Belajar Tari ballet di Dalcroze School, Brussel, Belgia,
Karya terkenal
Telaga Warna (1940),
Pasar,
Angklung,
Orang Irian dengan Boeroeng Tjenderawasih (1948),
Mutiara Bermain,
Kembang Kemboja di Bali (1958),
Wanita Sulawesi (1958),
Market (1952),
Panen Padi (1942),
Pengantin Dayak,
Mario Penari Bali,
Dua Wajah Papua,
Pemanah Dayak
Emiria Soenassa (1895–7 April 1964, Ejaan yang Disempurnakan: Emiria Sunassa) adalah seorang pelukis perempuan yang lahir di Tanawangko, Tombariri, Minahasa, Sulawesi Utara dan meninggal di Lampung.[2] Ia lahir kepada seorang sultan di Kesultanan Tidore. Ia mengawali karier seninya pada usia 46 tahun.[3] Selama berkarier di bidang seni ia menggunakan nama Emiria Sunassa Wama’na Poetri Al-Alam Mahkota Tidore, sebagaimana tercatat dalam buku Orang Indonesia Terkemoeka di Djawa terbitan Goenseikanbu tahun 1944.[4]
Kehidupan pribadi
Emiria lahir di Tanawangko, Minahasa, Sulawesi Utara, kepada seorang Sultan Tidore. Ia lahir dalam kemewahan dengan statusnya sebagai bangsawan.[5]
Emiria, oleh ayahnya, hanya diperkenankan mengenyam pendidikan formal sampai kelas 3 di Europeesche Lagere School. Pada tahun 1912–1924 ia mengikuti pendidikan perawat di Rumah Sakit Primaya PGI Cikini, Jakarta. Dua tahun kemudian, ia menikah dengan seorang diplomat asing yang pernah dirawatnya, lantas pasangan ini pun berangkat ke Eropa. Di Eropa, Emiria belajar tari balet di Dalcroze School, Brussel, Belgia.[5]
Setelah bercerai dengan suaminya, pada 1920-an, Emiria kembali ke Hindia Belanda dan dikabarkan bahwa selama 1920an-1930-an Emiria menjelajahi Nusantara, bekerja di perkebunan dan pertambangan serta hidup dengan suku Dayak di Kalimantan dan suku Kubu di Sumatera Selatan.[6]
Emiria kembali ke tanah air dan bertemu dengan Guillaume Frederic Pijper, seorang Kepala Kantor Urusan Bumiputra, yang sangat menyukai seni. Pertemuannya dengan Pijper mulai membuat Emiria terdorong untuk melukis.[7] Karier kepelukisan Emiria didanai dengan sebuah perkebunan di Halmahera yang dimiliki keluarganya.[5]
Karier
Emiria dikatakan pernah bergabung di Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi).[1] Dalam hal ini, ia dikatakan sebagai satu dari tiga seniman perempuan di Persagi, selain Saptarita Latif dan Tridjoto Abdullah. Arsiparis seni Indonesian Visual Art Archive mendaftarkan namanya sebagai salah satu anggota awal ketika organisasi tersebut lahir pada tahun 1938. Namun, Sindoedarsono Soedjojono, sekretaris Persagi pada masa itu, diketahui pernah memberikan tanda silang pada namanya ketika Sanento Yuliman mencoba memastikan keanggotaannya. Tanda silang itu menyatakan bahwa Soedjojono tidak setuju bahwa Emiria pernah bergabung di Persagi. Pelukis Basuki Resobowo menguatkan pernyataan ini dengan menyatakan bahwa Agus Djaya, ketua Persagi, serta Soedjojono, sering sembrono memasukkan nama anggota ke dalam daftar Persagi pada masa itu.[8]
Namun demikian, Emiria tetap tercatat berpameran dengan Persagi. Pada tahun 1940, ia mengadakan pameran pertamanya bersama Persagi di toko buku G. Kolff & Co..[7][8]
Persagi sendiri diubah menjadi Keimin Bunka Shidōsho pada masa penjajahan Jepang. Meskipun keanggotaannya di Persagi sebelumnya diragukan, tetapi ia tercatat sebagai satu-satunya perempuan yang berpameran melalui Shidosho selama 60 hari, dimulai pada 29 Agustus 1942.[8][9]
Kritik dan penerimaan
Ciri khas lukisan Emiria adalah perombakannya terhadap seni primitif menjadi karya seni yang lebih modern. Oleh karena itu, karyanya sering digambarkan sebagai gabungan seni modern pribumi dan neo-primitif.[10]
Pameran masa lalu selalu aktual. Pameran lukisan Emiria Soenassa (1891-1964). Bentara Budaya Yogya dan Jakarta, 2010[15]
Pameran bersama
Pameran dengan 3 lukisan: “Pekuburan Dayak Penihing”, “Bahaya Belakang Kambang Terate”, dan “Kampung di Teluk Rumbolt” juga pernah tampil dalam pameran perintis pelukis pribumi. Batavia Kunstkring, Bandung, 1941 [16]
Pameran Lukisan dan Pahatan (Painting and Sculpture Exhibition, 18-27 Aug. 1951[17]
Familiar Others: Emiria Sunassa, Eduardo Masferré and Yeh Chi Wei — 1940s-1970s. Pameran Bersama, National Gallery Singapore, 25 Jul 2022 - 14 May 2023[18]
Misteri Kematian dan Peninggalan
Pada 1950-an Emiria yang aktif di lingkaran seni Jakarta tiba-tiba menghilang dari peredaran. Ia kemudian diketahui meninggal di Lampung pada 1964. Lukisan-lukisan peninggalan Emiria disimpan oleh teman dan tetangganya, Jane Waworuntu. Pada Oktober 2010, sebuah pameran di Bentara Budaya Yogyakarta bertajuk "Masa Lalu Selalu Aktual" menampilkan 28 lukisan Emiria dari koleksi keluarga Waworuntu.[1][15]
^ abcdefghiMerdeka, Moyang Kasih Dewi (2 Mei 2020 | 00.00 WIB). "Menemukan Kembali Emiria". Tempo. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2026-01-07. Diakses tanggal 2025-01-06.Periksa nilai tanggal di: |date= (bantuan)