Erik Petersen
Erik Petersen (Haji Arif Faturrahman) atau Kai Asing (lahir di Denmark pada tahun 1930-an, meninggal di Banjarmasin pada tanggal 18 Februari 2004) merupakan peneliti dan penulis buku Jukung-Boats from the Barito Basin, Borneo pada tahun 2000, dimana buku tersebut menjadi rujukan akademisi Eropa dan Asia dalam kajian sejarah maritim, arkeologi laut, dan arkeologi eksperimental, khususnya mengenai jukung.[1] KiprahSebagai arsitek perencanaAwalnya, dia berprofesi sebagai arsitek perencana dari tahun 1956 sampai tahun 1992 dan bekerja di berbagai negara seperti Denmark, Afrika Timur, dan Indonesia. Pada tahun 1992, saat dia sudah memasuki masa pensiun, dia memutuskan untuk menetap di Banjarmasin karena tertarik dengan industri pembuatan jukung tradisional, mengingat budaya ini mirip dengan budaya bangsa Viking yang terkenal dengan budaya maritimnya.[1][2] Memulai riset mengenai jukungPada tahun 1996, Museum Kapal Viking di Roskilde, Denmark menggagas proyek etnografis, khususnya tentang tradisi pembuatan perahu pada sungai-sungai di berbagai negara, dimana mereka akan mempublikasikan materi terkait dengan hal itu. Sebelumnya, museum tersebut juga menerbitkan buku yang berjudul Building a Longboat: An Essay on the Culture and History of a Bornean People oleh Ida Nico-laisen dan Tinna Damgard Sorensen pada tahun 1991, dimana isinya mengenai perahu dari suku Dayak Punan di Sarawak, Malaysia.[1] Dari proyek museum inilah, dia menjadi peneliti mengenai jukung, dimana dia meneliti di tiga lokasi, yaitu Sungai Mangkutup dan Muroi, Desa Manusup dan Sungai Dusun, dan di daerah Pulau Sewangi, Alalak. Selain itu, dia juga sempat mengunjungi Candi Borobudur untuk melihat penggambaran perahu yang ditemukan di candi ini.[1] Menulis bukuBukunya, Jukung-Boats from the Barito Basin, Borneo, mulai dia tulis pada tahun 1998 dan diterbitkan oleh pihak Museum Kapal Viking pada tahun 2000. Buku tersebut diberi kata pengantar oleh Tinna Damgard Sorensen yang saat itu menjadi direktur museum. Dalam buku tersebut, dia mengenalkan belasan jukung dan wajah para pengrajin jukung di kawasan Alalak pun juga terpampang di bukunya. Pada tahun 2001, buku tersebut diterjemahkan oleh Profesor M.P. Lambut dan dicetak oleh PT Grafika Wangi Kalimantan.[3] Karena buku tersebut, dia sering diikutsertakan dalam berbagai pameran, di antaranya Pameran Peragaan Pembuatan Jukung Barito di Musem Bahari Jakarta pada tanggal 23 Desember 2002 dan Exhibitions Jukung Boats from Barito Basin, Borneo pada tahun 2000 di Denmark dan Belanda yang disponsori oleh Velux Foundation. Bahkan, dia tidak segan untuk mengangkut jukung ke pamerannya di luar negeri melalui serangkaian pemeriksaan di bandara.[1] Pendapat mengenai jukungDalam bukunya tersebut, dia menulis beberapa macam jukung Suku Banjar secara detail, seperti Jukung Sudur, Jukung Rangkan, Jukung Patai, Jukung Hawaian, Alkon, Jukung Rombong, Klotok Halus, Feri, Klotok Baangkut Barang, Jukung Nalayan, Jukung Tiung, Jukung Raksasa, dan Motorbot.[3] Selain itu, dalam bukunya dia berpendapat bahwa yaitu orang Banjar telah lama menguasai teknologi pembuatan perahu (jukung) sejak 2.500 tahun yang lalu karena mewarisi suku Dayak Maanyan yang diyakini sebagai leluhur suku Banjar, dimana mereka dapat membuat jukung dari batang kayu utuh yang dibelah menjadi dua dan dikerok dengan perkakas dari batu Salah satu bukti yang mendukung anggapan ini adalah ditemukannya peti mati dari kayu yang bentuknya mirip jukung sudur di Goa Niah, Sarawak, Malaysia. Dia juga menyimpulkan bahwa penduduk asli Madagaskar adalah migran Dayak Maanyan.[3] Kehidupan peribadiDi Denmark, dia sempat menikah dengan seorang perempuan di sana dan dikaruniai 3 orang anak, meski berujung pada perceraian. Saat di Indonesia, dia menikah dengan Mastun Kasran, perempuan dari Kalimantan Tengah dan menetap di Benua Anyar, Banjarmasin Timur, Kota Banjarmasin, dimana dia juga memutuskan untuk menjadi mualaf.[3] Di daerah tersebut, dia mendapat julukan "Kai Asing" atau 'Kakek Bule".[2] KematianDia meninggal dunia pada 2005 (namum di makamnya tertulis tanggal 18 Februari 2004 untuk tanggal meninggalnya) akibat penyakit ginjal.[2] Dia dimakamkan di daerah yang tidak jauh dengan Makam Syekh Muhammad Amin Al-Banjari atau Datu Amin Benua Anyar, Banjarmasin. Sebelum meninggal, dia menulis sepucuk surat berbahasa Denmark pada tanggal 14 Desember 2003, dimana apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berbunyi seperti ini:
Atas jasanya tersebut, pihak Pemerintah Denmark melalui Duta Besar Denmark untuk Indonesia, Rasmus A. Krestensen membantu Kota Banjarmasin dalam mengatasi sampah. Hal ini disampaikan saat menghadiri "Festival Nyawa Sungai" pada tanggal 14 Mei 2018 di Rumah Anno Banjarmasin, dimana juga dihadiri oleh Pemerintah Kota Banjarmasin, komunitas, mahasiswa, dan lain-lain.[4] Referensi
Bacaan lebih lanjut
|