aardrijkskundig Genootschap. 24: 466–71. 
  • Ploeg A (1995). "First Contact in the Highlands of Irian Jaya". Journal of Pacific History. 30: 227–39. 
  • Rouffaer, G.P. (1908). "De terugkeer en afloop der Lorentz-Expeditie naar Nederlandsch Zuid-Nieuwguinea". Tijdschrift van het Aardrijkskundig Genootschap. 25: 133–44. 
  • Souter G. 1966. New Guinea: The Last Unknown. New York: Taplinger.
Kembali kehalaman sebelumnya