Equinor
Equinor ASA (sebelumnya bernama Statoil dan StatoilHydro) adalah sebuah badan usaha milik negara Norwegia yang bergerak di bidang minyak bumi. Perusahaan ini beroperasi di 36 negara dan juga berinvestasi di bidang energi terbarukan. Pada daftar Forbes Global 2000 tahun 2020, Equinor menempati peringkat ke-169.[3] Hingga 2021,[update] perusahaan ini mempekerjakan 21.126 orang.[2] Perusahaan ini dibentuk pada tahun 2007 melalui penggabungan antara Statoil dan divisi minyak dan gas dari Norsk Hydro.[4] Hingga tahun 2017, pemerintah Norwegia memegang 67% saham perusahaan ini melalui Kementerian Minyak Bumi dan Energi.[5] Perusahaan ini berkantor pusat di Stavanger, sementara sebagian besar bisnis internasionalnya dikelola dari Fornebu. Nama Equinor mulai dipakai pada tahun 2018. Nama tersebut merupakan hasil penggabungan dari kata "equi", yang berasal dari kata ekuitas, ekualitas, dan ekuilibrium, dan "nor", untuk menandakan bahwa perusahaan ini berasal dari Norwegia.[6] SejarahEquinor memulai sejarahnya dari tiga perusahaan minyak bumi besar asal Norwegia, yakni Statoil, Norsk Hydro, dan Saga Petroleum. StatoilDen Norske Stats Oljeselskap A/S didirikan oleh pemerintah Norwegia pada tanggal 14 Juli 1972 melalui sebuah undang-undang yang diterbitkan oleh parlemen Norwegia Stortinget. Motivasi politis dari pendirian perusahaan ini adalah untuk berpartisipasi di industri minyak di landas kontinennya dan untuk membangun kompetensi Norwegia di bidang minyak bumi sebagai fondasi untuk industri minyak bumi di Norwegia. Statoil diwajibkan untuk mendiskusikan isu penting dengan Menteri Perindustrian, yang kemudian diubah menjadi Menteri Minyak Bumi dan Energi. Statoil juga diwajibkan untuk menyerahkan laporan tahunan ke parlemen. Pada tahun 1973, perusahaan ini berekspansi ke industri petrokimia, sehingga menghasilkan pengembangan pabrik pemrosesan di Rafnes. Pada tahun 1980, melalui kemitraan dengan Norsk Hydro, perusahaan ini juga mengembangkan pabrik Mongstad. Pada tahun 1981, perusahaan ini mengakuisisi hak untuk beroperasi di landas kontinen Norwegia di ladang Gullfaks. Pada tahun 1987-1988, terjadi skandal Mongstad yang kemudian membuat CEO Arve Johnsen mengundurkan diri. Pada dekade 1980-an, Statoil berekspansi ke bisnis SPBU. SPBU di Norwegia berasal dari SPBU milik Norol, SPBU di Denmark dan Swedia dibeli dari Esso pada tahun 1985, sementara SPBU di Irlandia dibeli dari British Petroleum pada tahun 1992 dan dari ConocoPhillips Jet pada pertengahan dekade 1990-an, yang kemudian dijual oleh Statoil ke Topaz Energy pada tahun 2006. Statoil juga membangun jaringan SPBU di sebagian Eropa Timur pada dekade 1990-an. Pada tahun 1991, sebuah kontroversi muncul di antara Statoil dan pegiat lingkungan lokal, terutama dari Natur og Ungdom dan Friends of the Earth Norway, yang memprotes pembangunan sebuah pusat penelitian dan pengembangan baru di Rotvoll, Trondheim, Norwegia, sebuah kawasan lahan basah yang dekat dengan habitat burung. Kontroversi tersebut pun memuncak dengan pembangkangan sipil dari para pegiat lingkungan, tetapi pusat tersebut tetap dibangun.[butuh rujukan] Pada tahun 2001, perusahaan ini resmi melantai di Oslo Stock Exchange dan New York Stock Exchange. Pada saat yang sama, perusahaan ini juga mengubah namanya menjadi Statoil ASA. Pemerintah Norwegia tetap memegang 81,7% saham perusahaan ini. Pada tahun 2004 dan 2005, pemerintah Norwegia mengurangi kepemilikan sahamnya di perusahaan ini menjadi 70,9%.[7] Kasus Statoil/Horton merujuk pada penyuapan yang dilakukan oleh perusahaan ini di Iran pada tahun 2002–2003 untuk memperoleh kontrak minyak di sana. Penyuapan tersebut terutama dilakukan dengan mempekerjakan Horton Investments, sebuah perusahaan konsultansi asal Iran yang dimiliki oleh Mehdi Hashemi Rafsanjani, putra dari mantan Presiden Iran Hashemi Rafsanjani. Horton Investments dibayar sebesar $15,2 juta oleh Statoil guna mempengaruhi tokoh politik penting di Iran untuk memberi kontrak minyak ke Statoil. Skandal korupsi tersebut dikemukakan oleh koran Norwegia Dagens Næringsliv pada tanggal 3 September 2003.[butuh rujukan] Pada tahun 2006, perusahaan ini pun didenda sebesar $10,5 juta, karena melanggar Undang-Undang Praktek Korup Asing Amerika Serikat.[8] Pada bulan September 2007, Statoil dan Petrobras asal Brazil meneken sebuah kesepakatan terkait peningkatan kerja sama di bidang eksplorasi, bawah laut, dan biofuel. Melalui kesepakatan tersebut, Statoil menjadi mitra di enam blok lepas pantai, serta meningkatkan produksi biofuel. Petrobras dan Statoil juga mengumumkan rencananya untuk membangun lusinan kilang minyak di seluruh dunia, di mana minyak sayur akan ditambahkan ke minyak mentah untuk membuat bahan bakar tanpa sulfur. Pada tanggal 4 Maret 2008, Statoil membeli 50% saham ladang minyak Peregrino yang dipegang oleh Anadarko Petroleum dengan harga US$1,8 miliar.[9] Pada tahun 2007, Statoil membeli sebagian dari ladang pasir minyak Athabasca di Kanada setelah membeli North American Oil Sands Corporation dengan harga $2,2 miliar. (Pada tahun 2012, Statoil memiliki 4 blok pasir minyak sebagai bagian dari proyek Kai Kos Deh Seh, yakni Leismer, Corner, Hangingstone, dan Thornberry).[10] Pada tahun 2009, Statoil meluncurkan turbin angin apung laut dalam berkapasitas besar pertama di dunia, yakni, Hywind.[11] Menara setinggi 120 meter (390 ft) dengan turbin berkapasitas 2,3 MW tersebut ditarik sejauh 10 kilometer (6,2 mi) dari darat ke Amoy Fjord di laut sedalam 220 meter (720 ft), di lepas pantai Stavanger, Norwegia pada tanggal 9 Juni 2009 untuk diuji coba selama dua tahun.[12] HydroPada tahun 1965, Hydro bergabung dengan Elf Aquitaine dan enam perusahaan asal Prancis lain untuk membentuk Petronord guna melakukan pencarian minyak dan gas di Laut Utara. Hydro kemudian menjadi perusahaan besar di industri minyak bumi Laut Utara, dan juga menjadi operator dari sejumlah ladang minyak, diawali dengan Oseberg.[butuh rujukan] Pada akhir dekade 1980-an, Hydro mengakuisisi SPBU milik Mobil di Norwegia, Swedia, dan Denmark. Pada tahun 1995, Hydro menggabungkan SPBU miliknya di Norwegia dan Denmark dengan Texaco, untuk membentuk perusahaan patungan dengan nama HydroTexaco. Pada tahun 2006, jaringan SPBU tersebut dijual ke Reitangruppen. Pada tahun 1999, Hydro mengakuisisi perusahaan minyak bumi terbesar ketiga di Norwegia, yakni Saga Petroleum, yang memiliki operasi hulu di Norwegia dan Britania Raya. Operasi di Britania Raya kemudian dijual.[butuh rujukan] PenggabunganSebuah proposal penggabungan diumumkan pada bulan Desember 2006.[13] Sesuai aturan dari Kawasan Ekonomi Eropa, penggabungan tersebut disetujui oleh Uni Eropa pada tanggal 3 Mei 2007[14] dan oleh Parlemen Norwegia pada tanggal 8 Juni 2007.[15] Pemegang saham Statoil memegang 67,3% saham perusahaan hasil penggabungan, sementara pemegang saham Norsk Hydro memegang sisanya.[14] Pemerintah Norwegia, pemegang saham terbesar di Statoil dan Norsk Hydro, memegang 67% saham perusahaan hasil penggabungan.[16] Jens Stoltenberg, Perdana Menteri Norwegia, melihat penggabungan tersebut sebagai "awal dari era baru...menciptakan perusahaan energi global serta memperkuat industri minyak dan gas Norwegia."[17] Para analis mencatat bahwa penggabungan tersebut akan menciptakan perusahaan yang lebih mampu untuk berkompetisi dengan perusahaan asal Eropa lain yang lebih besar, seperti BP, Total, dan Shell, serta juga meningkatkan kemampuan perusahaan hasil penggabungan untuk melakukan akuisisi strategis, terutama di Teluk Meksiko.[18] Perusahaan hasil penggabungan akan menjadi perusahaan minyak terbesar kesembilan di dunia, dan akan menjadi perusahaan terbesar ke-48 di dunia dalam daftar Fortune Global 500 dengan pendapatan sebesar NOK 480 miliar.[19] Direksi dari perusahaan hasil penggabungan awalnya akan dipimpin oleh Presiden dan CEO Helge Lund (yang sebelumnya memegang jabatan serupa di Statoil), sementara Eivind Reiten, Presiden dan CEO Hydro, menjabat sebagai Chairman.[13] Namun, Reiten memutuskan untuk mengundurkan diri dari jabatan chairman tiga hari setelah penggabungan, karena adanya dugaan korupsi di bekas divisi minyak dari Hydro. Wakil Chairman dan mantan Menteri Minyak Bumi dan Energi Marit Arnstad pun menjabat sebagai chairman hingga tanggal 1 April 2008, saat Svein Rennemo mulai menjabat sebagai chairman setelah mengundurkan diri dari jabatan CEO di Petroleum Geo-Services (PGS). Untuk mencerminkan penggabungan dari dua perusahaan tersebut dan untuk menghormati Hydro, diputuskan bahwa perusahaan hasil penggabungan akan memakai nama baru. Nama baru belum diputuskan pada saat penggabungan, sehingga menggunakan StatoilHydro sebagai nama sementara. Perusahaan ini kemudian mengumumkan niatnya untuk kembali memakai nama Statoil ASA, dan disetujui dalam RUPST pada bulan Mei 2009.[20] Nama perusahaan ini pun resmi diubah pada tanggal 2 November 2009.[21] Pemerintah Norwegia awalnya memegang 62,5% saham perusahaan hasil penggabungan. Namun, pada tahun 2001, parlemen Norwegia telah memutuskan bahwa pemerintah harus memegang 67% saham Statoil, sehingga kemudian diumumkan bahwa pemerintah Norwegia berniat meningkatkan kepemilikan sahamnya di Statoil. Pada tahun 2009, diumumkan bahwa pemerintah Norwegia telah berhasil meningkatkan kepemilikan sahamnya di Statoil menjadi 67%.[7] Investasi dan pengembangan setelah tahun 2009Pada tahun 2010, Statoil memisahkan bisnis hilirnya ke Statoil Fuel & Retail.[22][23] Pada tahun 2012, Alimentation Couche-Tard membeli Statoil Fuel & Retail dengan harga $2,8 miliar.[24] Pada tanggal 24 Mei 2010, Statoil menjual 40% saham ladang Peregrino ke Sinochem asal Tiongkok dengan harga $3,07 miliar. Pada tanggal 7 April 2010, Statoil mengumumkan penemuan cadangan minyak dan gas di proyek Fossekall di utara ladang minyak Norne di Laut Norwegia. Cadangan minyak terbukti yang dapat diambil awalnya diperkirakan antara 37 dan 63 juta barel (5.900.000 dan 10.000.000 m3), sementara volume dari gasnya diperkirakan antara 1 dan 3 miliar meter kubik standar.[25] Referensi
Pranala luar
|