Share to:

 

Fideisme

Fideisme (dari bahasa Latin: fides, iman, percaya)[1][2] adalah pandangan epistemologis yang memahami bahwa keimanan adalah suatu hal yang terpisah dari nalar. Dalam artian lain, iman dinilai lebih tinggi ketimbang nalar dalam menentukan justifikasi atas kebenaran—nalar dinilai tak tepat atau tidak kompeten untuk dilibatkan dalam urusan keimanan.[2][3] Justifkasi kebenaran yang dimaksudkan fideisme tidak terbatas pada justifikasi kebenaran supernatural, melainkan dapat mencakup kebenaran natural.

Secara umum fideisme mempertahankan pemahaman bahwa upaya pembuktian rasional maupun pembuktian ilmiah atas hal ilahi dinilai sesat pikir atau tidak relevan sama sekali. Dalam sejarah perkembangannya, fideisme dapat berarti sebagai suatu formasi dan reaksi atas ketidakseimbangan pemikiran mengenai agama dan religiositas yang melulu bergantung terhadap intelektual dan mengabaikan intuisi.[4]

Dalam sejarah kefilsafatan, banyak teolog dan filsuf mempersoalkan posisi yang tepat antara nalar dan iman untuk menemukan kebenaran atas keyakinan religius, moralitas, dan kebenaran atas ide atau konsepsi metafisis.

Definisi konsep

Istilah fideisme mencuat dan lekat konotasinya dengan pergerakan dan doktrin teologi Kristen di Eropa Barat yang berkaitan dengan masa revolusi Prancis dan pergerakan ilmiah abad pencerahan.[5] Sebagai reaksi atas geliat rasionalisme Eropa dan perlahan memengaruhi teologi Kristen, fideisme pada mulanya berdiri sebagai suatu bentuk apologetika atas kredo teologi Kristen.[5] Akan tetapi, seiring perkembangannya, fideisme mulai mengalami penyesuaian dan reinterpretasi sehingga pemaknaannya bervariasi dan tidak ada suatu kesepakatan umum.

Meskipun pergerakan fideisme umum ditemukan, akan tetapi, dalam sejarah pemikiran, tidak terdapat kesepakatan mengenai arti definitif atas fideisme itu sendiri. Umumnya, konsepsi fideisme selalu digunakan untuk mewakili himpunan atas pandangan-pandangan yang beragam. Pandangan yang beragam tersebut umumnya didasari oleh basis yang serupa, yaitu sebagai terma yang digunakan untuk membangun demarkasi yang diakibatkan tegangan dan konflik yang didasari keimanan, rasionalitas, dan tradisi yang ada.[6] Problem tersebut mengakibatkan pemaknaan umum terma fideisme menjadi kabur dan tidak disepakati. Akan tetapi, dapat dipahami bahwa tinjauan utama fideisme tak lain adalah kritik atas superioritas nalar ketimbang intuisi yang diaplikasikan dalam ranah religi. Meski basis pemahamannya serupa, fideisme dipahami secara beragam.

Salah satu pemahaman umum fideisme adalah menjadikannya sebagai pemaknaan tolak ukur kebenaran ilahiah. Dalam artian lain, fideisme dipahami sebagai traktat epistemologis mengenai kebenaran religius. Fideisme dipahami sebagai pandangan bahwa kebenaran yang dikandung pada praktik dan kepercayaan dalam agama mesti dipahami melalui iman. Sehingga, pembuktian kebenaran ilahiah melalui pembuktian empiris ataupun penalaran dinilai tidak relevan untuk membuktikan kebenaran religius.[7][8]

Klaim tersebut umumnya dianut dalam berbagai bentuk oleh kebanyakan teolog dan anti-rasionalis sedari Santo Paulus hingga beberapa penganut neo-ortodoks.[8] Pemahaman semacam ini sepakat bahwa kebenaran ilahiah tak dapat ditopang maupun dibuktikan oleh pembuktian rasional, melainkan semestinya dipahami sebagai sesuatu yang hanya dapat dicapai melalui keimanan.[6]

Ikhtisar

Søren Kierkegaard

Tulisan Søren Kierkegaard mengenai eksistensi Tuhan yang tak mungkin tergapai dan, karenanya, untuk mengimaninya tak perlu menggunakan justifikasi rasional adalah argumen fideistik di ranah eksistensialisme Kristen. Dalam Frygt og Bæven, Kierkegaard menceritakan pengorbanan Ibrahim atas Ishak yang dalam Perjanjian Baru aksi tersebut dinilai sebagai penampakan keimanan yang teguh. Akan tetapi, di mata lawan keimanan ini, aksi tersebut dapat dinilai sebagai hasil atas delusi yang gila. Kierkegaard menggunakan contoh ini untuk menjelaskan problem atas keimanan secara umum.[9] Kierkegaard berargumen bahwa keimanan atas inkarnasi Yesus atas Tuhan ke dalam bentuk manusia dinilai paradoksal, karena hal tersebut menyiratkan kesempurnaan tuhan diturunkan ke dalam bentuk manusia yang sederhana. Menurutnya, nalar tak cukup untuk memahami hal tersebut. Sehingga, untuk mengimani hal tersebut dibutuhkan "lompatan keimanan" untuk memahaminya.

William James

Psikolog dan filsuf pragmatisme William James mengenalkan konsep will to believe pada tahun 1896. Dependen terhadap karyanya mengenai teori kebenaran, James berpendapat bahwa pertanyaan-pertanyaan yang berkenaan dengan religiositas hanya dapat dijawab dengan mempercayai doktrin religiositas terlebih dahulu. Sehingga, seseorang takkan dapat mengetahui apakah doktrin religius dapat benar-benar bekerja kecuali dengan benar-benar mengimani doktrin religius terlebih dahulu. Karena pengalaman religius dinilai tak dapat terlukiskan dengan "bahasa umum," maka tidak mungkin dilakukan diskursus koheren mengenai pengalaman religiositas dengan bahasa di luar konteks religiositas. Karena itu, keimanan religius tak dapat didiskusikan secara efektif menggunakan bahasa umum—nalar tak dapat mempengaruhi keimanan. Sebaliknya, keimanan dicapai dengan pengalaman spiritual, dan untuk memahami keimanan hanya dapat digapai dengan praktik religiositas itu sendiri.

Referensi

  1. ^ Lihat fides Diarsipkan 2023-04-10 di Wayback Machine. di Wiktionary
  2. ^ a b Amesbury, Richard (2017). "Fideism". The Stanford Encyclopedia of Philosophy. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-03-18. Diakses tanggal 2017-10-27. 
  3. ^ Merriam-Webster. "Fideism". Merriam–Webster.com. 
  4. ^ Platinga, Alvin (1984). "Reason and Believe in God". Dalam Wolterstoff, N. Faith and Rationality. University of Notre Dame Press. 
  5. ^ a b Poupard, Paul (2002). "Fideism". Dalam Nitti, G.; Strumia, A. Interdisciplinary Encyclopedia of Religion and Science. doi:10.17421/2037-2329-2002-PP-01. 
  6. ^ a b Carroll, Thomas D. "The Tradition of Fideism". Religious Studies. Cambridge University Press (44). 
  7. ^ Quinn, Philip (2005). "Fideism". Dalam Honderich, T. Oxford Companion to Philosophy (edisi ke-2). Oxford University Press. 
  8. ^ a b Popkin, Richard (1967). "Fideism". Dalam Edwards, P. Encyclopedia of Philosophy. Macmillan. 
  9. ^ Geisler, Norman (1976). Christian Apologetics. Baker Book House. 
Kembali kehalaman sebelumnya